Scholes, Gerrard, dan Lampard, saat merayakan gol Michael Owen pada Euro 2004. (Foto: Mirror)

Sulit untuk membantah kalau Paul Scholes adalah salah satu pemain terbaik sepanjang masa Manchester United. 718 penampilan, 155 gol, dan 25 gelar, menjadi bukti betapa besar jasa pria yang sempat menjadi manajer Oldham Athletic ini. Tidak sedikit pesohor dunia sepakbola yang menaruh rasa hormat tinggi kepada Scholes.

Segala pencapaian Scholes di level klub memang begitu sempurna. Sayangnya, hal ini tidak menular ketika ia memperkuat tim nasional. Tidak ada prestasi yang bisa dibanggakan. Selain itu, Scholes juga hanya membuat 66 penampilan selama tujuh tahun kariernya. Yang lebih mengejutkan lagi, Scholes pensiun dari tim nasional ketika usianya baru 29 tahun.

Beberapa waktu lalu, Scholes bercerita kepada BBC terkait keputusannya meninggalkan Inggris setelah Euro 2004 adalah keputusan yang justru ia sesali. Ada perasaan bersalah ketika ia memutuskan untuk tidak lagi menerima panggilan negara dan hanya berjuang demi nama United.

“Saya menyesal meninggalkan Inggris begitu cepat. Saya kembali ke United dan sepakbola saya berubah. Saya adalah pemain yang diharapkan mencetak banyak gol setiap waktu di timnas Inggris,” kata Scholes.

Karier Scholes bersama tim nasional dimulai pada laga persahabatan tahun 1997 melawan Afrika Selatan. Setelah itu, namanya langsung masuk skuat Inggris asuhan Glenn Hoddle untuk Piala Dunia 1998 dan mencetak gol pertamanya di Piala Dunia ketika Three Lions menang dari Tunisia.

Scholes adalah bagian dari timnas Inggris yang disebut memiliki generasi emas. Selain dia, ada nama John Terry, Rio Ferdinand, David Beckham, Michael Owen, dan duet Steven Gerrard dan Frank Lampard yang saat itu menghiasi skuat nasional. Sayangnya, tidak ada satu pun yang bisa memberikan prestasi hingga mereka pensiun satu per satu.

Keputusan untuk pensiun merupakan hak bagi masing-masing pemain sepakbola. Namun, pensiunnya Scholes saat itu memang tergolong mengejutkan. Selain usianya yang belum terlalu tua, kontribusinya di level klub sangat besar dan seharusnya bisa berguna bagi tim nasional.

Muncul beberapa teori untuk menentukan alasan utama Scholes pensiun dari timnas Inggris saat itu. Ferguson menyebut kalau alasan keluarga menjadi faktor pendorong yang membuatnya memilih mengakhiri karier. Hal itu juga diiyakan oleh Scholes ketika berbicara kepada BBC. Menurutnya, meninggalkan keluarga 10 hari hingga enam minggu merupakan aktivitas yang tidak ideal untuk pemain yang memiliki keluarga muda seperti dirinya.

“Alasannya mudah. Dia ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarganya. Saya sudah bicara dengannya hampir setahun yang lalu ketika ia datang menemui saya dan ingin memikirkan rencananya untuk pensiun. Dia sudah memberikan kontribusi besar bagi Inggris dan saya melihat 66 penampilan sudah sangat baik untuk berhenti di puncak karier,” kata Ferguson setelah pengumuman resmi pensiunnya Scholes dari timnas Inggris.

Namun, muncul alasan-alasan lain yang ditengarai menjadi penyebab pensiunnya Scholes dari tim nasional. Salah satunya adalah keberadaan Frank Lampard dan Steven Gerrard. Bahkan tidak sedikit yang menyebut kalau inilah alasan sebenarnya mengapa Scholes memilih mengakhiri karier begitu cepat dengan tim nasional.

Beberapa manajer yang melatih timnas Inggris saat itu lebih memilih memaksimalkan Steven Gerrard dan Frank Lampard sebagai double pivot di lini tengah Inggris. Scholes kemudian lebih dimaksimalkan sebagai pemain sayap di sebelah kiri. Apes bagi dirinya, disaat duet Lampard-Gerrard tidak sebagus yang orang kira, Scholes juga jarang dilirik untuk menggantikan salah satu diantara keduanya. Sebuah ironi mengingat These Football Times menyebut kalau keterampilan yang dimiliki Scholes di atas lapangan adalah gabungan dari Gerrard dan Lampard.

Scholes sendiri merasa kalau Gerrard dan Lampard memang jauh lebih baik dan layak untuk bermain sebagai pemain tengah dibanding dirinya. Scholes sendiri juga tidak mempermasalahkan apabila ia bermain sebagai pemain sayap di tim nasional mengingat di United ia juga pernah bermain sebagai pemain sayap dan bermain cukup bagus.

“Saya tahu banyak alasan dari Sven-Goran Eriksson yang memainkan saya sebagai pemain sayap di sebelah kiri, tapi bagi saya bermain di posisi itu tidak masalah. Dalam 20 atau 30 laga terakhir, penampilan saya tidak cukup baik dan Steven (Gerrard) serta Frank (Lampard) adalah dua pemain berkelas untuk lini tengah,” kata Scholes.

“Saya bermain di sebelah kiri bersama United cukup sering dan cukup sukses. Saya mencetak beberapa gol. Kepindahan saya murni karena alasan pribadi dan bukan karena saya membuat gol yang sedikit.”

Dalam bukunya, My Story, Scholes justru menyinggung soal kepentingan pribadi yang membuat Inggris tidak pernah sukses di dunia sepakbola internasional sejak Piala Dunia 1966. Faktor inilah yang berperan besar ketimbang meributkan siapa yang cocok bermain di tengah antara dia, Gerrard, dan Lampard.

“Saya muak. Ketika Anda datang ke tim, Anda ingin menjadi bagian dan bermain baik untuk tim. Akan tetapi, ada individu yang lebih memilih mengejar kejayaan pribadi. Inilah masalah besar pemain Inggris yang kebanyakan dari mereka terlalu egois,” kata Scholes dalam bukunya.

Di tengah rasa kesalnya kepada rekan setimnya yang dianggap mementingkan kepentingan pribadi, Scholes sebenarnya masih menyimpan rindu untuk kembali memakai seragam tim nasional. Sayangnya, ketika kesempatan itu terbuka justru Scholes yang menyia-nyiakannya.

Ia menolak dua panggilan dari Steve McClaren pada 2006. Ketika kursi kepelatihan sudah pindah ke tangan Fabio Capello, ia juga menolak tawaran untuk kembali. Padahal, Scholes saat itu tampil baik bersama United sepanjang musim 2009/2010.

Tawaran dari Steve dan Capello mempertegas kalau tenaga Scholes diperlukan oleh negaranya. Dua manajer ini ingin lini depannya dimanjakan dengan umpan-umpan panjang elegan yang sering ia tampilkan di United. Namun Scholes beralasan kalau Capello saat itu hanya memberikan waktu dua jam sebelum mengambil keputusan. Waktu yang menurutnya sangat singkat.

“Saya hanya diberikan beberapa jam untuk berpikir, tetapi saya memerlukan waktu lebih banyak (untuk berpikir). Tidak sampai seminggu sebelum turnamen, saya berpikir kalau telah membuat keputusan yang salah,” kata Scholes.

Scholes mengajarkan kita semua untuk tidak gegabah dalam mengambil keputusan ketika dihadapkan oleh dua pilihan. Sayangnya, Scholes justru termakan egonya sendiri. Ia hanya bisa menyesal atas keputusan yang sudah ia pilih saat itu.

Jika dia bisa dengan jernih berpikir selama dua jam dan tidak mengedepankan egonya, ia mungkin akan kembali ke tim nasional setidaknya untuk satu turnamen lagi.

Atau jangan-jangan, Scholes saat itu masih trauma kalau ia akan dimainkan lagi sebagai sayap kiri mengingat di era kepelatihan Capello, nama Gerrard dan Lampard masih ada di tim nasional! Entahlah, yang pasti Scholes sendiri seperti sudah capek terus dikait-kaitkan dengan kedua pemain ini ketika membahas kariernya bersama tim nasional.

“Steven Gerrard dan Frank Lampard yang terbaik. Saya sudah muak mendengar ini tapi orang punya pendapatnya masing-masing. Mereka adalah dua pemain yang luar biasa, dan pemain yang memiliki ciri khas yang berbeda,” katanya.