Jika diminta menyebut siapa sosok Ryan yang paling berjasa untuk Manchester United, maka nama Ryan Giggs akan muncul pada barisan teratas. Namun, sebenarnya ada satu lagi sosok Ryan yang jasanya bersama Setan Merah patut untuk diberikan apresiasi berkat loyalitas dan kesetiaannya. Dia adalah Jim Ryan, pria tua yang menghabiskan kariernya di United sama seperti Giggs yaitu menjadi pemain dan staf pelatih.

Karier Jim sebagai pemain sebenarnya tidak sebagus karier Giggs. Jika Giggs berhasil mencetak banyak gol, asis, jumlah penampilan, dan trofi, maka tidak dengan Jim. Ia hanya bermain sebanyak 27 kali dan membuat empat gol, padahal ia berposisi sebagaai pemain depan.

Namun, satu kesamaan dari kedua pemain ini adalah mereka sama-sama menjadi bagian tim bersejarah Manchester United. Giggs memperkuat tim United yang meraih tiga gelar musim 1998/1999, sedangkan Jim berada dalam tim yang bermain pada final Piala Champions 1967/1968.

Langkah awal Jim dimulai saat ia bermain untuk tim lokal Cowie Hearts. Dalam sebuah pertandingan melawan tim dari kota Stirling, ia bermain bagus dalam kemenangan 7-1 timnya. Saat di ruang ganti, ada seseorang yang memanggilnya. Orang itu adalah saudara tiri Matt Busby yang bekerja sebagai pemandu bakat klub.

“Kami ingin Anda pergi ke Manchester United untuk melakukan trial dua minggu. Bisakah engkau melakukannya? Jika kau menginginkannya, maka aku akan mengurusnya,” kata si orang tersebut.

Jim tidak mau kesempatan ini gagal. Sebelum ia mendapat tawaran dari United, ia lebih dulu didatangi oleh pemandu bakat Celtic yang langsung datang ke rumah. Akan tetapi, penawaran tersebut tidak ditanggapi dengan baik karena ayahnya bukan pendukung Celtic. Momen yang ketika itu menghancurkan hati Jim.

Oleh karena itu, kesempatan kedua ini tidak ingin disia-siakan oleh Jim. Ketika rumahnya kedatangan paket berisi surat, dan tiket kereta api dari United, maka ia memutuskan untuk berangkat.

Sayangnya, pertandingan trial pertama Jim tidak berakhir baik. Bermain sebagai penyerang, ia tidak memberi satu gol pun ke gawang lawan. Ia bahkan merasa kalau tidak bermain dengan baik. Di sisi lain, rekannya yang bernama Cameron, dengan posisi yang sama yaitu sebagai striker, mencetak tiga gol.

Ada rasa kecewa dalam diri Jim, namun ia memilih untuk tetap santai. Meski pada laga berikutnya ia mencetak gol, namun Jim berpikir kalau ia sudah pasti tidak punya peluang untuk bermain di United karena kegagalan di laga pertama. Sisa masa trial ia habiskan dengan menikmati latihan dan belajar bahasa Inggris ala orang Inggris.

Namun siapa sangka, kalau pertandingan kedua itu membawa Jim untuk bertahan lebih lama di United. Ia yang tadinya hanya trial selama dua minggu, ternyata diperpanjang menjadi satu bulan. Bahkan sejak saat itu, muncul desas-desus kalau ia akan diberi kontrak profesional oleh Matt Busby.

“Matt Busby memanggil saya ke kantornya. Dia mengatakan kepada saya kalau United ingin saya bergabung danmenjelaskan berapa gaji yang saya terima. Saya hanya bisa duduk di sana dan merasa pusing. Saya nyaris tidak bisa bicara dengannya,” kata Jim kepada Utd Unscripted.

Menggampai mimpi itu ternyata tidak mudah. Pintu yang sebelumnya sudah terbuka lebar, bisa tertutup dengan cepat saat kita sudah dekat untuk melangkah. Itulah yang dialami Jim. Setelah menjalani pemeriksaan kesehatan rutin di kawasan All Saints, ia memiliki kapasitas paru-paru yang baik untuk bermain sepakbola dan disarankan untuk mencari pekerjaan lain.

“Kegembiraan saya hanya berlangsung seminggu. Saya sebenarnya tidak ada masalah (paru-paru). Setiap saya adu lari dengan sekelompok pemain, saya mungkin bukan yang selesai nomor satu, tapi saya juga bukan yang terburuk. Saya patah hati,” Katanya.

Selama berhari-hari Jim merasa galau karena vonis dari dokter tersebut. Sampai kemudian pada Jumat sore, Jim diminta datang menemui Matt Busby. Menurut Jim, setiap langkah yang ia lakukan untuk menuju ruangan Matt Busby seperti mengantarkan diri ke tiang gantungan. “Saya yakin dia akan memberi tahu apa yang dokter katakan kalau saya tidak bisa bermain bola lagi. Saya ingat jelas ketika saya hanya berdiri di depan pintu Busby,” tuturnya.

“Saya cinta sepakbola. Saya sudah berada di United. Saya bertemu Denis Law. Saya bertemu semua orang dan memiliki segala pengalaman hebat. Dia (Busby) akan memberitahu saya untuk pulang ke rumah.”

Ketika di dalam, Busby berbasa-basi terlebih dahulu dengan bertanya kabar Jim dan keluarganya. Sampai ketika pada inti pembicaraan, Busby melakukan hal yang cukup membuat Jim terkejut.

“Busby berkata kalau ia mendapat surat tersebut dari dokter dan ia berkata kalau surat itu tidak berarti apa-apa. Dia membuangnya  ke tempat sampah, tepat di depanku. Saya tidak percaya betapa beruntungnya saya. Saya ingin keluar dan merayakannya karena saya akan kembali lagi ke United.”

Tidak ada lagi yang ditakutkan Jim pada saat itu. Busby menolak rekomendasi dokter dan ia percaya penuh kepada Jim. Kali ini, semuanya ditentukan oleh hasrat dan tekad Jim sendiri untuk benar-benar menjadi penggawa Setan Merah pada 1963. Ia pun mulai mengadakan latihan intensif. Latihan angkat beban, lari naik turun tangga Old Trafford, dan bergulat dengan pemain besar United saat itu, Jack Crompton, menjadi aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh Jim.

“Jack akan meletakkan alas di tanah, lalu aku berbaring dan Jack akan berada di atas saya. Saya harus membuatnya jatuh. Latihan ini seperti yang dilakukan di ketentaraan. Saya harus mendorong pria besar ini yang membuat lengan saya selalu mati rasa pada akhir sesi. Setelah selesai, saya hanya bisa berbaring di tempat tidur.”

Dipastikannya Jim menjadi skuat United tidak hanya membuat impiannya menjadi pemain sepakbola profesional menjadi kenyataan, namun juga membuatnya lebih dekat dengan Denis Law. Jim sangat mengidolai Denis. Ia menyebut kalau menonton Denis pada malam yang berkabut adalah momen terindah ketika menyaksikan sepakbola.

“Dia adalah pahlawan pertama saya ketika di Skotlandia dan saya merasa kalau pertama kali saya bertemunya secara langsung adalah pada hari ketiga atau keempat masa trial saya dengan United. Kami harus mengambil semua peralatan yang dipakai untuk dicuci, dan ketika sampai di sana, saya melihat Denis ada di luar ruang ganti dan memainkan bola bersama pintu. Saya tidak pernah melihat ada yang menendang bola sekuat itu. Enam-tujuh kali dia menendang bola ke pintu dan bolanya selalu balik lagi kepadanya.”

“Tim ini luar biasa. Mereka punya Denis, Bobby Charlton, dan George Best. Saya biasa pergi dengan George. Kami akan pergi ke bar, minum, mencari gadis-gadis, dan saat kami pergi botol itu masih setengah penuh.

Cerita Jim Ryan ini pertama kali dipublikasikan oleh situs resmi United dalam rubrik Utd Unscripted dengan pengubahan seperlunya.