Foto: Sportsmole

Suatu malam, pada Januari 1995, di stadion Selhurst Park yang merupakan markas Crystal Palace, seorang pria dengan raut wajah tanpa ekspresi sedang diseret keluar dari lapangan oleh Peter Schmeichel dan Norman Davies, kitman Manchester United.

Ada aura kekesalan bercampur rasa bersalah dalam benak pria tersebut. Ia merasa bersalah karena mendapatkan kartu merah akibat tindakan sembrono yaitu menendang kaki lawannya, Richard Shaw. Dengan keluarnya dia, maka tim harus bermain dengan 10 orang pemain. Kekurangan orang jelas sangat merugikan mengingat skor laga saat itu masih berlangsung imbang tanpa gol.

Namun ada perasaan lain yang berkecamuk dalam diri pria tersebut. Sebelum ia melangkah keluar dari lapangan, sebuah pukulan ia lepaskan kepada seseorang yang belum atau bahkan tidak pernah ia kenal. Sebelum dipukul, sebuah tendangan ia lepaskan demi memberi pelajaran kepada pria tersebut.

Ia tahu kalau keputusannya saat itu akan membawa masalah ketika ia bangun dari tidurnya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia hanya bisa menunggu apa yang akan terjadi kedepannya. Hukuman? Sudah pasti akan ia rasakan. Bahkan bisa saja ia akan dipenjara karena yang ia lakukan sudah mengarah ke tindak kekerasan.

Di tribun, orang yang menerima hadiah pukulan tersebut sedang berhadapan dengan rekan setim si pemain yang juga menyimpan kekesalan yang sama.

Penonton yang bernama Matthew Simmons ini menganggap kalau dirinya tidak melakukan apa-apa dan menerima perlakuan yang seharusnya tidak pernah ia terima. Namun rekan setim si pemain tahu kalau tendangan dan pukulan itu datang karena provokasi dari si penonton. Oleh karena itu, mereka menjadi beringas. Persis seperti yang diungkapkan manajer tim lawan kalau pakaian serba hitam yang dipakai United saat itu membuat mereka menjadi ganas.

Kita semua sudah tahu kalau pemain yang melakukan tendangan kung-fu tersebut adalah Eric Cantona.  Tendangan kung-fu, Selhurst Park, 1995, Matthew Simmons, Richard Shaw, dan Crystal Palace, adalah kata-kata yang akan mengarahkan pikiran kita kepada pria asal Prancis tersebut.

Sosoknya memang kerap akrab dengan masalah. Bahkan sudah sering terjadi ketika ia belum berseragam Manchester United. Namun kejadian di Selhurst Park mungkin adalah yang paling parah yang pernah ia lakukan karena sasarannya adalah suporter, bukannya pemain lawan atau bahkan rekan setimnya sendiri. Seolah-olah kejadian saat itu adalah puncak dari emosi yang sudah banyak tersimpan dan butuh objek untuk dijadikan pelampiasan.

“Eric selalu menjadi target nomor satu bagi pendukung di manapun. Bukan hanya pemain lawan tetapi para penggemar yang merasa kalau mereka bisa mengusirnya juga. Beberapa pelecehan yang dia dapatkan sangat mengerikan. Butuh korban untuk dijadikan sasaran dan semuanya terjadi pada malam itu,” kata Gary Pallister, rekan setim Cantona.

Secara tidak langsung, tugas Crystal Palace berhasil. Selain mendapatkan satu poin, karena skor akhir 1-1, mereka juga sukses menyingkirkan Cantona yang merupakan bintang utama United. Hal itu ternyata sudah direncanakan. Alan Smith memang memerintahkan Shaw untuk menyingkirkan si nomor tujuh meski itu dengan cara main kotor sekalipun agar emoisnya muncul.

“United yang datang ke London sedang berada di puncak klasemen, dan mereka baru saja membeli Andy Cole. Kami mengantisipasi permainan fisik mereka yang sulit. Tapi saya tidak setuju dengan reputasi yang kami dapat kalau kami main kasar. Cantona, Cole, Giggs, dan Kanchelskis. Mereka adalah pemain yang luar biasa dan Anda harus melakukan itu agar menghentikan permainan mereka,” kata Shaw.

“Itu adalah permainan dengan intensitas tinggi. United bertanding untuk merebut gelar liga, sedangkan kami berjuang untuk bertahan. Itu laga kompetitif. Kami tidak diminta untuk memancing emosinya. Saya orang yang baik dan saya bangga akan diri saya. Bagi saya itu normal di lapangan sepakbola. Apa yang terjadi kemudian itulah yang tidak normal, tetapi kejadian itu mengubah persepsi tentang kejadian itu.”

Yang menarik, Ferguson sendiri sebenarnya sudah memperingatkan Cantona agar tidak emosi. Caranya adalah dengan menjauhi posisi Shaw yang saat itu beberapa kali mencoba memancing emosinya dengan melakukan pelanggaran-pelanggaran keras. Sayangnya, wasit Alan Wilkie beberapa kali luput melihat kejadian Shaw dengan Cantona. Marah, Cantona akhirnya melupakan pesan manajernya dan memilih untuk mengikuti emosinya.

Ada seorang pendukung Palace yang saat itu berada di dekat Simmons. Namanya Cathy Churchman. Ia merasa kalau Cantona ingin menyerang dia. Ia mendeskripsikan saat itu Cantona memiliki mata yang seperti mendidih dan seolah ingin menerkam sesuatu. Cathy sendiri sempat kaget dan terjatuh di dekat anaknya yang berusia 15 tahun.

Bahkan Norman Davies, orang yang membawa Cantona keluar stadion begitu kewalahan. Cantona berlari cukup cepat dan sudah mendekati Simmons sebelum diseret lagi oleh Davies. Davies mengaku kalau ia bukanlah orang yang bisa membawa pemain keluar lapangan saat terkena kartu merah. Namun ketika kejadian itu menimpa Eric, maka ia harus mengambil sikap karena ditakutkan akan ada hal buruk yang terjadi. Namun saat itu, semuanya sudah terlambat.

“Saya mencoba menenangkan Eric (Cantona) dengan memberinya minum dan mencoba berbincang jika dia mau. Eric sebenarnya sosok yang pendiam,” kata Davies.

Tidak ada yang menyangka kalau Cantona yang beringas pada saat itu ternyata memiliki sifat asli pendiam. Kenyataannya memang demikian. Meski banyak yang menyebut kalau dia bengal dan memiliki watak yang keras, namun Cantona sebenarnya sosok yang cuek.

Ia bahkan bisa menjadi orang yang baik. Tidak bisa dilupakan momen ketika ia memberikan uang hasil menang taruhan kepada Nicky Butt dan Paul Scholes hanya karena dua pemain muda ini mau mengikuti taruhan yang diikuti pemain-pemain seniornya. Banyak pemain-pemain United setelahnya yang menaruh rasa hormat tinggi kepada sosok Cantona.

Inilah kenapa ia dijuluki The King yaitu raja. Seorang raja harus memiliki kedekatan terhadap para rakyatnya. Inilah yang dilakukan Cantona selama di United. Ia akan mengayomi, memimpin, dan mendidik mereka agar bisa membawa harum nama kerajaannya yaitu Manchester United.

Di sisi lain, ia juga bisa bersikap tegas. Inilah yang ia lakukan terhadap Simmons. Usut punya usut ada kalimat hinaan juga yang membuat kenapa tendangan kung-fu dan tinju adalah hadiah yang pantas diberikan kepada Simmons.

Sang raja divonis bersalah. Ia memang kesal, namun melakukan kekerasan fisik jelas tidak diperbolehkan. Ia akhirnya dihukum tidak boleh bermain sepakbola selama delapan bulan. Ia bahkan nyaris dipenjara sebelum hukuman tersebut diringankan menjadi kerja sosial selama 120 jam.

Setelah hukuman dibacakan, sang raja memilih santai. Ia hanya mengucapkan satu kalimat yang kemudian menjadi terkenal lalu pergi meninggalkan jumpa pers.

Namun dibalik sikapa santainya, sang raja sebenarnya menangis. Apa yang dia lakukan membuat ia tidak bisa memimpin timnya bertanding. Terbersit keinginan untuk keluar dari kerajaan dan meninggalkan jabatannya sebagai raja. Sir Alex Ferguson kemudian rela terbang ke Prancis untuk membujuknya agar jangan pergi. Sebuah keputusan yang akhirnya ia terima dan bertahan dua musim lagi di kerajaannya.

Beruntung bagi sang raja karena ia didukung oleh banyak pihak. Tidak seperti orang yang ia pukul. Hidupnya berantakan karena mendapat cercaan dari seluruh Inggris, dipecat dari perusahaan karena membuat malu, keluarganya tidak mau mengakuinya lagi, dilarang masuk Selhurst Park seumur hidup, dan tidak mendapat uang setelah menjual kisahnya di sebuah harian lokal.

Beberapa kutipan ini diambil dari buku karangan Wayne Barton yang berjudul ‘King Eric: Portrait of the Artist Who Changed English Football’ yang akan rilis 2 April mendatang.