Foto: ManUtd.com

Axel Tuanzebe, Brandon Williams, James Garner, Andreas Pereira, dan Mason Greenwood memberikan sejarah baru bagi Manchester United pada pertandingan terakhir fase grup Europa League musim 2019/20. Kehadiran mereka di atas lapangan membuat Manchester United sudah 3.999 pertandingan secara beruntun memainkan (minimal satu) lulusan akademinya sebagai starter.

Laga akhir pekan melawan Everton akan menandakan pertandingan ke-4.000 mereka bersama pemain lulusan akademi. Sejarah ini sudah pasti akan dipecahkan mengingat Marcus Rashford dan Scott McTominay 100 persen akan bermain pada laga besok.

Jika melihat pemberitaan media, maka United nampaknya menjadi satu-satunya kesebelasan yang bisa konsisten melestarikan tradisi ini. Tentu ini menjadi sebuah kebanggaan betapa klub ini masih konsisten memberikan kesempatan kepada pemain akademi di tengah arus kedatangan pemain-pemain hebat dari negara lain.

“Ini sesuatu yang harus kami banggakan. Inilah DNA kami. Klub ini dibangun dari para pemain-pemain lokal atau pemain akademi yang dinaikkan ke tim utama. Anda bisa melihat hari ini (vs AZ) kalau para pemain akademi tahu apa artinya menjadi pemain Manchester United,” kata Solskjaer.

Tradisi ini dimulai pada tahun 1937 ketika mereka memainkan Tom Manley dan Jack Wassall pada pertandingan antara United melawan Fulham. Manley saat itu bermain sebaga bek kiri, sementara Wassall adalah pemain sayap. Meski laga tersebut berakhir dengan kekalahan United 0-1, namun saat itu menjadi awal dari lestarinya tradisi ini yang tidak pernah putus hingga lima nama yang bermain melawan AZ kemarin.

Ketika Manley dan Wassall meninggalkan United pada 1939, bergantian pemain-pemain lain mengisi susunan pemain utama. Pada era Perang Dunia II, trio Johnny Carey, Stan Pearson, dan Jimmy Hanlon yang rutin mengisi skuat utama United saat itu. Enam tahun kemudian, Matt Busby masuk sebagai manajer United yang membuat produksi pemain “asli” United menjadi semakin meningkat.

Sebelum era 50-an, mereka-mereka yang bermain tersebut belum akrab disebut sebagai pemain lulusan akademi. Saat itu, mereka hanya mengandalkan pencarian pemain muda di wilayah Manchester melalui ketua James W Gibson dan sekretaris klub Walter Crickmer. Seiring berjalannya waktu, mereka membangun Manchester United Junior Athletic Club yang menjadi cikal bakal dari akademi Manchester United yang kita kenal sekarang. Mereka bermarkas di The Cliff yang jaraknya lima kilometer dari Old Trafford.

Strategi ini langsung menuai kesuksesan pada era 1950-an. Saat itu, para pemain Untied menjuarai lima gelar FA Youth Cup. Mayoritas dari pemain ini yang kemudian dikenal sebagai Busby Babes yang berisi nama-nama seperti Duncan Edwards, Mark Jones, David Pegg, dan Bobby Charlton. Sayangnya, mayoritas dari bintang-bintang ini meninggal dunia karena kecelakaan pesawat di kota Munich. Beruntung, Busby tidak menyerah dalam mencari talenta. Nobby Stiles dan David Sadler kemudian menjadi pilar kesuksesan klub bersama Charlton pada final Liga Champions 1968.

Berakhirnya era Busby, tidak membuat produksi pemain akademi menjadi surut. Meski karier manajer selanjutnya macam Wilf McGuiness, Frank O’Farrel, Tommy Docherty, Dave Sexton, dan Ron Atkinson terbilang pendek, namun mereka mewariskan beberapa pemain akademi yang melegenda bersama klub. Sebut saja Sammy Mcllroy, Arthur Albiston, dan duet saudara Brian dan Jimmy Greenhoff. Mereka berempat menjadi pilar keberhasilan mereka mengatasi ambisi treble Liverpool pada 1977.

Pada era 80-an, Norman Whiteshide dan Mark Hughes adalah dua pemain lulusan akademi yang perannya begitu vital. Ketika Sir Alex Ferguson masuk pada 1986, ia langsung mendapuk Gary Walsh sebagai pemain akademi pertama yang menjalani debut pada era kepelatihannya.

Bersama Sir Alex Ferguson, peran pemain akademi memang mencapai titik puncaknya. Dimulai dari Lee Martin yang menjadi pahlawan pada Piala FA 1990, lalu muncul Ryan Giggs pada waktu yang sama menjadi sinyal awal kalau pemain akademi akan mencapai kejayaan serupa seperti ketika tim masih dipegang oleh Busby.

Kekuatan akademi United menjadi solid ketika Eric Harrison masuk untuk mengawasi bocah-bocah itu menuju tim utama. Hasilnya, ia menelurkan Paul Scholes, David Beckham, Neville bersaudara, dan Nicky Butt. Double winner musim 1995/96 menjadi tonggak awal yang kemudian disusul gelar treble tiga tahun kemudian.

Class of 92 sebenarnya menjadi era terakhir dimana akademi United berhasil mengorbitkan pemain muda hebat dalam waktu yang bersamaan dengan jumlah yang cukup banyak. Tempaan dari para senior macam Roy Keane, Peter Schmeichel, dan Steve Bruce membuat mereka langsung berada di titik puncak meski usia mereka masih tergolong muda. Ketika mereka berada pada usia yang matang, Ferguson pelan-pelan menambah satu sampai pemain junior lagi dalam waktu yang berbeda-beda seperti Wes Brown, John O’Shea, Darren Fletcher, Jonny Evans, Danny Welbeck, dan yang terakhir Paul Pogba.

Sama seperti era Busby, peran pemain akademi tidak kunjung berhenti meski Ferguson sudah pensiun. Meski hanya 10 bulan, David Moyes membuat Adnan Januzaj menjadi pemain penting klub saat itu. Duet Ryan Giggs dan Louis van Gaal menghasilkan pemain seperti Jesse Lingard, Andreas Pereira, dan Marcus Rashford.

Jose Mourinho membuat keputusan kontroversial dengan membawa pulang Paul Pogba. Namun ia membayar keputusan berani tersebut dengan menaikkan nama Scott McTominay dan memberikan debut kepada Joel Pereira, Angel Gomes, dan Axel Tuanzebe. Dua nama terakhir mulai dikembangkan oleh Solskjaer bersama Brandon Williams, Mason Greenwood, Tahith Chong, dan James Garner.

Meski sepakbola saat ini akrab dengan uang banyak dan pembelian pemain-pemain mahal secara masif, namun akademi United masih menghasilkan prestasi yang cukup membanggakan. Musim lalu pemain akademi mereka membuat 30 dari total 65 gol Premier League mereka. Rasio 46 persen mengalahkan catatan musim 1995/96 yang hanya 41 persen.

Melihat Solskjaer memandang pemain akademi dengan sangat tinggi, maka bukan tidak mungkin ia akan membangun tim dengan pemain akademi sebagai poros layaknya Matt Busby dan Sir Alex Ferguson. Idealisme ini akan berhadapan dengan kesebelasan-kesebelasan lain yang mulai menggelontorkan banyak uang untuk membeli pemain-pemain bintang dari klub lain dan hanya menelurkan satu sampai dua pemain saja yang berasal dari akademi.