foto: dailymail.co.uk

 

Manchester United tengah bergembira. Hasil seri 3-3 atas Red Star Belgrade membuat agregat pertandingan menjadi 5-4 yang mengantarkan United ke semifinal European Cup untuk kedua kalinya secara beruntun.

Para pemain seperti Duncan Edwards, David Pegg, Tommy Taylor, Liam Wheelan, ada di antara para pemain yang tampak sumringah saat merayakan hasil tersebut. Turut bergabung sang manager, Matt Busby, meski tanpa diiring kehadiran sang asisten, Jimmy Murphy.

Suka cita ini tak bisa berlama-lama hadir dalam diri Busby Babes. Pasalnya, karena jadwal liga yang begitu ketat, mereka harus segera pulang dari Yugoslavia, keesokan harinya.

Tentu, perjalanan darat mungkin dilakukan, tapi akan membutuhkan waktu sampai dua hari. Ini jelas tidak efektif, karena United mesti bermain pada hari Sabtu, sementara pertandingan menghadapi Red Star digelar pada Rabu, 5 Februari.

Kabar ini dengan sekejap membunuh rasa sukacita sejumlah penggawa United. Pasalnya, banyak dari mereka yang tak begitu senang naik pesawat. Maklum, kala itu, pesawat belum lama digunakan untuk angkutan komersial.

Banyak orang yang tidak merasa aman saat berpergian lewat jalur udara. Belum lagi sejumlah kasus kecelakaan pesawat yang melibatkan tim olahraga, seolah masih membekas dalam ingatan. Sebut saja Tragedi Superga yang melibatkan Torino pada1949. Dalam tragedi tersebut, pesawat menabrak Bukit Superga yang membuat 31 penumpan tewas, termasuk 18 pemain dan staf Torino. Setelah hari itu, Torino hampir sulit untuk bangkit dan kembali merajai Liga Italia.

Memang takdir siapa yang tahu, karena Busby Babes justru mengalami nasib buruk yang sama seperti yang dialami Torino. Tragedi ini bukan cuma menimbulkan luka bagi penggemar sepakbola, tapi juga menjadi catatan buruk untuk dunia penerbangan.

Gara-Gara Kabut

David Moyes dan skuat The Red Devils saat menyambangi tugu peringatan Tragedi Munich di Munich. Foto: huffpost.com
David Moyes dan skuat The Red Devils saat menyambangi tugu peringatan Tragedi Munich di Munich. Foto: huffpost.com

Pertandingan European Cup dilangsungkan setiap Rabu sementara pertandingan liga setiap Sabtu. Pemain hanya punya waktu istirahat tiga hari. Itupun belum dipotong dengan waktu perjalanan.

Hal ini menjadi soal bagi Manchester United sebagai kesebelasan Inggris pertama yang lolos ke European Cup. Di satu sisi, mereka mesti menunjukkan penampilan yang memukau untuk menunjukkan kedigdayaan sepakbola Inggris. Di sisi lain, mereka harus juara liga agar bisa kembali mewakili Inggris di European Cup musim selanjutnya.

United memang istimewa. Mengapa? Sebelumnya, Chelsea-lah yang semestinya menjadi wakil Inggris pertama di European Cup karena mereka berstatus juara liga. Namun, kepergian mereka tidak disahkan dan tidak direstui oleh FA. Alasannya? Karena Chelsea tidak mencerminkan permainan Inggris yang sesungguhnya.

Dalam keterlibatannya yang pertama kali di European Cup, United kalah dari Real Madrid di semifinal. Hal ini justru menambah suntikan motivasi bagi Busby Babes untuk bisa meraih gelar juara pada musim selanjutnya.

United pun melakoni pertandingan dengan mulus setidaknya hingga babak kesatu. Namun, masalah non-teknis mulai menghampiri mereka.

Sebelum bertandang ke Belgrade, United bertandang ke Praha, untuk bertanding pada leg kedua menghadapi Dukla Prague. Dalam pertandingan itu, United kalah 0-1.

Bukan itu satu-satunya hal yang membuat penggawa United tak tenang. Mereka gelisah karena perjalanan menuju Manchester ditunda akibat cuaca buruk. Untuk itu, klub memutuskan untuk memesan pesawat yang menuju Amsterdam.

Dari Amsterdam, United menggunakan ferry menyebrang selat, untuk kemudian dilanjutkan dengan perjalanan darat. Jelas ini memakan waktu yang tak sebentar. Perjalanan laut dari Belanda menuju Inggris (Newcastle) bisa memakan waktu sampai 16 jam! Belum lagi perjalanan darat dari Newcastle ke Manchester yang ditempuh dalam waktu tiga sampai empat jam. Ini jelas berakibat pada fisik para pemain. Di liga, mereka ditahan imbang Blackburn Rovers 3-3.

Tak mau kejadian serupa berulang, klub pun memutuskan untuk mencarter pesawat. Di dalamnya, bukan cuma pemain dan staf tapi juga jurnalis yang jumlahnya 11 orang.

Pesawat yang digunakan adalah Airspeed Ambassador dengan mesin piston ganda. Namun, pesawat bernama “Elizabethan” ini hanya mampu terbang maksimal 885 kilometer. Sementara jarak Manchester ke Belgrade mencapai 1800-an kilometer.

Munich yang Dingin

Pesawat Elizabethan dari Airspeed Ambassador. Foto: John Read/photobucket.com
Pesawat Elizabethan dari Airspeed Ambassador. Foto: John Read/photobucket.com

Pada Kamis siang, Elizabethan telah mendarat di Munich. Setelah mengisi bahan bakar, pesawat siap untuk lepas landas membawa 38 penumpangnya kembali ke Inggris.

Sang pilot, Kapten James Thain, mendapati adanya masalah pada boost pressure pesawat. Akibatnya, pesawat tidak mencapai batas kecepatan untuk bisa terbang. Pun dengan percobaan kedua di mana pesawat menjadi over-accelerate.

Untuk mengatasi masalah tersebut, penumpang pun dipindahkan ke ruang tunggu bandara, sementara kru pesawat mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Kapten Thain tidak menemukan sesuatu yang ganjil. Oleh karena itu, ia pun memanggil kembali para penumpang untuk melakukan percobaan yang ketiga.

Di sinilah tragedi itu bermula.

Sebelumnya, saat penumpang kembali ke ruang tunggu, salju mulai turun dengan lebat. Dengan cuaca yang tidak terlalu baik, sejumlah pemain seperti Duncan Edwards, merasa kalau penerbangan kemungkinan baru dilanjutkan esok hari saat cuaca sudah lebih baik. Tapi, Thain tetap melakukan percobaan ketiga.

Kapten Thain mencoba untuk mengakali dua kegagalan take off tersebut dengan meningkatkan akselerasi. Ia punya teori kalau pesawat akan terangkat di ujung landasan sepanjang dua kilometer tersebut.

Pesawat sempat bergerak pada kecepatan 217 kilometer perjam, sementara batas minimum untuk mengangkat pesawat adalah 220 kilometer perjam. Saat hampir mencapai ujung landasar, kecepatan pesawat tiba-tiba menurun. Sementara itu, sudah tidak mungkin bagi pilot untuk membatalkan take off untuk ketiga kalinya.

Di ujung lintasan, pesawat menabrak pagar dan pohon dengan kecepatan tinggi. Suara ledakan pun menggema. Asap hitam berkibar di udara.

Senjakala Sebuah Era

Take-off yang ketiga ternyata menjadi take-off yang terakhir untuk Elizabethan. Alih-alih terbang, pesawat justru tergelincir (baca: menabrak) pagar, menyerempet rumah, dan berakhir di pepohonan.

Puing-puing pun berserakan di tanah Munich yang bersalju. Mereka yang masih bernyawa, berhamburan mencari pertolongan; berusaha mengindari ledakan. Sementara itu, banyak juga yang tak berdaya, hanya duduk meregang nyawa.

Puing-puing yang bertebaran di luar Bandara Munich seolah menjadi sebuah tanda kalau Busby Babes pun tak lebih bagaikan pecahan yang tak mungkin lagi disatukan. Tragedi Munich seperti mengulang sesuatu amat yang tak diinginan seperti pada Tragedi Superga, di mana bukan cuma nyawa yang melayang tetapi juga kejayaan

United berduka; United terluka. Tapi kesedihan tak boleh bersemayam terlalu lama. Pada akhirnya, perlu waktu hampir sepuluh tahun bagi United untuk kembali juara. Namun, cerita soal Tragedi Munich tidak berakhir sampai di situ. Karena mereka yang pergi, berakhir menjadi motivasi, agar United kembali berprestasi.