Foto: Express

Acara yang berlangsung khidmat tersebut mendadak rusak setelah ada seorang pemuda yang merasa gelisah karena temannya terlalu lama mengikuti acara tersebut.

Januari 2008. Orang-orang di tempat latihan Manchester United saat itu sedang bersiap kedatangan lima tamu spesial. Mereka adalah Bobby Charlton, Bill Foulkes, Albert Scanlon, Harry Gregg, dan Kenny Morgans. Tujuan mereka ke sana saat itu memenuhi undangan media United untuk membahas tentang tragedi Munich yang menimpa mereka.

Saat itu, tragedi naas tersebut sedang memasuki tahun yang ke-50. Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, selalu ada kesedihan tiap kali mereka mengenang kejadian tersebut. Ada air mata yang menetes dari wajah para kakek tua ini mengingat mereka kini sudah setengah abad kehilangan sahabat sekaligus keluarga mereka.

Salah satu pemain United tampak tertarik dengan suasana hening itu. Dia adalah Wayne Rooney. Di ruang yang berdekatan dengan kelima legenda United tadi, Rooney diminta pendapatnya sekaligus perspektifnya tentang kejadian tersebut dari sudut pandang pemain yang masih aktif, terutama pemain muda seperti dirinya.

Tidak jauh dari tempat Rooney, ada Cristiano Ronaldo. Berbeda dengan Rooney yang begitu semangat dan antusias dalam memperingati tragedi tersebut, Ronaldo justru sedang gelisah. Suasana hatinya tidak beres. Karen Shotbolt, sekretaris pers United, kena caci maki olehnya.

Ronaldo saat itu sedang menunggu Rooney. Sepertinya, ia ada janji untuk nongkrong atau sebagainya. Tapi Ronaldo gelisah karena merasa Rooney terlalu lama mengikuti acara tersebut. Sesekali dia menunjuk jamnya sebagai isyarat.

Rooney mencoba mengabaikannya. Menurut dia, urusan klub masih belum selesai. Apalagi ini soal tragedi Munich yang bersejarah. Ronaldo kembali mengetuk jari telunjuknya. Kali ini ke pintu kaca. Ia pun membuka sedikit pintu tersebut lalu bersiul ke Rooney seperti seorang petani yang memanggil anjing gembalanya.

Jurnalis yang hadir mengabaikannya. Beberapa dari mereka merasa kalau Ronaldo sedang mengganggu Rooney dengan niat bercanda. Namun, pandangan jurnalis berubah ketika Ronaldo terus menunjukkan raut wajah kesal.

***

Tulisan dari Daniel Taylor tersebut sebenarnya tidak akan dipublikasikan. Namun, seketika berubah ketika rumor ketertarikan Real Madrid kepada Ronaldo terus menguat. Cerita ini menjadi salah satu alasan kuat kenapa United harus melepasnya ke Real Madrid pada saat itu karena ego sang pemain dianggap sudah melampaui batas.

Pada tahun itu, Ronaldo sedang ada di puncak karier sepakbolanya. Membawa United juara Liga Champions dan Premier League, menjadi top skor Liga, dan meraih banyak penghargaan. Seketika levelnya kini tidak lagi sebatas pemain muda tapi sudah menjelma menjadi superstar. Real Madrid mulai tertarik kepadanya. Di sisi lain, Ronaldo sudah bertekad untuk bermain di sana sebagai impian besar dia dan anggota keluarganya.

Sayangnya, tidak mudah bagi Ronaldo untuk pergi. Sir Alex dalam buku autobiografinya masih ingin menahannya setidaknya satu musim lagi untuk kompetisi 2008/2009. Namun hasrat Ronaldo untuk pindah sudah tidak bisa ditahan.

Persoalan ini sempat memancing presiden FIFA kala itu, Sepp Blatter, untuk angkat suara. Ia berkata kalau klub tidak boleh menahan pemainnya untuk pergi. Ia juga menambahkan kalau sekarang tidak boleh lagi ada “perbudakan modern” dalam olahraga ini.

Selain presiden FIFA, Blatter saat itu adalah anggota kehormatan Real Madrid dan punya hubungan dekat dengan presiden klub saat itu, Ramon Calderon. Ucapan tersebut tak ayal membuat Ronaldo seperti ketiban amunis tambahan untuk balik menyerang United.

“Saya setuju dengan apa yang presiden FIFA bilang. Saya tahu apa yang saya mau dan saya tahu apa yang saya suka. Saya tidak tahu harus dari mana saya akan memulai musim depan,” ujarnya. Secara tidak langsung, Ronaldo merasa kalau dirinya seperti budak di Manchester.

***

Ego Ronaldo pada akhirnya takluk oleh kecanggihan Sir Alex Ferguson dalam mengatur suasana hati sang superstar. Ronaldo memutuskan bertahan satu musim lagi. Namun, catatan gol yang menurun drastis dari sebelumnya (Ronaldo hanya membuat 26 gol dalam satu musim) seolah menyiratkan kalau dirinya memang sudah tidak tahan untuk bisa berganti seragam dari merah menjadi putih.