Foto: Football London

Rasa iri dan geram mungkin lebih dirasakan oleh suporter Manchester United ketika melihat Chelsea meraih gelar Liga Champions kedua mereka. Ketimbang harus melihat Manchester City, sebagai rival sekotanya, jika mereka yang memenangkan gelar Liga Champions pertamanya.

Karena manajer pengganti seperti Thomas Tuchel tampak lebih baik daripada Pep Guardiola dalam final yang dihelat di Porto. Dan sementara beberapa suporter United mungkin memikirkan dan membandingkan situasi tersebut dengan timnya. Yang juga pernah berada dalam kondisi serupa, yaitu dilatih oleh manajer pengganti.

Selain itu, manajer United Ole Gunnar Solskjaer sendiri memiliki kesamaan dengan Thomas Tuchel. Mereka berdua membuktikan kemampuan mereka untuk mengalahkan City dengan taktik pertahanan yang disiplin dan serangan balik yang tajam. Hanya saja bedanya, Chelsea mendapatkan piala, dan United hanya mendapatkan rasa kepuasan.

Final Europa League adalah salah satu laga yang mengekspos kekurangan United dalam memanfaatkan taktik semacam itu. Sedangkan Chelsea, mereka tidak menunjukkan karakteristik seperti yang dilakukan United di Gdansk. Oleh sebabnya, Solskjaer perlu melihat cara bermain dan karakteristik The Blues guna dijadikan pelajaran.

Satu lagi hal menarik dari perbandingan United asuhan Solskjaer dan Chelsea asuhan Tuchel adalah dukungan finansial. Oke, tidak ada skuat Chelsea saat ini yang benar-benar masuk bersamaan dengan Tuchel. Tapi Roman Abramovich memberikan pengeluaran lebih dari 200 juta paun dalam jendela transfer musim panas lalu. Meskipun kenyataannya, mereka berada di tengah pandemi Covid-19.

Itulah hebatnya Chelsea. Hampir tidak terdengar alasan atau keluhan terkait pandemi di Stamford Bridge. Lima pemain baru mereka (Havertz, Timo Werner, Ben Chilwell, Thiago Silva dan Edouard Mendy) bahkan menjadi starter di final Liga Champions. Dan Havertz, sebagai pemain yang termahal, menjadi pahlawan di laga tersebut.

Kedalaman skuat Chelsea juga terlihat jelas pada tim lapis duanya. Mereka dapat mempertahankan pemain seperti Hakim Ziyech, Olivier Giroud dan Marcos Alonso di bangku cadangan. Namun peran mereka sebagai pemain pengganti tidak perlu diragukan lagi. Ziyech misalnya, bahkan jika ia diplot sebagai starter, ia sering memberikan hasil positif bagi timnya.

Pada final Europa League di Gdansk, Ole Gunnar Solskjaer (meski dapat dimengerti) tidak merasa harus memasukkan pemain pengganti yang lebih menyerang. Karena mungkin ia merasa tidak memiliki siapa-siapa di skuat lapis duanya. Manajer asal Norwegia itu juga sangat terlambat memasukkan Fred untuk mengganti Mason Greenwood pada menit ke-100.

Maka muncul sebuah pertanyaan; apakah itu menjadi pesan terselubung kepada Glazers bahwa pasukan Setan Merah saat ini perlu dirombak? Tapi jika tidak, maka Solskjaer harus mengatasi masalah ini setelah kalah dari Villarreal. Ia perlu menunjukkan keinginannya dengan tegas untuk mengubah kondisi skuatnya saat ini.

Tentu saja, sisi lain dari semua perbandingan ini adalah bahwa United tetap dianggap lebih baik lantaran mereka finis dua tingkat di atas Chelsea di Premier League musim ini. Solskjaer memiliki banyak suporter dan mereka semua berhak untuk memuji konsistensi pasukan Setan Merah karena bermain tanpa kalah di tandang selama musim ini.

Pada intinya, dua hal inilah yang merupakan bukti adanya peningkatan pada tim asuhan Solskjaer. Sebelumnya mereka finis ketiga, kemudian naik ke posisi dia di musim ini, dan yang paling epik berhasil mencapai final Europa League. Itu semua merupakan tanda kemajuan dalam lima tahun terakhir. Meskipun pada akhirnya United masih harus puasa trofi.

Ya bagaimanapun, sejak Tuchel tiba di Chelsea, hanya Manchester City (45) yang memenangkan lebih banyak poin di Premier League daripada Chelsea (38). United sendiri justru mengalami penurunan performa. Dengan gagal lolos dari grup Liga Champions sampai gagal mempertahankan posisi pertama di klasemen Premier League.

Jadi, agaknya wajar-wajar saja untuk menuntut Manchester United supaya bisa meniru Chelsea milik Tuchel. Chelsea saat ini adalah gambaran yang relevan untuk bisa diadopsi oleh United. Mereka adalah tim yang pintar dalam arti taktis, bermain tegas di atas panggung besar seperti final, dan bisa konsisten dalam waktu yang panjang.

Bisa dibilang hal seperti ini adalah catatan paling penting. Terutama bagi Ole Gunnar Solskjaer. Bukan sebuah kebetulan bahwa City dan Chelsea cenderung menang lebih dari tim mana pun dalam beberapa tahun terakhir. Mereka berinvestasi dalam skuat mereka, dan yang paling utama, mereka memiliki kedalaman skuat yang menakjubkan.

Sudah waktunya bagi United untuk belajar dari Chelsea atau setidaknya dari City. Dan terapkan hasil pelajaran itu di kompetisi elit Eropa musim depan. Karena setuju atau tidak, Solskjaer telah membawa United ke Liga Champions, dan ia memiliki potensi untuk membawa pasukannya ke ambang kejayaan.