David Moyes barangkali akan dianggap sebagai “kesalahan” terbesar di akhir karier Sir Alex Ferguson. Pasalnya, prestasi United langsung menurun setelahnya, bahkan hingga saat ini.

“Direstuinya” Moyes sebagai penerus Sir Alex, membuat Jose Mourinho “menangis”. Hal ini ditulis oleh jurnalis Spanyol, Diego Torres, di El Pais  pada September 2013, atau empat bulan setelah Moyes diresmikan.

“Mourinho, berpikir kalau Ferguson adalah sekutu, juga rekan dan godfather. Dia diyakinkan bahwa mereka diikat oleh hubungan rasa saling percaya. Saat Mourinho tahu bahwa Ferguson memilih Moyes, pelatih Everton, Mourinho merasakan ketidakpercayaan yang luar biasa. Moyes belum memenangi apapun!” tulis Torres.

Mou pun terus menerus menelepon agensi olahraga tempatnya bernaung, Gestifute. Lawan bicaranya mendengar ia menangis dengan keras. “Orang yang ditakuti di perusahaan tengah terguncang,” tulis Torres.

Awalnya, Ferguson memang akan memilih Pep Guardiola. Namun, Pep justru hijrah ke Bayern Munich. Penolakan terhadap Mou sebenarnya sudah terdengar setahun sebelumnya dalam wawancara Sir Bobby Charlton dengan The Guardian. Dalam wawancara itu, secara tersirat bahwa ia tak begitu menyukai Mourinho.

Banyak rumor yang beredar menyatakan bahwa Ferguson sebenarnya sudah memberikan takhtanya untuk Mourinho. Namun, istri Mou lebih memilih untuk tinggal di London, dan itulah mengapa ia memilih untuk menjalin kontrak dengan Chelsea.

Pada Juni 2013, atau sebulan setelah pengumuman bergabungnya Moyes, Mourinho menandatangani kontrak dengan Chelsea. “Dalam karierku, aku punya dua gairah besar: Inter dan Chelsea, dan Chelsea lebih dari sekadar penting untukku,” kata Mourinho kala itu.

Soal kepindahannya ke Chelsea, Sir Alex sejatinya tak setuju dengan keputusan Mou tersebut. Bahkan, ada kabar beredar bahwa tidak dipilihnya Mou sebagai manajer MU pada 2013 lalu, tak lain karena Mou sudah menjalin kontrak dengan Chelsea.

Lantas bagaimana sebenarnya pandangan Sir Alex terhadap Mourinho? Bagaimana hubungan keduanya?

Anak Baru yang Sombong

Saat pertama kali menonton Mourinho bicara pada media, Sir Alex langsung bergumam seperti ini, “Sombong sekali anak ini.”

Sir Alex berusaha berpikiran biasa saja, karena ia pikir bahwa sebagai manajer baru di Premeir League, Mourinho mungkin belum tahu apa yang akan ia hadapi. Namun, Fergie penasaran dan langsung bertanya pada asistennya kala itu, Carlos Queiroz.

Carlos langsung menyadarkan Sir Alex bahwa Mou adalah muridnya yang paling sukses. Carlos tak segan menyebut Mou sebagai manajer yang sangat pintar. Meskipun demikian, Sir Alex tak langsung percaya karena yang dihadapi Mou bukan cuma 19 kesebelasan Premier League, tetapi juga tekanan dari pemilik baru Chelsea, Roman Abramovich.

Di tangan Mourinho, Chelsea menjadi lebih tertata. Setelah mencetak gol, mereka langsung merapatkan barisan untuk bertahan. Pertahanan Chelsea pun sulit untuk ditembus dan sejak kedatangan Mou, Fergie menjadi sulit untuk menang di Stamford Bridge.

Fergie punya kebiasaan untuk bentrok dengan manajer lawan di pertandingan pertama. Pun dengan Mourinho saat keduanya bertemu di Liga Champions Eropa pada 2003/2004.

Dalam benak Fergie, sosok Mou sudah buruk. Ini terjadi setelah ia menyaksikan pertandingan final Piala UEFA 2002/2003. Saat itu, sejumlah pemain Porto melakukan diving. Hal ini pun dikeluhkan pelatih Celtic, Martin O’Neill, lawan Porto di final, dan ia selalu mengungkitnya. Fergie pun akhirnya percaya kalau sejatinya Porto adalah kesebelasan yang curang.

Ditraktir Wine

Dalam pertandingan Liga Champions tersebut, Porto menang atas United. Fergie, melakukan tradisi dengan memberi ucapan “selamat” untuk kesebelasan yang mampu mengalahkan United. Ia pun mentraktir Mou minum wine. Fergie bilang begini, “Kamu beruntung, tetapi kita lihat saja di pertandingan berikutnya.”

“Mengalahkan Celtic di final Piala UEFA itu prestasi besar, tetapi mengalahkan Manchester United di Old Trafford lalu meraih gelar juara Liga Champions Eropa adalah unjuk kemampuan yang lebih dahsyat!” tulis Fergie dalam otobiografinya, Alex Ferguson.

Mou punya kebiasaan –yang mungkin dianggap menyebalkan untuk manajer lainnya. Ia sering berlari di pinggir lapangan dan berinteraksi langsung dengan pemainnya. Tidak jarang, saat timnya mencetak gol, ia langsung melakukan perayaan tepat di pinggir lapangan.

“Saya mengagumi orang-orang yang bisa menunjukkan emosinya. Itu menunjukan bahwa mereka peduli,” tulis Fergie.

Mengubah Filosofi

Hal yang sulit bagi seorang pelatih atau manajer adalah menyesuaikan filosofi dirinya dengan filosofi klub. Di kesebelasan yang tak punya filosofi, kehadiran pelatih yang berfilosofi bisa berdampak positif karena filosofi itu akan tertular dan menjadi identitas bagi klub tersebut di masa depannya.

Bagi Fergie, ditunjuknya Mou sebagai pelatih Real Madrid adalah sesuatu yang amat menarik. Fergie merasa bahwa keduanya adalah pihak yang bertentangan kalau soal strategi dan filosofi.

Real Madrid adalah kesebelasan yang bertabur bintang dan penuh dengan kejayaan. Madrid terbiasa membantai lawan-lawannya dengan skor besar.

Di sisi lain, Mou adalah pelatih “yang penting menang”. Malah, ia lebih memilih untuk bertahan demi mempertahankan kemenangan. Kemenangan 1-0 atau 2-0 atas kesebelasan gurem, bukanlah kebiasaan Real Madrid. Tidak sedikit orang yang tidak bahagia dengan hasil yang diraih oleh Mou.

“Masa kerja Mou di Madrid membuat saya tercekam. Itu adalah tantangan terbesar dalam kariernya,” tulis Fergie.

“Dapatkan dia merombak Real Madrid sesuai kehendaknya, berdasarkan pemikirannya? Sejak awal,kecil kemungkinan dia dapat meninggalkan gagasan-gagasan  terpentingnya demi gaya menyerang terbuka dan kehebohan selebritas. Dia tahu bagwa itu bukan cara untuk berhasil dalam sepakbola modern.”

Fergie berpandangan bahwa Mou punya filosofi sepakbola yang pragmatis dengan memastikan kalau timnya tidak kalah. Hal ini yang bertentangan dengan filosofi dari Real Madrid itu sendiri.

Hal senada akan terjadi pada Mourinho di Manchester United, yang akrab dengan “Attack, attack, attack!” Bagaiamana Mourinho akan membawa United menuju kejayaan.

Bukan tidak mungkin Mourinho akan mendapatkan tanggapan yang sama seperti saat dia membela Madrid. Akan ada banyak penggemar yang tidak suka dengan gaya bermainnya, karena terlalu pragmatis.

Namun, agaknya, saat ini para penggemar MU sudah terbiasa tertidur saat menyaksikan pertandingan. Filosofi penguasaan bola nan membosankan ala Louis van Gaal seolah meninabobokan setiap orang yang menyaksikan pertandingan MU sepanjang dua musim terakhir.

Di sisi lain, Mou justru hadir dengan permainan sepakbola yang lebih direct di mana permainan MU menjadi lebih mengalir; bagaimana para pemain lebih sering melepaskan bola ke depan, ketimbang berputar-putar dan mengoper pada David De Gea.

Mungkin saja, dengan bergabung dengan MU, Mou telah mengubah filosofinya yang pragmatis. Atau mungkin, permainan Mou memang seperti itu, hanya saja kita kelewat terbiasa menyaksikan permainan 500 umpan ala Van Gaal yang menyiksa.

Sir Alex, dalam otobiografinya, menulis khusus soal Mourinho. Ia bahkan memberinya judul seperti ini, “Mourinho—Sang Pesaing Istimewa”. Lantas, apakah Mou bisa memenuhi nubuat Sir Alex?