Foto: Daily Star

Selain gemar memecat pelatih, Manchester United juga punya hobi baru setelah era kepelatihan Sir Alex Ferguson. Hobi baru itu adalah salah merekrut pemain. Sejak David Moyes melangkah ke Old Trafford hingga yang terakhir Ralf Rangnick, tercatat United nyaris tidak pernah mendapatkan performa 100 persen dari rekrutannya.

Selalu saja ada dramanya. Dari pemain yang bukan prioritas utama, hingga rekrutan yang berakhir sia-sia meski sudah ditebus dengan harga ratusan miliar hingga triliunan rupiah. Imbasnya terjadi saat ini. Ketika manajemen United ingin berubah dan tidak lagi mengulang kesalahan di masa lalu, mereka dihadapkan dengan kesulitan demi kesulitan yang membuat tim ini tidak bisa mendapatkan pemain yang diinginkan. Pemain incaran utama dihargai mahal, namun klub tidak mau lagi membayar mahal. Di sisi lain, mencari pemain alternatif menandakan kalau klub ini tidak bisa membuat harapan manajer utama terpenuhi untuk mendapat pemain incaran nomor satu.

Setelah Jonathan Northcroft bercerita tentang gejolak penunjukkan manajer di United, kali ini giliran Paul Hirst bercerita kepada The Times mengenai apa yang salah dari pembelian pemain di United yang lebih banyak gagalnya ketimbang sukses.

Ferguson Punya Caranya Sendiri

Manchester United kaget bukan main. Mereka tiba-tiba mendapat telepon dari surat kabar Argentina yang meminta reaksi mereka terhadap berita yang menyebut ada seorang hakim yang sedang mempertimbangkan untuk memanggil pemain mereka kembali ke negaranya. Hal ini dilakukan untuk menjawab tuduhan kalau si pemain pernah melukai salah satu tetangganya.

Kejadian itu terjadi pada 2014 saat United baru saja merekrut Marcos Rojo dari Sporting. Insiden yang melibatkan Rojo itu sebenarnya terjadi pada 2010 alias sudah lama sekali. Namun, hal inilah yang membuat Rojo harus menunggu satu bulan sebelum izin kerjanya bisa didapat.

Ini adalah salah satu dari sekian banyak cerita tentang buruknya United dalam hal rekrutmen. Entah bagaimana, klub bisa menghabiskan uang 16 juta pounds untuk membeli pemain yang pernah menjadi subjek investigasi kepolisian karena telah berbuat kriminal.

Inilah yang kemudian membuat United terasa kehilangan betul sosok Ferguson. Ia tidak hanya dikenal dalam hal taktikal, tapi ia juga jago dalam rekrutmen pemain. Di tangan Ferguson, apa yang tidak mungkin menjadi mungkin.

Dalam tahun-tahun terakhir Fergie di klub, United hanya mempekerjakan 12 pencari bakat secara full time. Jumlah yang sedikit, tapi dengan jumlah itu United masih bisa mendapat pemain terbaik di dunia. Tidak semua pemandu bakat itu datang ke Ferguson dan merekomendasikan pemain. Sebagian besar, rekomendasi mereka bahkan dimentahkan olehnya. Fergie lebih percaya rekomendasi dari teman lama atau koleganya yang pernah terlibat oleh pemain incaran tersebut alih-alih mengikuti intuisi sang pemandu bakat.

Inilah hebatnya Fergie. Dia tidak hanya menunggu tapi juga mengambil inisiatif sendiri. Sebelum dia mendatangkan pemain, dia harus tahu dulu segala latar belakang si pemain. Tidak hanya melihat aspek teknis, tapi juga karakter. Kalau perlu, Ferguson akan bicara langsung dengan si pemain, orang tua, bahkan orang-orang yang pernah bekerja dengan si incaran. Jika saja Ferguson masih melatih pada 2014, maka bukan tidak mungkin nama Rojo akan diabaikan dengan latar belakangnya tersebut.