Setelah gagal menjadi seorang pesepakbola, hari-hari Jose Mourinho lebih banyak diisi dengan dua kegiatan yaitu kuliah di Instituto Suprior de Educacao Fisica (ISEF) dan Technical University of Lisbon, serta menjadi pelatih tim muda Vitoria de Setubal sebelum menjadi asisten di Estrela da Amadora. Seandainya ia tidak menerima tawaran dari Sporting CP untuk menjadi seorang penerjemah, bukan tidak mungkin Mourinho tidak dikenal oleh seluruh dunia seperti sekarang ini.

Jose Mourinho beruntung dibekali otak yang cerdas. Dia bisa berbicara lima bahasa yang berbeda yaitu Portugis, Spanyol, Italia, Prancis, dan Inggris. Meski kemampuan melatihnya belum dilihat banyak orang, namun kemampuan berbicaranya yang pandai membuat namanya dicari-cari oleh beberapa klub di Portugal.

Pada Juli 1992, Sporting CP kemudian memberikan sebuah kesempatan dengan menjadikan Mourinho sebagai penerjemah sekaligus asisten untuk pelatih baru mereka, Bobby Robson. Meski terlihat canggung ketika pertama bertemu, namun Mourinho, yang ketika itu baru memasuki usia 30-an sudah menarik hati Robson.

“Jose itu adalah pria yang kepribadiannya sangat kuat. Bahasa Inggris-nya sangat bagus dan pengetahuan sepakbola yang dia miliki juga sangat kuat,” tutur Robson ketika pertama kali mengenal Mourinho.

Pelatih yang meninggal dunia pada 2005 ini semakin takjub dengan kinerja Mourinho. Orang-orang yang awam dengan Mourinho pasti hanya berpikir kalau dia hanya seorang penerjemah. Ketidak tahuan itu menjadi berkah bagi Robson. Dia dengan mudah bisa mengirimkan Mourinho sebagai mata-mata untuk melihat kelemahan lawan-lawan yang akan mereka hadapi.

“Dia selalu membuatku terpana. Dokumen yang dia berikan betul-betul lengkap. Di usianya yang baru tiga puluhan dan tidak pernah menjadi pemain sepakbola ataupun pelatih, dia selalu memberikan saya laporan yang paling lengkap yang pernah saya terima,” kata Robson.

Meski hebat dalam menganalisis lawan, namun tugas pokok Mourinho adalah menerjemahkan bahasa Inggris yang dikeluarkan dari mulut Robson menjadi bahasa Portugis serta sebaliknya. Saat menemani Robson bertemu media dalam wawancara sebelum dan sesudah, disinilah alter-ego alias “aku yang lain” dari seorang Mourinho keluar.

“Mourinho akan selalu mengartikan kata-kata yang dibisikkan oleh Robson dengan rinci. Tetapi, dia juga kerap menambahkan opininya sendiri. Bagi jurnalis yang tidak melihat mereka berbisik, mungkin menganggap bahwa itu semua adalah omongan Mourinho.”

Santi Gimenez, jurnalis dari AS menyebut bahwa Mourinho akan menerjemahkan secara utuh kata-kata Robson hanya ketika berada di kamar ganti. Sebaliknya, saat di depan media, Mourinho akan memilah kata-kata apa saja yang bisa ia terjemahkan dari mulut pelatihnya untuk selanjutnya dia selipkan dengan kata-katanya sendiri. Tidak jarang, Mourinho lebih sering beradu argument dengan jurnalis ketimbang Robson yang hanya bisa bengong karena kendala bahasa.

“Jose akan selalu memastikan saya agar tidak disalahkan dan selalu menjaga saya agar saya selalu memiliki hubungan baik dengan para pemain. Dia akan memberi tahu saya apa yang para pemain katakan ketika mereka berpikir kalau saya tidak bisa mengerti apa yang mereka ucapkan. Kapan pun saya butuh bantuannya, dia akan selalu ada, meskipun dia akan menempatkan dirinya sebagai sasaran tembak,” tutur Robson.

Kombinasi Mourinho-Robson berhasil membawa Sporting finis pada urutan ketiga di liga Portugal. Akan tetapi, Sporting justru memecat Robson ketika klub tersebut sebenarnya berada di posisi pertama liga pada Desember 1993. Kekalahan dari Casino Salzburg di Piala UEFA yang menjadi alasan presiden klub memecat Robson.

Mourinho sudah mengendus gelagat yang kurang enak sejak berada di pesawat. Presiden mereka terus mengoceh kepada pemain, direktur, dan para penggemar. Robson yang lagi-lagi roaming hanya bisa bertanya kepada Mourinho tentang apa yang diucapkan. Mourinho hanya berkata kalau presiden ingin berbicara dengan Robson setibanya di bandara. Setelah sampai di Lisbon, Robson diberhentikan dari Sporting yang menandakan masa kerja Jose Mourinho juga sudah habis bersama klub tersebut.

Perpisahan keduanya tidak berlangsung lama. FC Porto yang melihat Robson menganggur kemudian menunjuknya sebagai pelatih anyar. Robson pun kembali membawa serta Mourinho. Nasib baik kali ini menaungi keduanya. Mereka sukses bersama tim yang bermarkas di Do Dragao tersebut. Robson sudah tidak kesulitan lagi mengatasi kultur sepakbola Portugal sementara Mourinho sudah semakin nyaman menjalani perannya sebagai asisten.

Kolaborasi keduanya membawa Dragoes mencapai semifinal Liga Champions 1993/94 dan memenangi Liga Portugal di musim yang sama. Tidak hanya itu, dua Piala Portugal juga diraih pada musim 1994/95 dan 1995/96 serta ditambah dengan tiga gelar Piala Super Portugal.

“Saya mengenal Mourinho sudah sangat lama dan dia memiliki metode spesial dalam mengatur para pemainnya dan memahami apa yang mereka inginkan,” tutur Vitor Baia, kiper FC Porto saat itu.