Foto: INdependent

Kalau seorang profesor sepakbola sekelas Rangnick saja tidak bisa merubah tim ini, maka emang pemainnya saja yang modal dengkul.

“Sebuah kesebelasan sepakbola bisa dibilang bapuk apabila pemain yang tampil bagus adalah pemain yang justru tidak pernah main bola selama dua tahun.” Kutipan ini meluncur dari akun Twitter @utdfocusid yang menandakan betapa frustrasinya mereka, semua pendukung United juga sih, melihat penampilan United dini hari tadi.

Klub yang katanya punya julukan Setan Merah ini kalah di kandang sendiri dari Wolverhampton yang datang dengan kondisi pincang. Kalahnya juga memalukan. Bagaimana tidak, Wolves yang statusnya adalah tamu justru seperti main di kandang sendiri selama 90 menit.

Kalau ada yang belum nonton, saya sarankan mending tidak usah nonton cuplikan pertandingannya. Cukup lihat statistik aja untuk mengetahui seberapa bobroknya United semalam.

Wolves membuat 19 shots sedangkan United hanya 9. Yang lebih gilanya lagi, United hanya punya 2 shots on target. Wolves punya tiga kali lipatnya. Dari dua laga melawan United, Wolves membuat 34 shots. Padahal, rataan shots Wolves dari 17 pertandingan yang mereka mainkan sebelum ini kurang dari 10. Wow, hanya butuh United saja untuk membuat Wolves bermain superior.

Saya yakin kalau suporter United berisi orang-orang yang bisa menerima kekalahan timnya. Tapi, kekalahan akan terasa lebih terhormat ketika tim berjuang dan tampil bagus untuk mengimbangi tim yang menang.

Namun, sejak peluit awal dibunyikan oleh Mike Dean, tim ini seperti sudah layak untuk kalah. Ini yang membuat kekalahan semalam sulit diterima. Jika kekalahan semalam bisa diterima, maka seorang Paul Scholes tidak akan menyertakan emoji kotoran dalam Instagram Story pribadinya.

Semalam, United seperti kumpulan individu yang bertanding hanya untuk diri mereka sendiri. Itulah yang dirasakan Luke Shaw. Menurutnya, di lapangan memang ada 11 pemain berbaju merah, namun mereka tidak ada di sana untuk bekerja sama mengangkat tim ini.

Terlihat jelas betapa problem United di sektor kolektivitas. Soal skill individu, pemain United tidak ada duanya. Semuanya skillfull. Namun, mengutip kutipan legendaris coach Justin, pemain United ini skillfull but no vision.

Mereka bisa berlari cepat, duel 1 vs 1 jago, tapi ketika diminta untuk melakukan passing pendek segitiga, akurasinya membuat kita semua ingin istighfar melihatnya. Passing pendek kadang terlalu pelan, passing kencang kekuatanya berlebihan, umpan silang jauh dari harapan. Momentum pun hilang.

Hanya satu killer pass yaitu ketika Matic melakukan cut back ke Bruno yang sepakannya masih membentur mistar. Sisanya, ya entah kerebut bolanya atau akurasinya yang ngaco seperti aksi AWB dalam melepaskan crossing yang jadi olok-olok di media sosial.

Inilah yang membuat suporter United masih dibuat heran apakah mereka ini tidak pernah ngobrol satu sama lain selama latihan? Apakah semuanya diem-dieman ketika di Carrington dan menyimpan kebencian antar individu? Entahlah, hanya Rangnick dan para pemainnya yang tahu.

Dari sisi taktikal, Wolves seperti menunjukkan kepada United apa yang kurang dari mereka yaitu sosok gelandang pengendali. Sosok yang mampu jadi pembeda buat tim dan menjadi penghubung antar lini.

United hanya punya Matic yang masa keemasannya sudah lewat. Saat City punya Rodri, Liverpool punya Fabinho, Chelsea punya Jorginho, dan Wolves punya duet Moutinho-Neves, United masih sibuk merotasi Matic dan Fred bermain bergantian dengan McTominay.

Shape 4-2-2-2 tidak akan bekerja dengan baik tanpa sosok gelandang yang bisa mengatur permainan dari tengah. Cavani-Ronaldo terlalu ke depan untuk menekan bek lawan, Greenwood-Sancho terlalu melebar, McTominay-Matic terlalu ke dalam. Ini yang membuat Wolves gampang sekali memenangkan duel di tengah.

Pada momen inilah saya merindukan sosok Herrera atau bahkan Pogba. Keduanya mungkin tidak akan mengubah hasil akhir, tapi mampu untuk membuat lawan tidak bisa berkembang secara dominan.

Beruntung bagi para pemain United karena kekalahan ini pasti akan tertutupi dengan kata template yaitu: Adaptasi. Mereka pasti beralasan kalau mereka masih menyesuaikan diri dengan pendekatan milik Ralf yang belum sampai 10 laga memimpin United.

Sebelum menjadi tim gila seperti sekarang, Liverpool era Jurgen Klopp kerap terpeleset ketika menghadapi lawan-lawan yang seharusnya mudah dikalahkan pada 2015/2016. Akan tetapi, mereka membalasnya dengan beberapa hasil apik seperti mengalahkan City 4-1 di Etihad dan Everton 4-0 pada laga derby.

Menarik untuk melihat perjalanan United bersama Rangnick pada sisa musim ini. Apakah mereka akan membayar kekalahan ini dengan kemenangan meyakinkan atau tidak, namun yang jelas tugas Rangnick tentu akan sangat sulit mengingat empat besar pun akan susah tercapai jika mainnya seperti ini.

Pemain juga harus berubah. Pelan-pelan mata suporter United yang selalu menyalahkan pelatih sepertinya mulai terbuka kalau apa yang menimpa Solskjaer dan manajer sebelumnya juga ada andil dari para pemainnya.

Jika seorang Ralf Rangnick, yang dianggap bapak gegenpressing dan menjadi guru seorang manajer top macam Klopp dan Tuchel saja tidak bisa mengembangkan tim ini, maka memang pemainnya saja yang modal dengkul.