foto: Youtube

Senyuman terkembang di wajah Rooney usai menyalami pria yang berdiri paling ujung di barisan para pemain Liverpool. Pria itu kemudian menyalami Phil Jones, lalu menyiapkan tangan kananya untuk menyambut pemain MU lainnya.

Prosesi jabat tangan ini terlihat sangat biasa, karena telah menjadi budaya di sepakbola. Hal yang bikin tidak biasa pada 16 Maret 2014 tersebut tak lain karena yang bersalaman itu adalah Luis Suarez dengan Patrice Evra.

Tentu, tidak ada yang membenci momen ini. Kamera televisi bahkan menjadikan momen ini sebagai bagian utama seolah dunia ingin tahu apa yang akan terjadi kepada dua seteru ini.

Ini tak lepas dari apa yang ditunjukkan Suarez pada 2012 silam. Kala itu, perseteruannya dengan Evra tengah ada di puncak. Kala menyambangi Old Trafford, Liverpool yang dipimpin Steven Gerrard mengawal rekan-rekannya sebagai yang paling depan dengan menyalami para pemain United. Suarez  yang berdiri paling belakang, tidak menyalami Evra yang berdiri tepat disamping wasit karena menjabat sebagai kapten.

Sontak hal ini menimbulkan kemarahan dari sejumlah pemain United seperti David De Gea dan Rio Ferdinand. Pertandingan pun menjadi emosial dalam arti negatif buat Suarez. Di pengujung laga, Evra melakukan perayaan tepat di depan Suarez yang membuat suasana makin tak kondusif.

Jabat tangan memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar menempelkan tangan satu manusia dengan yang lainnya. Ia menjadi simbol saling percayanya kedua belah pihak.

Ritual Masa Lampau

Manusia, seperti halnya binatang, memiliki insting untuk terus bertahan hidup. Saat bertemu orang lain, secara insting manusia berusaha untuk mempertahankan dirinya dari kemungkinan ancaman orang lain. Oleh karena itu, menjadi wajar bagi manusia untuk memilih menghindar dan tidak menunjukkan titik lemah pada tubuhnya.

Pada setiap budaya, jabat tangan memiliki fungsi dan etika yang berbeda. Namun, tujuannya tetap sama, sebagai tanda bahwa masing-masing pihak tidak bersenjata dan mengharapkan kedamaian.

Berdasarkan catatan arkeologis, jabat tangan telah ditemukan sejak tahun kelima sebelum masehi. Ini terlihat dari adanya lukisan dua prajurit tengah berjabat tangan dalam tugu peringatan kuburan yang dipamerkan di Museum Pergamon, Berlin.

Berdasarkan budaya kala itu, mereka berjabat tangan dengan menggunakan tangan kanan, sementara tangan kiri memegang tombak atau senjata. Hal ini merupakan gestur dari perdamaian antara kedua belah pihak yang biasanya memegang senjata dengan tangan kanan, tapi justru bersalaman dengan –biasanya—lawan.

Jabat tangan pun memiliki “risiko” tersendiri. Dekan Kedokteran Universitas Calgary, Tomas Feaby, menyarankan bahwa jabat tangan baiknya digantikan dengan kepalan tangan membentuk tinju. Hal ini tak lain karena dalam berjabat tangan amat mungkin terjadinya transfer kuman dari satu tangan ke tangan lain. Maka, menerima jabatan tangan berarti mau untuk menerima risiko.

foto: Wikipedia
foto: Wikipedia

Jabat Tangan Sebagai Simbol

Di sepakbola, jabat tangan biasanya dilakukan sebelum pertandingan, meski kini lazim para pesepakbola melakukan hal yang sama usai pertandingan. Di olahraga lain seperti bulutangkis dan tenis, jabat tangan dilakukan usai pertandingan, sebagai ucapan selamat dan bentuk menghargai lawan.

Namun, saking seringnya kita melihat jabat tangan, pernahkah terpikir kalau jabat tangan telah mengalami penyempitan makna? Jabat tangan seolah menjadi sekadar acara seremonial belaka.

Beberapa orang menganggap penolakan untuk berjabat tangan sebagai bentuk ketidaksukaan. Saat seseorang benci dengan orang lain, ia memilih untuk tidak berjabat tangan. Saat seorang pelatih kelewat kesal dengan permainan lawan yang bermain kasar atau bertahan, ia memilih untuk pergi duluan ke ruang ganti daripada bersalaman dengan pelatih lawannya.

Hal serupa yang juga ditunjukkan sejumlah pesepakbola seperti Suarez dan Wayne Bridge yang bahkan tak sekalipun menoleh kepada John Terry. Namun, jabat tangan justru bisa membuat siapapun merasa adem saat melihat dua orang yang berseteru, lantas berjabat tangan.

Misalnya, Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin dan Pemimpin Perjuangan Palestina, Yasser Arafat, bersalaman dengan disaksikan Presiden Amerika Serikat, Bill Clinton. Saat keduanya bersalaman, dunia melihatnya sebagai simbol akan hadirnya perdamaian di Timur Tengah.

Hal yang kerap dinantikan pun biasanya adalah jabat tangan Presiden Amerika Serikat, siapapun itu, dengan Pemimpin Rusia. Kedua negara yang pernah terlibat perang dingin tersebut, kerap dianggambarkan berseteru hingga saat ini, mulai dari cerita fiksi dalam novel, sampai film-film soal spionase.

Setiap daerah memiliki budayanya masing-masing. Suku Maori di Selandia Baru menggosokkan hidungnya  untuk menyapa pendatang dari luar. Di Nepal cara untuk menyapa orang lain adalah dengan menguncupkan tangan di depan dada.

Di Asia Timur seperti di Korea dan Jepang, cara menyapanya adalah dengan membungkukan badan. Terdapat etika yang berbeda pula dalam hal ini, seperti orang yang “derajatnya” lebih tinggi tidak boleh membungkuk terlalu rendah. Ia pun mesti menaikkan kepalanya terlebih dahulu sebelum orang yang disapa/menyapanya.

Ada pula cara menyapa yang terbilang unik yakni dengan cara meludah. Suku Massai memiliki tradisi ini selama bertahun-tahun. Di sisi lain, meludah adalah sesuatu yang dianggap tidak beretika oleh budaya barat maupun timur.

Mari Berjabat Tangan

Saat menolak berjabat tangan dengan Evra, Sir Alex Ferguson mengatakan seperti ini, “Aku tak percaya. Dia adalah aib bagi Liverpool. Pemain seperti itu semestinya tidak boleh main untuk Liverpool lagi.”

Sir Alex berpikir bahwa apa yang dilakukan Suarez bisa saja menimbulkan kekacauan dan meningkatkan tensi. Bahkan, Sir Alex pun menyoroti soal wasit yang tidak tahu harus berbuat apa saat kejadian itu terjadi.

“Ini adalah sesuatu yang buruk untuk memulai pertandingan. Atmosfer yang buruk telah dibuat,” kata Sir Alex.

Namun, Pelatih Liverpool kala itu, Kenny Dalglish, langsung menyatakan bahwa Suarez menyesal dengan menghindari Evra. Hal ini pun diakui oleh Suarez.

“Aku telah bicara dengan manajer sejak pertandingan di Old Trafford dan aku sadar aku salah,” ucap Suarez. “Aku bukan cuma mengecewakannya, tapi juga buat klub dan atas itu saya meminta maaf. Saya telah membuat kesalahan dan saya menyesal. Saya mestinya menjabat Patrice Evra sebelum pertandingan dan aku ingin meminta maaf atas perilaku itu.”

Berjabat tangan seperti pada esensi awalnya adalah sebagai simbol untuk perdamaian. Dengan berjabat tangan, kedua pihak yang berseteru dianggap telah sepakat untuk tetap menjaga perdamaian dan mengesampingkan perbedaan.

Di sepakbola hal ini semestinya menjadi kegiatan rutin, yang disorot kamera dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia. Jabat tangan sejatinya tidak dilakukan di awal pertandingan, melainkan di akhir pertandingan, tepat saat wasit meniup peluit, sebelum kesebelasan yang berjaya berlaku seperti halnya juara. Berjabat tangan punya banyak maksud yang satu di antaranya adalah menghormati lawan dan memberi simpati atas kekalahannya. Mungkinkah ini terjadi di sepakbola? Semoga saja.