Foto: Bleacher Report

Masalah Manchester United tidak hanya soal Ed Woodward dan keluarga Glazer semata. Ole Gunnar Solskjaer juga punya andil dari berantakannya perjalanan United musim ini.

Setelah Sir Alex Ferguson pensiun pada 2013, mayoritas penggemar Manchester United selalu tidak puas dan kerap mengeluh terhadap manajer-manajer yang menggantikan posisi pria asal Govan tersebut. Nyaris semua manajer tersebut memiliki kekurangan yang membuat para penggemar merasa sosok-sosok tersebut tidak layak untuk membawa kejayaan bagi Setan Merah ke depannya.

David Moyes dianggap tidak bisa menangani pemain-pemain bintang peninggalan Sir Alex. Louis van Gaal dianggap tidak bisa membuat United bermain menghibur layaknya timnas Belanda di Piala Dunia. Alih-alih menghibur, taktiknya dianggap membosankan. Setali tiga uang dengan Van Gaal, Mourinho juga dicap serupa. Segala pencapaiannya pada dua musim pertama menjadi tidak ada arti karena United jauh lebih membosankan ketika bersama Mourinho.

Ole Gunnar Solskjaer menjadi sasaran selanjutnya. Kekalahan 0-2 dari Burnley membuat para penggemar United mulai berada di zona tidak percaya kepada pria asal Norwegia tersebut. Rasa marah yang berkecamuk di dalam dada dilampiaskan dengan aksi mengosongkan Old Trafford ketika laga menyisakan waktu enam menit.

Pemandangan yang bisa dibilang sangat kontras karena setahun sebelumnya, suporter United memilih untuk tetap tinggal ketika menghadapi situasi yang sama, di tempat serta lawan yang sama pula. Namun saat itu, penonton masih punya keyakinan kalau Setan Merah bisa bangkit dan melakukan comeback. Akhirnya hal itu terjadi tiga menit sebelum bubaran berkat Paul Pogba dan Victor Lindelof. Bahkan, hal sama juga terjadi dengan Jesse Lingard yang muncul sebagai pahlawan pada musim 2017/2018.

Namun, kali ini berbeda. Penggemar United tidak percaya timnya bisa bangkit seperti setahun lalu. Aksi walk out suporter seperti kemarin menandakan betapa sudah hilangnya harapan kepada tim untuk bisa melakukan comeback setidaknya mencari satu poin. Tidak meyakinkan sepanjang pertandingan membuat mereka memilih untuk pulang karena diberikan pemandangan yang membosankan meski sudah membuang banyak uang untuk membeli tiket.

Atmosfer klub menjadi suram. Darren Fletcher menyebut suasana Old Trafford kini menjadi toksik. Nyanyian provokatif kepada pemilik dan Ed Woodward kembali muncul. Dua nama ini memang sudah dikecam sejak dahulu karena menjadi biang masalah dari tidak mampunya United untuk menjadi penantang gelar juara lagi sejak Ferguson turun jabatan. Mereka berdua memang pantas diminta pertanggung jawaban atas pekerjaan yang sudah mereka lakukan sejauh ini. Namun, masalah mereka tidak hanya kedua sosok tersebut saja. Manajer saat ini yaitu Ole sendiri juga menjadi masalah terkait apa yang sudah ia tunjukkan selama 14 bulan memimpin tim sejak Desember 2018 lalu.

Pola Permainan dan Tim yang Ia Pilih

Rentetan kemenangan pada awal kepelatihan Solskjaer sebenarnya menandakan satu hal kalau dia sebenarnya mampu untuk membawa United bermain baik. Terlepas dari pandangan kalau mereka bermain baik karena Mourinho sudah dipecat, namun Ole membawa harapan baru melalui skema 4-3-3 yang dimainkan saat itu sebelum keadaan berbalik ketika memasuki Maret hingga akhir kompetisi.

Namun pada musim ini, Ole justru membuat United seperti tim yang tidak punya pattern serangan selain mengandalkan serangan balik dan memanfaatkan individu para pemainnnya seperti Marcus Rashford atau kecepatan Daniel James. Ketika pemain-pemain andalannya ini dimatikan, maka seketika serangan MU langsung mati kutu. Contoh anyar bisa dilihat ketika melawan Burnley kemarin. Apakah kehilangan Rashford memberikan pengaruh? Sudah pasti jawabannya iya. Namun selain Rashford, Ole punya pemain-pemain lain yang juga bisa diandalkan.

Ingat, ia diizinkan untuk membuat pemain-pemain yang menurutnya tidak pantas ada di dalam skuatnya. Jumlahnya pun tidak main-main dan menyasar para pemain yang sebenarnya masih diperhitungkan untuk masuk dalam skema yang dia punya. Dan pemain-pemain sekarang adalah pemain-pemain yang merupakan pilihan dia, sehingga ia harus memaksimalkan apa yang dipunya saat ini.

Banyak yang menyebut kalau pemain MU sekarang kualitasnya tidak terlalu baik. Mungkin anggapan itu memang benar. Namun perlu diingat, kalau kualitas bisa semakin meningkat seiring dengan banyaknya latihan. Status Ole sebagai manajer dituntut untuk bisa membuat para pemain pilihannya bermain bagus di setiap pertandingan. Menarik memang untuk mengetahui bagaimana menu latihan para pemain ini di Carrington karena nyaris tidak pernah muncul pada pertandingan sesungguhnya.

Ketika turun ke arena, United kembali mengandalkan serangan balik dan kualitas individu pemainnya. Ketika diminta melakukan build up play dari belakang, nyaris tidak ada pergerakan tanpa bola dari para pemain lain yang kemudian membuat serangan United seringkali mampet dan tidak bisa menembus celah pertahanan lawan.

Sikap Manis Kepada Para Pemain

Ole ingin meniru jejak Sir Alex Ferguson yang tidak pernah mengkritik pemainnya di depan media. Namun, Ole kudu sadar kalau dia bukan Ferguson, orang yang memiliki man management begitu luar biasa. Tidak selamanya apa yang dilakukan sang guru bisa diaplikasikan dengan mudah oleh sang murid ketika menjalani pekerjaan yang sama.

Yamadipati Seno dalam tulisannya berjudul ‘Masalah Manchester United Bukan Cuma Ole Gunnar Solskjaer dan Membeli Pemain’ menyebut kalau terkadang tamparan itu bisa terasa nikmat ketimbang buaian kalimat manis. Ia menulis ini untuk mengkritik sikap Ole yang tersenyum setelah menderita kekalahan.

Kita semua memang tidak tahu apa yang terjadi setelah senyum Ole tersebut. Bisa jadi dia akan memaki para pemainnya layaknya Sir Alex Ferguson. Namun, agak sulit untuk membayangkan hal itu mengingat dia beberapa kali mendeklarasikan diri sebagai sosok yang optimis.

Beberapa pemain United di era kepelatihan Alex Ferguson pernah mengungkapkan kalau marahnya Fergie bisa membuat mereka takut untuk mengulangi kesalahan di pertandingan berikutnya. Hal ini yang kemudian diperbaiki dan sebisa mungkin tidak mengulangi kesalahan dan mati-matian mencuri hati manajernya tersebut.

Entahlah, apakah Ole juga sudah pernah marah kepada para pemain United yang ia latih sekarang mengingat kesalahan demi kesalahan kadang terus terulang di setiap pertandingan.

Karakternya yang Penurut

Paul Scholes pernah berujar kalau Ole Gunnar Solskjaer bukan orang yang mempunyai karakter ‘yes man’ alias pengekor atau seseorang yang ‘nurut-nurut saja’. Namun ucapan Scholes belum terbukti. Solskjaer tampak seperti orang yang nurut dan menjadi pengekor setia manajemen MU. Ia bahkan beberapa kali membela manajemen tim ketika mereka mendapat serangan berupa nyanyian-nyanyian provokatif.

“Saya tidak yakin para pemain yang diserang oleh chant tersebut, tetapi saya mendengarnya. Tapi yang bisa saya katakan adalah kami harus tetap bersatu. Kami semua adalah keluarga. Saya didukung oleh Ed Woodward dan pemilik juga mendkung saya. Saya ingin suporter dan manajemen bisa bersatu,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Rekan penulis, Aun Rahman, menyebut kalau alasan kenapa Ole dipertahankan dan tidak langsung dipecat meski sudah delapan kali menderita kekalahan adalah sikap baiknya Ole kepada manajemen klub.

Ia sudah puas ketika manajemen memberikan tiga pemain pada musim panas lalu. Selain itu, ia juga puas dengan pemain yang dimiliki dan memilih mengandalkan pemain-pemain akademi. Rasa puasnya mungkin sebatas di depan media, namun dengan berucap seperti ini maka membuat manajemen merasa tidak perlu melakukan banyak investasi lagi karena Ole akan memaksimalkan pemain yang sudah ada.

Beberapa kali kita mendengar alasan Ole kalau di bursa transfer ini United tidak bisa mencari pemain yang tepat dan ingin berhati-hati dalam membelanjakan uang. Tidak mampunya ia menekan manajemen United untuk melakukan investasi, jelas membuat namanya semakin disayang. Terbukti, Sky Sports melansir kabar kalau manajemen United masih terus mendukung Ole. Mereka paham kalau mengganti manajer lagi maka sama saja meminta mereka untuk melakukan investasi lagi. Belum lagi dengan keinginan Ole yang bermimpi menjadi manajer Setan Merah serta statusnya sebagai ‘legenda klub’ yang membuatnya rela menjadi sasaran kritik demi melindungi manajemen klub.