Foto: Pundit Arena

2020 tampak menjadi tahun yang gila. Satu per satu tokoh besar di dunia sepakbola meninggal dunia. Khususnya pada akhir tahun ini ketika kita dibuat menahan sedih secara berkesinambungan karena kehilangan Diego Maradona, Papa Bouba Diop, Paolo Rossi, hingga yang terbaru Gerard Houllier.

Nama terbaru meninggal dunia kemarin jelang pengundian babak 16 besar Liga Champions Eropa. Ketika Liverpool, mantan klub Houllier, mengunggah Tweet persiapan mereka menuju drawing, postingan seketika mendadak berubah menjadi pengumuman kabar duka. Houllier meninggal dunia pada usia 73 tahun. Tak ayal, ucapan belasungkawa datang silih berganti. Termasuk dari Manchester United yang sebenarnya tidak memiliki hubungan langsung dengan pria asal Prancis tersebut.

“Semua orang di Manchester United merasa sedih atas kepergian Gerard Houllier dan ucapan duka cita yang sangat mendalam untuk orang-orang yang mencintainya,” tulis situs resmi United yang membahas tentang jalinan erat Sir Alex Ferguson dengan Houllier.

Houllier merupakan salah satu manajer berpengalaman di Inggris dengan dua tim yang pernah ia latih yaitu Liverpool dan Aston Villa. Bersama The Reds, ia mencapai banyak kesuksesan.  Ia mendapat enam gelar termasuk treble bersejarah yaitu Piala FA, Piala Liga, dan Piala UEFA pada musim 2000/2001. Treble yang kemudian menjadi olok-olok penggemar United dalam sebuah banner bertuliskan Mickey Mouse Treble.

Houllier memang tidak pernah membawa gelar Premier League untuk Liverpool. Namun di era kepelatihannya, Si Merah kerap dipandang untuk bisa memutus puasa gelar liga mereka saat itu dengan pemain-pemain bertalenta seperti Steven Gerrard, Michael Owen, Robbie Fowler, Steve McManaman, Danny Murphy, dan Jammie Carragher. Bahkan Sir Alex Ferguson begitu khawatir kalau Liverpool era Houllier bisa memutus dominasi mereka.

“Ketika Liverpool meraih treble pada 2001 bersama Houllier, kami merasa sedikit ketakutan. Yang saya pikirkan saat itu adalah: “Oh, jangan mereka. Siapa saja boleh jadi juara asal jangan mereka.” Liverpool adalah lawan berat meski mereka saat itu masih menjalani masa-masa suram,” tulis Ferguson dalam autobiografinya.

Wajar Ferguson merasa gemetar. Selama era kepelatihan Houllier, Liverpool telah bertemu 12 kali dan meraih enam kemenangan. Dalam empat pertandingan beruntun, musim 2000/2001 hingga 2001/2002, United selalu kalah home and away ketika melawan Liverpool-nya Houllier. Kekalahan 2-0 di Millenium Cardiff pada final Piala Liga 2003 membuat United gagal meraih gelar ganda.

Prestasi Liverpool menanjak di Premier League. Setelah hanya menyelesaikan liga pada peringkat tujuh, Liverpool kembali masuk papan atas dengan menempati peringkat 4 pada musim 1999/2000. Bahkan pada musim 2001/2002, mereka berada di bawah juara saat itu, Arsenal.

“Ketika Michael Owen mencetak gol pada final Piala FA melawan Arsenal, saya yakin kalau kebangkitan mereka sedang berlanjut. Kalau begini terus, mereka bisa menjadi pesaing kami bersama Arsenal dan Chelsea,” tuturnya menambahkan.

Satu hal yang diapresiasi Ferguson dari Houllier adalah keberaniannya membawa pemain asing ke Anfield yang kemudian sukses menjadi pilar penting mereka seperti Sami Hyppia, Vladimir Smicer, Dietmar Hammann. Ini menjadi dasar kuat bagi Houllier untuk mencapai kesuksesan meski prestasi tertinggi yaitu Liga Inggris maupun Liga Champions tidak pernah ia raih.

Dibalik kekhawatiran Ferguson kepada Houllier mengenai rivalitasnya di atas lapangan, keduanya bersahabat sangat dekat. Seperti yang muncul di tulisan sebelumnya, Houllier adalah orang yang membantu kepindahan Eric Cantona dari Leeds ke Manchester United.

Pada 2001, Houllier harus menjalani operasi jantung. Meski keduanya saat itu masih menjadi manajer United dan Liverpool, namun Ferguson memilih menanggalkan itu semua dan langsung bergegas ke rumah sakit. Ferguson menjadi deretan orang-orang pertama yang menjenguk mantan manajer Lyon tersebut.

Kok kamu tidak menyerah,” kata Ferguson.

“Saya tidak mau. Saya ingin bekerja,” jawab Houllier.

“Inilah alasan kenapa saya menuyukai Gerard Houllier. Dia orang yang hidup dalam sepakbola. Bahkan masalah jantung tidak bisa memutus kecintaannya kepada sepakbola,” ujarnya menambahkan.

Pada akhirnya rivalitas hanya tentang apa yang terjadi sepanjang 90 menit. Saat peluit panjang pertandingan sudah ditiup, rivalitas itu akan gugur dan berganti menjadi hubungan persahabatan.

“Rivalitas kami saat itu bisa dibilang sangat sehat. Ada beberapa kesempatan ketika dia menelepon saya untuk menawarkan beberapa bantuan. Yang menarik, saya punya rekor bagus ketika melawan dia. Bahkan dia menyebut saya lebih baik ketika bertemu United ketimbang Bob Paisley. Yang membedakan hanyalah gelar yang ia dapat lebih banyak dari saya,” kata Houllier.

Sayangnya, kesehatan Houllier ini yang menjadi alasan Liverpool kembali mengalami penurunan performa hingga sampai dirinya meninggalkan Anfield pada 2004, dia sama sekali tidak bisa mempersembahkan gelar liga Inggris.