foto: thespokeperson.com

Harry Gregg dan Bill Foulkes masih terjaga. Tubuhnya masih bertenaga untuk keluar masuk pesawat. Keduanya mencoba membantu para penumpang yang terjepit di antara puing–puing pesawat. Sementara itu, tangki bensin pesawat telah hancur menghantam pepohonan. Di sisi lain, pesawat mulai terbakar. Ledakan bisa terjadi kapan saja.

Harry dan Bill menemukan Bobby Charlton yang terduduk kebingungan di kursinya yang terlepas dari badan pesawat. “Harry dan Bill mengatakan kalau aku tidak sadarkan diri selama seperempat jam,” kata Bobby Charlton.

***

Munich, 6 Februari 1958, akan dikenang sebagai hari terburuk bagi Manchester United. Pesawat yang ditumpangi skuat Busby Babes tergelincir di Bandara Munich. Tragedi tersebut merenggut 23 jiwa, termasuk delapan pemain dan tiga staf.

Tragedi tersebut membekas selama bertahun-tahun bahkan hingga saat ini. Lantas bagaimana detik-detik saat tragedi tersebut terjadi?

Masalah Teknis di Pesawat

Setelah mengisi bahan bakar, pesawat yang dikemudikan Kapten James Thain sebagai pilot dan Kapten Kenneth Rayment sebagai co-pilot, sudah siap untuk lepas landas.

United kala itu menggunakan pesawat jenis Airspeed Ambassador 2 bernama “Elizabethan”. Pesawat tersebut dicarter khusus untuk perjalanan pergi-pulang United untuk melakoni leg kedua babak perempatfinal European Cup di Belgrade, Yugoslavia (kala itu).

Saat perjalanan pergi, pesawat dikemudikan Kapten Thain, sementara saat perjalanan pulang, Kapten Rayment mendapatkan tugas untuk mengendalikan pesawat. Karena daya tempuh pesawat yang tidak cukup untuk sekali perjalanan dari Belgrade ke Manchester, maka pesawat pun mendarat di Bandara Munich untuk mengisi bahan bakar.

Pada Kamis, 6 Februari 1958, kondisi cuaca Munich tengah mendung. Padahal, waktu itu jam masih menunjukkan pukul setengah tiga sore.

Take off pun dilakukan. Namun, baru beberapa saat berjalan, Kapten Rayment membatalkan take off  karena adanya gangguan pada alat ukur boost pressure yang terpantau fluktuatif. Hal ini menjadi berbahaya karena fluktuasi tersebut terjadi saat pesawat mencapai kekuatan penuh. Ditambah lagi, suara mesin yang terdengar aneh, membuat take off yang pertama dibatalkan.

Tak lama setelah percobaan take off yang pertama, take off yang kedua pun langsung dilakukan. Namun, karena mesin dijalankan dengan campuran bensin “rich”, pesawat pun menjadi kelewat cepat melaju sementara tenaga belum cukup untuk mengangkat pesawat. Setelah dua kali kegagalan, kapten pun memutuskan untuk meminta para penumpang kembali ke ruang tunggu bandara.

Setelah instruksi tersebut, hujan salju turun dengan lebat. Salju pun menutupi landasan terbang. Pemain seperti Duncan Edwards merasa kalau penerbangan mungkin akan dilanjutkan keesokan harinya menunggu cuaca yang mulai membaik.

Sementara para penumpang menunggu di ruang tunggu, kedua pilot berusaha mencari tahu apa yang menjadi sebab. Kapten Thain pun berdiskusi dengan teknisi bandara, Bill Black, soal masalah yang mendera pesawatnya. Black menyarankan untuk menunda penerbangan sampai keesokan harinya.

Saran Black tidak begitu dipedulikan oleh Kapten Thain yang ingin pulang sesuai dengan jadwal. Oleh karena itu, sejumlah percobaan pun dilakukan seperti membuka gas secara perlahan. Dampaknya adalah pesawat baru akan terbang di ujung lintasan. Karena panjang lintasan Bandara Munich mencapai dua kilometer, Kapten Thain pun percaya diri dengan keputusan tersebut. Oleh karena itu, para penumpang pun dipanggil kembali untuk percobaan ketiga.

Percobaan Terakhir

foto: Manchesterevening news.com
foto: Manchesterevening news.com

Kapten Thain dan Kapten Rayment memulai take off yang ketiga sesuai dengan rencana. Kapten Rayment membuka gas secara perlahan dan mulai melepaskan rem. Pesawat pun perlahan meluncur dari lintasan.

Awalnya, semua berjalan dengan tenang sampai pada kecepatan 85 knots, mesin pesawat mulai menghentak. Meskipun demikian, pesawat mulai memasuki kecepatan 117 knots dan telah memasuki fase V1, yang mana sudah tidak mungkin buat mereka untuk membatalkan take off. Kapten Rayment pun berusaha mendengarkan instruksi V2 yang merupakan batas minimal pesawat untuk bisa lepas landas. Namun, Kapten Thain tak juga memberikan instruksi tersebut. Kecepatan pesawat terbatas pada 177 knots, sementara V2 dimulai pada 119 knots.

Saat pesawat hampir mencapai ujung landasan, kecepatan justru berkurang drastis ke 112 knots bahkan 105 knots. Tak juga mendengar instruksi V2, Kapten Rayment berteriak, “Ya Tuhan, kami tak akan berhasil!” Sementara Kapten Thain mendongak untuk melihat apa yang ada di hadapannya.

Dengan kecepatan yang begitu cepat, pesawat akhirnya tergelincir di ujung landasan. Benda pertama yang mereka hantam adalah pagar bandara. Tak berselang lama, sayap pesawat pun hancur menghantam rumah, sementara bagian buritan kapal terlepas saat kokpit menghantam pohon. Ledakan pun terjadi saat tangki bensin pesawat menabrak pondok kayu yang di dalamnya terparkir truk penuh dengan ban dan bensin.

Evakuasi

Kapten Thain menurut Stephen Morrin dalam The Munich Air Disaster, menjadi tokoh penting dalam evakuasi korban. Ia meminta kru kabin untuk segera melakukan penyelamatan sebelum terjadi ledakan.

Sementara itu, Kapten Rayment terjebak di kurisnya tertimpa puing-puing pesawat. Ia meminta Kapten Thain untuk bergegas pergi tanpanya.

Apa yang dilihat Kapten Thain setelah terbebas dari ruang kokpit adalah pemandangan yang mengerikan. Sisi kanan pesawat yang berisi 2300 liter bensin siap untuk diterjang api. Kapten Thain pun meminta krunya untuk membawa pemadam api agar ledakan bisa diminimalisasi.

Saat itu juga, layanan darurat tiba. Mereka mendapati 21 orang tewas di tempat. Setelah dua jam, pencarian pun dihentikan. Lalu, tiba-tiba saja wartawan Jerman yang hendak mengambil gambar di lokasi kejadian menemukan Kenny Morgans yang terlempar ke ruang bagasi. Ia berjuang sendirian terkubur puing-puing pesawat selama lima jam.

Mereka yang selamat dibawa ke Rumah Sakit Rechts der Isar. Salah satunya adalah Albert Scanlon yang tidak sadarkan diri bahkan hingga tiga pekan kemudian. Nasib buruk pun terjadi pada Johnny Berry dan Jackie Blanchflower yang tak lagi bisa berkarier sebagai pesepakbola karena cedera yang menimpanya.

Sang Manajer, Matt Busby, pun ada di sana. Kondisinya amat parah bahkan menurut BBC, rumah sakit mengeluarkan pernyataan yang sederhananya seperti ini, “Kami tak punya lagi harapan untuk menyelamatkannya.”

Penulis BBC, Ian Cheesman, menuliskan pengalamannya bertemu dengan saksi hidup tragedi tersebut. Ia adalah Johann Wieser yang rumahnya tak jauh dari tempat tergelincirnya pesawat.

“Aku tak melihat kejadiannya, tapi aku adalah salah satu orang pertama yang ada di sana,” jelas Wieser. “Kala itu cuaca sangat buruk. Ketebalan salju mencapai 30 sentimeter.”

Menurut Wieser, kala itu kondisinya tengah ada badai salju. Saat ia datang ke sana, beberapa penumpang terlihat ada yang sekarat. Ada pula yang terluka tapi dengan sisa tenaga, mereka mencoba untuk berjalan sampai-sampai terjerembab ke tanah.

Wieser menjelaskan pesawat kala itu telah terbakar dan membakar rumah. Ada seorang pilot yang masih duduk di pesawat. Lalu, pemadam kebakaran langsung datang dari bandara. Pun dengan paramedis.

“Bagiku itu seperti musim dingin tahun lalu. Aku bisa mengingat kejadian itu dengan sangat baik. Ketika aku menggunakan kotak surat di dekat sana, aku selalu mengingat kejadian buruk di malam itu. Mereka masih muda. Ini adalah cerita yang amat-amat menyedihkan,” tutup Weiser.

***

Tidak pernah ada yang menyangka kalau semua ini akan berakhir dengan begitu buruk. Pemain seperti Liam Whelan, dikabarkan berkata begini saat take off ketiga dilakukan, “Ini mungkin menuju kematian, tetapi aku siap.”

Seperti yang diketahui, Liam Whelan adalah salah satu dari delapan pemain yang meninggal dalam insiden tersebut. Saat mengatakan hal tersebut pun mungkin ia tak sepenuhnya percaya diri, karena ucapan tersebut lebih karena ia tak begitu yakin dengan perjalanan udara.

Semua orang berduka, tak terkecuali dari mereka yang selamat. Salah satunya Albert Scanlon yang selalu merasa bersalah saat bertemu dengan keluarga mereka yang menjadi korban.

“Aku benci bertemu dengan keluarga korban. Aku pernah bertemu dengan ayahnya Eddie Colman dan aku selalu punya perasaan kalau dia melihatku sambil berpikir ‘Kenapa orang ini bisa berdiri di sini sementara anakku meninggal?” pikir Scanlon.

Sementara itu, orang yang paling “tenang” saat detik-detik kejadian mungkin adalah induk semang Duncan Edwards di Manchester yang mendapatkan pesan seperti ini dari sang pemain, “Semua penerbangan dibatalkan, kembali terbang esok hari. (Tertanda) Duncan.