Foto: Independent

Final Liga Champions 1998/1999 selamanya menjadi salah satu pertandingan terbaik yang pernah dimainkan Manchester United sepanjang sejarah mereka. Di stadion Camp Nou, mereka berhasil menjadi juara Eropa setelah menang 2-1 melawan Bayern Munich. Tertinggal terlebih dahulu, mereka membalikkan keadaan pada menit-menit terakhir pertandingan.

Mereka yang menjadi saksi dari momen tersebut, tentunya tidak menyangka kalau mereka akan mendapatkan kesempatan menikmati salah satu pertandingan dramatis sepanjang sejarah sepakbola mereka. Kebahagiaan jelas muncul dari raut wajah pendukung United karena mereka yang menjadi pemenang, sedangkan laga ini sudah pasti menjadi tragedi bagi mereka yang terkait dengan Bayern Munich.

Saya cukup iri kepada penggemar United yang bisa menyaksikan laga ini melalui layar kaca. Saat Ole Gunnar Solskjaer mencetak gol ke gawang Oliver Kahn, saya masih berusia lima tahun. Tentunya sangat sulit bagi saya mendapat izin dari orang tua menonton laga yang dimainkan dini hari. Saya hanya bisa menikmati jalannya laga tersebut melalui artikel di tabloid BOLA yang edar beberapa hari kemudian.

Tabloid BOLA membahas final Liga Champions 1999 (Foto: Pribadi)

Kenangan laga ini tidak hanya dirasakan oleh pemain, pelatih, dan suporter saja. Wasit Pierluigi Collina menyebut kalau laga tersebut membawanya seperti sedang berada di kandang singa. Selain itu, laga ini juga memberi kesenangan tersendiri kepada sosok Clive Tyldesley.

Clive adalah orang yang menjadi komentator bagi pertandingan tersebut. Di Inggris sendiri, laga tersebut disiarkan oleh ITV yang menjadi pemegang hak siar Liga Champions Eropa. Dia adalah orang dibalik suaraAnd Solskjaer has won it yang fenomenal tersebut.

“Itu adalah pertandingan terbesar dalam hidup saya dan pada saat itu skor masih 1-0 dan saya telah beberapa kali membuat prediksi yang salah. Pertama, saya merasa kalau gol Mario Basler adalah hasil dari tendangan yang berubah arah, Clive dalam pertandingan menyebut kalau gol Basler hasil deflected. Saya juga yakin kalau Schmeichel saat itu tidak akan maju karena terlalu berisiko.”

“Dengan 10 menit tersisa, saya berpikir kalau ini akan menjadi pertandingan terbesar dalam hidup saya. Final Eropa pertama saya dan United akan kalah satu gol. Kami memasuki menit-menit akhir dan saya mengucapkan satu atau dua nama yang menjadi bagian kecil dari momen tersebut,” kata Clive.

Schmeichel maju untuk merusak pertahanan Bayern yang membuat bola berada di kepala Dwight Yorke. Salah satu pemain Bayern melakukan sapuan yang justru mengarah ke Giggs. Bola langsung disepak oleh pemain Wales tersebut yang kemudian diteruskan oleh Sheringham ke gawang Kahn.

Name on a trophy” begitu kata Clive setelah gol tersebut setelah sebelumnya ia bertanya “Can Manchester United score?” yang kemudian dia jawab sendiri dengan berkata “They allways score.”

Beberapa detik kemudian, United kembali mendapat sepak pojok berkat Solskjaer. Sepakan Beckham kemudian disundul oleh Sheringham dan diteruskan oleh Solskjaer untuk membuat United meraih tiga gelar dalam satu musim. Sesuatu yang mungkin tidak diharapkan oleh rival mereka pada saat itu.

“Saya yakin ada 20 juta orang yang menonton pertandingan itu dan saya merasa kalau setengahnya tidak ingin United jadi pemenang.”

“United tampak tidak seimbang dengan Ryan Giggs main di kanan dan Beckham main di tengah. Absennya Scholes dan Keane membuat Fergie memasang Blomqvist di kiri dan itu tidak bekerja. Bayern, meskipun unggul, tidak mendominasi pertandingan. Mereka justru nyaman ketika 10 menit terakhir,” tuturnya menambahkan.

Hotel tempat menginap Clive terletak sangat dekat dengan stadion Camp Nou. Oleh karena itu, ia hanya perlu berjalan kaki setelah menyelesaikan tugasnya. Sepanjang perjalanan, ia khawatir apa yang diucapkan dalam tiga menit yang menentukan itu akan dianggap orang sebagai pernyataan yang berlebihan. Mungkin dia menganggap ucapan And Solskjaer has won it sama lebaynya dengan bunyi komentator-komentator Indonesia yang lebih sering memakai istilah yang terkesan aneh.

“Entah dari mana datang ucapan ‘name on the trophy’ ketika Sheringham mencetak gol. Namun, saya merasa kalau itulah yang dirasakan semua orang (kalau United yang akan menang). Ucapan itu dan perkataan Fergie yang menyebut ‘football bloody hell’ membuat saya tersadar kalau pertandingan itu tinggal tiga menit lagi sehingga tidak ada yang bisa menahan ucapan itu agar tidak terjadi.”

“Yang menjadi masalah adalah ucapan ‘and Solskjaer has won it’ yang melanggar aturan utama seorang komentator. Ketika saya bicara dengan lulusan media, saya berusaha untuk tidak pernah menyebut kalau tim itu akan menang sebelum pertandingan benar-benar selesai.”

“Jika Bayern menyamakan kedudukan lalu menang pada perpanjangan waktu dan adu penalti, ITV mungkin akan mengganti saya. Tapi saya rasa gol penyeimbang tidak akan terjadi. Ini hanya akan terjadi sekali. Ini adalah satu-satunya kesempatan yang mereka dapatkan untuk memenangkan segalanya dalam 11 hari dan itulah yang membuatnya terasa luar biasa,” kata Clive

Fan United yang Tidak Lagi Menjadi Fan

Yang orang lain belum tahu dari Clive adalah dia merupakan penggemar Manchester United. Laga pertama yang ia saksikan adalah pertandingan antara United melawan Bolton Wanderers pada 1959 atau ketika usianya baru lima tahun. Sejak saat itu, dia rajin ke Old Trafford setiap minggu dan menjadi saksi dari kehebatan trio Best, Law, dan Charlton.

“Saya ingat kalau saya ada di sana saat United juara Liga Inggris 1967. Saya baru berusia 12 tahun dan tentunya saya tidak turun ke lapangan saat itu. Ketika usia saya 15, saya dan ayah saya menonton terpisah. Saya di Stretford End, dan ayah di tempat lain. Itu berlangsung setahun tapi saya merasa kalau hati saya tidak ada di sana,” ujarnya.

Meski rajin menonton United, pengagum Denis Law ini justru kehilangan minatnya menonton United ketika beranjak dewasa. Cintanya kepada Setan Merah menghilang setelah ia mendapat tawaran menjadi reporter untuk stasiun radio Nottingham Forest pada 1970-an. Sejak saat itu, ia pindah dukungan dengan menjadi penggemar Nottingha Forest.

Ditambah dengan performa klub saat itu yang terus anjlok setelah ditinggal Busby. Kekalahan United dari Southampton pada final Piala FA 1976 membuatnya sadar kalau minatnya kepada United semakin lama semakin pudar.

Clive sendiri sebelumnya bekerja untuk BBC setelah menjadi reporter Nottingham Forest. Pada Agustus 1996, ia kembali bekerja di ITV dibawah arahan salah satu komentator senior Brian Moore. Setelah pensiunnya Moore, Clive kemudian menjadi komentator utama untuk laga-laga sepakbola di ITV. Clive sendiri masuk dalam jajaran komentator terkenal di dunia sepakbola bersanding dengan John Helm, Jon Champion, Martin Tyler, Peter Drury, dan John Motson.

Meski sudah tidak lagi mendukung United, namun Clive cukup sering memandu jalannya pertandingan Manchester United mengingat ITV beberapa kali menjadi pemegang hak siar beberapa kompetisi seperti Piala FA, dan Liga Champions.

Beberapa hari sebelum final Liga Champions 1999, ia menjadi komentator ketika United menang 2-0 pada final Piala FA melawan Newcastle. Ia juga yang menjadi komentator saat United comeback di kandang Juventus. Beberapa laga United lain yang pernah ia bawakan adalah Manchester United vs Real Madrid (2003), Manchester United vs AC Milan (2007 dan 2010), dan Manchester United vs Barcelona (2008). Meski begitu, laga final 1999 akan selalu identik dengan Clive.

“Saya bukan orang yang menendan bola karena saya hanya menjadi bagian kecil dari sebuah cerita. Jika diibaratkan sebuah film, saya adalah pemain biola utama dalam orkestra yang memainkan soundtrack. Setiap kali laga itu disebutkan, mungkin 99% orang yang menonton akan mengenang pengalamannya menonton bersama kami dari ITV,” tuturnya.