Foto: Mirror.co.uk

Manchester United berubah setelah Sir Alex Ferguson pensiun. Sulit membantah, tapi memang kenyatannya seperti itu. United yang sebelumnya menjadi langganan papan atas dan selalu dijagokan menjadi juara Liga Inggris, kini mulai kesulitan untuk mencapai posisi itu lagi. Jika sebelumnya finis peringkat tiga menjadi prestasi terburuk, kini empat besar sudah menjadi prestasi yang baik bagi Setan Merah.

Perubahan paling jelas terlihat di atas lapangan. United yang sebelumnya dikenal memiliki gaya permainan yang menghibur, kini beberapa kali kesulitan menemukan gaya permainannya kembali. Banyaknya manajer yang datang dalam tempo tiga musim setelah perginya Fergie justru membuat United bingung dalam mencari pola permainannya kembali.

Meski begitu, perubahan juga terjadi tidak hanya di atas lapangan. Di belakang layar, United juga sudah berubah. Khususnya di level akademi. Situasinya berubah drastis. Setidaknya itu menurut pandangan seorang Nick Powell.

Powell, yang pernah bermain di United pada musim 2012/2013 hingga 2015/2016 ini, merasa kalau peraturan-peraturan yang sebelumnya ditegakkan pada era Ferguson di lingkungan tim akademi, kini mulai terasa lebih longgar. Hal ini menurutnya berdampak terhadap kedisiplinan para pemain tersebut.

“Ketika saya masih berada di United, Anda harus melihat bagaimana mesin itu bekerja dengan sangat baik di bawah kendali seorang Ferguson. Lalu kemudian perlahan-lahan aturat ketat yang mereka gunakan mulaii dhapus dan membuat mereka berada di tempat yang sekarang. Saya melihatnya jelas dan saya bisa lihat mengapa itu bisa terjadi,” kata Powell.

Powell mungkin tidak mengada-ngada karena ia memang pernah terlibat bersama dua tim United. Meski ia masuk ke tim utama pada era Sir Alex Ferguson, namun ia juga pernah beberapa kali terlibat dengan tim muda mengingat usianya belum 20 tahun saat itu. Selain itu, ia juga menghabiskan banyak waktu bersama tim akademi untuk memulihkan cedera parah yang pernah ia derita selama di United.

“Semuanya keluar dari koridor. Hal-hal kecil mulai berubah. Ada bagian integral dari tim yang masih di sana, jadi mengapa mereka menjalankan sistemnya dengan buruk ketika dia (Fergie) pergi?”

“Semuanya telah berubah. Pemain muda yang lebih kecil mendapatkan mobil yang lebih baik. Bersama Ferguson, Anda hanya diizinkan memiliki spesifikasi dan ukuran mobil tertentu. Di level lebih bawah lagi, kamu hanya boleh memakai sepatu hitam dan ketika Fergie pergi, semua pemain muda sepatunya sudah berwarna. Fergie membuat peraturan itu bukannya tanpa tujuan. Anda baru boleh memakai sepatu berwarna saat Anda sudah bermain baik,” kata Powell menambahkan.

Tradisi sepatu hitam menjadi salah satu budaya ospek yang cukup terkenal di Manchester United pada era kepelatihan Ferguson. Saat itu, ia menekankan kalau pemain muda harus mengutamakan kemajuan bakat ketimbang penampilan fisik. Daily Mail pernah memberitakan kalau Ferguson sebenarnya tidak mempermasalahkan pemain mudanya untuk bergaya. Namun sebelum sampai tahap itu, ia ingin pemain muda ini paham kalau sepakbola bukan soal sepatu.

Menurut Powell, sekarang hal itu sudah berbeda. Pemain-pemain muda sekarang tampak sudah merasa lebih besar bahkan ketika belum menginjakkan kakinya ke tim utama. Padahal, Sir Alex Ferguson pernah mengatakan kalau ingin dianggap layak bermain di tim utama, maka ia harus terlebih dahulu mencapai level permainan para pemain tim utama.

“Semuanya ditetapkan kepada orang-orang untuk mencapai target dan ketika Ferguson pergi rasanya semua pemain muda yang datang merasa kalau mereka sudah di United dan merasa pantas ada di sana. Entah itu U-10 atau bahkan tim utama. Anda tidak pantas berada di sana kecuali Anda telah membantu tim.”

Mundur jauh ke beberapa dekade lalu, para pemain muda United yang akan naik tingkat biasanya diberikan beberapa pekerjaan yang cukup berat sebagai bentuk perkenalan atau ospek kepada tim utama. Ada yang diminta mencuci kamar mandi, menjadi tukang pungut dan pompa bola, hingga mencuci sepatu pemain senior.

“Biasanya, ada dua pekerjaan yang dilakukan pemain muda saat naik ke tim utama. Selain mencuci sepatu, ada juga yang menjadi tukang bersih-bersih pusat kebugaran. Ini semua adalah bentuk penghormatan kami kepada senior kalau Anda harus bekerja keras dan berusaha untuk sukses,” kata mantan pemain United, Wes Brown.

Frank Lampard, David Beckham, dan Paul Gascoigne adalah beberapa pemain hebat yang semasa muda menjadi tukang cuci sepatu pemain senior. Beckham saat itu kebagian mencuci sepatu milik Bryan Robson.

Tradisi ini kemudian mulai ditinggalkan seiring berjalannya waktu. Saat ini, konsep perkenalan diganti dengan cara lain seperti bernyanyi di depan rekan setim, menari, atau menuangkan kopi ke pemain yang lebih tua. Tindakkan mencuci sepatu pemain senior atau menggunakan sepatu warna hitam kini mulai ditinggalkan karena dianggap terlalu kejam dan membatasi para pemain untuk berekspresi.