Piala Dunia 1982 langsung memberikan dampak yang cukup besar bagi Norman Whiteside. Pada musim 1982/1983, ia menjadi langganan starter di bawah arahan Ron Atkinson. Ia tumbuh menjadi pemain yang konsisten. Duetnya dengan Frank Stapleton di lini depan saat itu begitu tajam. Norman membuat 19 gol di semua kompetisi, sementara Norman membuat 14 gol. Dari 60 pertandingan yang dijalani, Norman hanya melewatkan tiga laga.

Ia menjadi salah satu faktor yang membuat United bisa mencicipi dua partai final (Piala Liga dan Piala FA). Dua final ketika Norman berhasil mencetak gol dan memecahkan rekor sebagai pemain termuda yang membuat gol pada final Piala Liga dan Piala FA. Meski gagal pada Piala Liga karena kalah dari Liverpool, beruntung United sukses membayarnya dengan mengangkat trofi Piala FA.

Betapa konsistennya Norman pada usia 18 tahun menarik minat AC Milan untuk membawanya bermain di Italia. Kubu Rossoneri menawarkan uang 1,5 juta paun dengan 100 ribu paun akan dibayarkan secara tunai. Ada yang menyebut kalau United menolak tawaran ini, namun ada juga yang menyebut kalau United menerima tawaran tersebut.

Akan tetapi, Norman sama sekali tidak memiliki keinginan untuk pindah. Dia merasa masih memiliki masa depan di Manchester dan menganggap kariernya masih sangat singkat untuk pindah-pindah klub. Selain itu, ia juga khawatir tidak bisa beradaptasi di lingkungan yang baru karena ia juga masih dalam tahap belajar di United.

Sayangnya, Norman benar-benar pindah. Namun yang terjadi adalah dia pindah posisi. Setelah menjadi striker, ia digeser sebagai pemain sayap oleh Atkinson. Kedatangan Garth Crooks dan masuknya Mark Hughes dari akademi menjadi titik balik dari perubahan posisi yang dialami Norman.

Atkinson tampak keras kepala dan tetap teguh untuk menggeser Norman menjadi pemain sayap meski ia tahu kalau pemainnya tersebut tidak diberkati kecepatan lari jarak pendek. Meski begitu, ketajamannya masih sangat terjaga. Ia masih sanggup membuat 12 gol dan hanya kalah dari Frank Stapleton dan Bryan Robson. Satu-satunya kegagalan Norman saat itu adalah ia tidak bisa membawa United meraih gelar.

Norman baru benar-benar tersingkir sebagai pemain utama United pada musim 1984/1985. Hingga Februari 1985, ia hanya bermain delapan kali sebagai starter. Kedatangan Alan Brazil dan konsistennya seorang Mark Hughes membuat tempat Norman di lini depan sudah hilang. Beruntung baginya karena ia mulai bisa kembali bermain secara reguler setelah Remi Moses mengalami cedera. Kali ini, duetnya bersama Bryan Robson mampu membuat lini tengah United menjadi solid.

Musim itu menjadi musim yang akan selalu dikenang oleh Norman. Ia mencetak hat-trick pertama dan satu-satunya ketika United menang 4-2 melawan West Ham. Yang paling ikonik tentu saja ketika satu golnya membawa United menjadi juara Piala FA setelah mengalahkan Everton. Gol yang disebut-sebut sebagai salah satu yang terbaik yang pernah terjadi pada laga final.

Menerima bola di sisi kanan dari Mark Hughes, Norman melakukan sedikit step-over sebelum melepas sepakan lengkung yang tidak bisa dijangkau Neville Southall. Gol yang tidak hanya menghasilkan piala kedua bagi Ron Atkinson melainkan membuatnya ditawari kontrak baru senilai 60 ribu paun per tahun.

“Ada dua gol yang paling menonjol yang pernah saya buat. Yang pertama adalah gol pada semifinal Piala FA 1983 melawan Arsenal, dan berikutnya adalah gol ke gawang Everton pada final 1985. Gol itu menggagalkan upaya mereka mendapat tiga gelar karena sebelumnya mereka menjadi juara liga dan Piala Winners,” katanya.

Norman semakin tumbuh sebagai pemain yang jauh lebih matang seiring berjalannya waktu. Semusim berselang, ia beberapa kali menjadi kapten tim yang membuat namanya tercatat sebagai kapten termuda setelah Duncan Edwards pada 1958.  Tidak hanya itu, ia mencatat 200 penampilan bersama Setan Merah. Lagi-lagi catatan ini membuatnya masuk dalam jajaran pemain termuda yang bisa mencapai 200 penampilan. Sayangnya, ia tidak bisa memberikan gelar bagi United meski sempat memimpin liga Inggris hingga November.

Tersingkir di Era Fergie

Dua gelar Piala FA jelas tidak cukup bagi tim sekelas United. Yang mereka butuhkan adalah gelar Liga Inggris. Inilah yang membuat manajemen klub memutuskan mendepak Ron Atkinson dan menggantinya dengan Alex Ferguson. Perjalanan klub pada 1986/1987 juga tidak terlalu baik dan sempat membawa mereka terjebak pada urutan tiga terbawah.

Kedatangan Ferguson tidak hanya mengubah suasana kepelatihan klub melainkan juga nasib beberapa pemainnya termasuk Norman sendiri. Di era kepelatihan Fergie, Norman kembali bermain sebagai seorang penyerang. Meski begitu, penampilannya perlahan-lahan mulai menurun. Lutut kanannya yang pernah bermasalah ketika ia masih muda kembali kambuh dan butuh penanganan yang jauh lebih serius dari sebelumnya. Bahkan ia bisa saja pensiun lebih cepat jika tidak ditangani secara intensif.

Selain cedera, Fergie juga tidak terlalu menyukai budaya minum-minum yang masih dijalankan para pemainnya, termasuk Norman. Bahkan beberapa media pernah mengklaim kalau Fergie sebenarnya tidak terlalu menyukai Norman. Intrik-intrik ini yang kemudian menjadi awal dari berakhirnya sinar Norman di kota Manchester.

“Saya pergi ketika Alex Ferguson sedang membangun ulang timnya. Selain itu, saya juga mulai sering menderita cedera. Ia merasa sudah saatnya saya pindah. Ada yang memberitakan kalau saya didepak karena berselisih, padahal itu tidak benar. Saya dan dia tidak pernah berselisih. Kami besahabat dan ia adalah orang yang mewujudkan transfer saya,” kata Norman kepada Inside United.

Cedera menjadi faktor terbesar dalam penurunan karier Norman. Lututnya sulit untuk menopang badannya untuk bermain seperti sebelumnya. Ditambah dengan bersinarnya Brian McClair dan kehadiran Peter Davenport yang membuat posisi Norman sempat kembali menjadi pemain tengah dalam beberapa pertandingan. Bahkan ia pernah absen selama setahun akibat cederanya tersebut.

Lonceng tanda berakhirnya karier Norman di United terjadi pada musim 1988/1989. Pada musim panas, ia nyaris bergabung dengan klub Amerika Serikat, Portland Timbers. Ia siap dilepas dengan nilai 1 juta paun. Sayangnya, negosiasi tertunda karena Norman mengalami cedera sehingga ia tetap bermain untuk United.

Norman hanya bermain enam kali bersama Setan Merah. Kedatangan kembali Mark Hughes yang membuat posisi sebagai pemain depan sudah tertutup untuknya. Lini tengah juga makin sesak ketika Fergie mendatangkan Neil Webb dan Paul Ince. United akhirnya benar-benar pindah pada 1989 ke Everton dengan nilai 600 ribu paun. Kepindahan Norman saat itu mengecewakan para penggemar United yang merasa kalau dia sebenarnya masih punya masa depan di Old Trafford.

“Klub ini akan selalu berada dalam hati saya. Mereka melihat saya sebagai salah satu keluarga mereka karena saya adalah sosok yang berasal dari Belfast, yang beruntung bisa bermain sepakbola bersama Manchester United,” sambungnya.

Pindah dari United ternyata tidak membuat karier sepakbola Norman menjadi lebih baik. Sempat bermain apik pada musim pertamanya, namun penampilannya pada musim kedua begitu berantakan. Pelatih Everton, Howard Kendall, yang menekankan pentingnya kecepatan dan sesi berlari secara intens membuat lutut kanannya Norman kembali bermasalah dan mengharuskan dirinya menjalani operasi kesekian kalinya.

Operasi yang dia lakukan ini ternyata tidak membuat dirinya kembali bugar seperti sedia kala. Sempat bermain dalam beberapa laga tim cadangan, Norman ternyata tidak bisa kembali ke tim utama. Selesai musim kompetisi 1990/1991, ia memutuskan untuk pensiun pada usia 26. Usia yang jelas masih sangat muda untuk mengakhiri karier sebagai pemain.

Perjalanan karier yang membuatnya semakin mirip dengan George Best. Keduanya sama-sama gagal ketika usianya belum mencapai 30 tahun. Yang membedakan adalah, karier Best hancur karena kebiasaannya minum-minuman keras sedangkan karier Norman berantakan karena cedera yang sulit dihilangkan.

Pada Mei 1992, Manchester United memberikan pertandingan testimoni kepada Norman sebagai apresiasi atas perjalanan kariernya selama delapan musim. Mereka menggelar laga antara Manchester United melawan Everton di stadion Old Trafford. Sebuah ide yang cukup bagus mengingat Norman adalah salah satu pemain terbaik mereka.

Sayangnya, pertandingan testimoni ini tidak berjalan sesuai harapan. Old Trafford hanya dipenuhi oleh 7.434 penonton. Jumlah yang tidak disangka-sangka mengingat Norman adalah pemain kesayangan penggemar United. Kekesalan para penggemar disinyalir menjadi alasan mengapa Old Trafford tidak penuh pada saat itu. Mereka kecewa karena beberapa hari sebelumnya United gagal menjadi juara Liga Inggris setelah kalah empat poin salah satu rival abadinya, Leeds United.