Sebelum saya mengawali surat ini, saya ingin mengucapkan selamat atas bergabungnya Anda ke salah satu klub Major League Soccer, LA Galaxy. Sebuah video perkenalan yang sangat elegan ketika Anda disandingkan dengan seekor singa. Sebuah simbol yang menegaskan kalau anda adalah salah satu Raja di dunia sepakbola.

Kesan sombong juga tidak dihilangkan ketika dengan angkuhnya kamu mengatakan,”Los Angeles, Welcome to Zlatan.” Sebuah cara perkenalan yang mungkin hanya bisa dilakukan oleh Anda seorang. Bahkan, seorang Cristiano Ronaldo dan Lionel Messi pun belum tentu bisa membuat perkenalan seperti itu.

Secara pribadi, saya adalah penggemar berat Anda. Sejak saya melihat kamu mencetak gol tumit melawan Italia di Euro 2004, saya percaya kalau anda akan menjadi pemain besar di masa yang akan datang. Saya jelas yakin karena hanya seorang pemain besar yang bisa membuat Gianluigi Buffon dan Christian Vieri seperti orang linglung melihat sepakan tumitmu.

Akan tetapi, saya begitu kecewa ketika anda justru memilih Italia dan berkarir bersama Juventus sebelum kemudian kamu memilih Inter Milan. Tetapi, saya saat itu bisa maklum karena di tim favorit saya masih ada striker yang tidak kalah tajamnya bernomor 10 dengan nama Ruud Van Nistelrooy.

Saya mempunyai pandangan kalau anda cukup layak bermain untuk Manchester United sejak lama. Penempatan posisi yang bagus, trik individu yang menipu, akurasi tembakan yang baik, lalu sikap arogan yang sering kamu tunjukkan membuat saya yakin kalau itu semua akan berguna jika mengenakan seragam merah. Sayangnya, harapan itu sirna setelah klub favorit saya justru membeli Dimitar Berbatov. Pemain dengan atribut serupa tapi sikapnya bertolak belakang dengan anda.

Pada 2011, harapan saya untuk menyaksikan kamu berbaju merah sempat sirna. Ketika itu, usia anda sudah menginjak 30 tahun. Saya kemudian ingat kalau kesebelasan favorit saya ini tidak pernah mau mengontrak pemain yang sudah berusia kepala tiga. Setahun berselang, saya kecewa dengan klub favorit saya ini ketika sang manajer melanggar janjinya dan mengontrak pria Belanda dari Meriam London yang tidak kalah jagonya dalam urusan gol.

Harapan saya untuk melihat anda berseragam merah baru terwujud pada 2016 lalu, ketika usia anda mau memasuki 35 tahun. Namun saat itu antusiasme saya sudah hilang. Saya begitu pesimis. Bisa apa seorang pemain tua bermain di liga yang katanya sangat kompetitif ini. Lagipula, 156 gol yang anda cetak di Perancis hanya dibuat dari klub-klub yang levelnya jauh di bawah klub anda saat itu.

Saya tambah skeptis ketika anda mengucapkan “Its Zlatan time” saat anda pertama kali diperkenalkan sebagai keluarga baru Manchester United. Saat itu saya hanya bisa bilang, “Ini Premier League, Ibra.” Anda bukanlah Teddy Sheringham yang masih bisa produktif di usia tua. Anda saat itu hanyalah anak baru dengan usia yang sudah tua yang berani memilih Inggris dengan harapan bisa meraih piala. Di pikiran saya, kebijakan United mendatangkan anda saat itu murni hanya untuk jual kaus saja.

Ada rasa optimis di tengah sikap apatis. Hal itu juga terjadi kepada saya setelah melihat anda mencetak gol dengan salto saat uji coba melawan Galatasaray. Rasa acuh saya perlahan hilang ketika sundulanmu membuat tropi Community Shield menjadi awal dari karir mu di Inggris. Bagi sebagian orang, tropi itu mungkin levelnya kacangan, tapi saya yakin anda senang mengangkat piala yang menurut saya aneh disebut sebagai piala.

Ketidakpedulian saya terhadap karirmu di Old Trafford hilang setelah anda membuka akun gol dengan tendangan lurus mendatar ke gawang Bournemouth. Gol itu menjadi awal dari gol-gol lainnya yang kamu buat bersama United. Saya teringat ketika anda begitu emosional meminta fan United untuk terus mengeluarkan suara sesaat setelah anda menyelamatkan United dari kekalahan memalukan di kandang atas Liverpool.

17 gol kamu buat di liga. Tidak banyak, tapi cukup baik untuk pemain yang baru semusim membela United. Kamu kemudian menambah 11 gol lagi di kompetisi lain sehingga catatan gol mu berada di angka 28. Anda menjadi pemain pertama di era sesudah Fergie yang bisa mencetak lebih dari 20 gol. Dua dari 28 gol mu itu memberikan kami gelar Piala Liga. Tropi pertama Jose Mourinho, manajer favorit anda, bersama United.

20 April 2017, saya seolah mendapat sambaran petir di kepala. Entah bagaimana bisa pemain seprofesional anda salah mendarat setelah menyundul bola yang berakibat ligamen anda rusak. Lutut ini lemas karena anda divonis absen hingga akhir musim. Saya sampai mengutuk rumput Old Trafford yang sebenarnya tidak salah sama sekali.

Beruntung, tropi Europa League masih bisa diraih United. Saya senang karena anda bisa tersenyum dengan tropi Eropa pertama anda. Memang bukan Liga Champions, tapi tropi Liga Europa masih lebih baik ketimbang tidak dapat sama sekali. Kamu bisa memenangi dua tropi dalam setahun. Jumlah ini melebihi tropi tim merah lain yang cuma punya satu gelar dalam 10 tahun terakhir.

Saya sebenarnya yakin kalau anda bisa mencetak lebih dari 28 gol apabila tidak terhenti karena cedera. Tapi, saya percaya kalau kamu bisa lebih kuat pasca sembuh dari cedera. Terlihat raut muka serius tapi santai ketika kamu berlatih fisik. Saya semakin gembira ketika klub mengaktifkan kembali klausul perpanjangan kontrak meski hanya semusim.

“Saya ingin menyelesaikan apa yang sudah saya buat.” Itulah kalimat yang menjadi judul wawancara anda bersama majalah resmi klub Oktober 2017 lalu. Anda benar-benar seperti Benjamin Button yang semakin muda di usia yang sudah tua.

Akan tetapi, cedera membuktikan kalau anda hanyalah manusia biasa. Keagungan Zlatan tidak bisa melawan kehendak Tuhan. Tuhan memilih lututmu tidak bisa lagi bermain untuk United. Sekeras-kerasnya kamu berlatih, kamu nampak sulit pulih dan kembali ke tingkat permainan tertinggi. Pemain medioker dari Bristol City bahkan bisa membuat kamu kesulitan bergerak.

Pada akhirnya, karir mu ditutup dengan catatan 29 gol, 10 asis, 53 penampilan, dan dua tropi. Kedepannya kami (para fans awam) akan merindukan rentangan tanganmu ketika merayakan gol, atau aksi meninju di udara yang sering kamu tampilkan. Rasa sedih kami sama seperti yang dirasakan Eric Bailly, satu-satunya orang yang berani menendang Zlatan.

Surat ini saya akhiri dengan pesan kalau Amerika Serikat adalah tempat yang bagus untuk berkarir. Anda bisa belajar dari Andrea Pirlo, Kaka, Didier Drogba, Steven Gerrard, David Villa, Thierry Henry, serta pesepakbola lain tentang bagaimana sambutan warga sana terhadap pemain besar Eropa.

Kamu memang tidak memberikan kami gelar liga, tapi kamu memberikan kami kebahagiaan. Kami sering dibuat tertawa dengan tingkahmu. Itu semua yang akan kami rindukan kedepannya. Kami akan selalu mendoakan yang terbaik untuk karirmu kedepannya.

Sekali lagi, terima kasih Zlatan Ibrahimovic.