Foto: Daily Express

Harapan untuk melihat Ed Woodward lengser dari kursi jabatannya saat ini tidak akan pernah menjadi kenyataan apabila tidak diiringi dengan langkah yang nyata dari para suporter United di Manchester sana. Selagi semuanya berjalan baik-baik saja, maka Woodward pun tidak akan mundur dalam waktu dekat.

Sejak pensiunnya Sir Alex Ferguson, penggemar Manchester United tampak lebih sering marah dibanding gembira. Kekesalan demi kekesalan terus bertumpuk sejak yang terbaik itu memutuskan untuk pensiun dari kursi manajer pada 2013 silam. Banyak hal yang membuat penggemar United menjadi mudah marah, dipecundangi tetangga berkali-kali, hanya memenangi trofi kelas dua, dan melihat rival yang sebelumnya berada di bawah kini mulai menanjak lagi ke papan atas, menjadi alasan kenapa emosi lebih sering masuk dalam nadi para pendukung Setan Merah.

Banyak yang menganggap kalau itu semua adalah siklus atau bagian dari proses. Ungkapan yang memang ada benarnya. Akan tetapi, sebuah kesebelasan besar di sepakbola, khususnya yang mempunyai citra bagus di mata dunia, (kalau bisa) tidak ingin menjalani proses tersebut. Sebisa mungkin superioritas itu harus dijaga sampai kapan pun. Kalau perlu hingga jantung sepakbola itu berhenti berdetak.

Marah adalah ekspresi yang manusiawi. Marah adalah bentuk mengekspresikan diri ketika kita terjebak dalam kekesalan yang bertumpuk. Biasanya, kita akan menunjuk orang lain sebagai biang keladi dari rasa marah yang muncul di diri kita.

Bagi penggemar United, pelampiasan rasa marah mereka diarahkan kepada sang Executive vice Chairman, Ed Woodward. Dialah orang yang dianggap sebagai biang keladi kemerosotan Setan Merah yang musim ini akan memasuki musim ketujuhnya. Gregetan, kesal, emosi, adalah reaksi ketika melihat sosok yang menggantikan David Gill ini.

Sejak David Moyes gagal memegang Manchester United pada 2013/2014, ada dua sasaran caci maki bagi para pendukung United. Yang pertama adalah manajer, dan yang kedua adalah Woodward. Mungkin perbandingannya 45 persen untuk manajer dan 55 persen untuk Woodward. Angka yang sangat tipis, tapi Woodward dianggap paling layak untuk disalahkan.

Manajer Ole Gunnar Solskjaer dianggap bertanggung jawab atas apa yang telah dia buat bersama United musim ini. Meski belum layak dikatakan ‘miskin taktik’, namun di atas lapangan tim ini terasa seperti tidak memiliki kolektivitas. Penampilan tim nyaris sama di setiap pertandingannya seolah-olah kalau tim ini tidak dilatih secara intensif. Para pemain kerap dipenuhi kebingungan ketika menguasai bola.

Namun dosa Woodward dianggap paling besar dimata penggemar United yang marah. Solskjaer salah karena ia tidak bisa menangani tim ini dengan kumpulan para pemain yang sudah menjadi pilihannya, namun ini semua tidak akan terjadi tanpa adanya andil dari Woodward.

Ia sudah dianggap gagal sejak datang menggantikan Gill. Ketika bekerja bersama Moyes, ia tidak membantu manajernya tersebut untuk mengusahakan kedatangan Fabregas atau bahkan Toni Kross. Panik karena tiga bulan tidak membeli siapa pun, ia memutuskan untuk membayar mahal Fellaini beberapa juta lebih mahal dari yang ada di kontraknya bersama Everton.

Tradisi ini terus-menerus dipertahankan meski United berganti manajer. Merekrut pemain yang bukan keinginan dari sang juru racik menjadi tugas utama Woodward ketika bekerja. Angel Di Maria, Paul Pogba, hingga Fred, adalah contoh kebingungan dia menjalani pekerjaan sebagai penghubung antara manajer dengan pemain yang diinginkan.

Dosa-Dosa Ed Woodward

Ada banyak langkah yang sebenarnya bisa dilakukan oleh Woodward untuk mempermudah pekerjaannya tersebut. Salah satunya dengan mengangkat direktur olahraga yang kompeten untuk membantu Solskjaer mengidentifikasi siapa pemain yang cocok untuk skuat United. Namun Woodward memilih bertahan dengan keegoisannya untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Hingga akhirnya ia keteteran seperti yang dijabarkan The Athletic kalau Woodward capek mengurus negosiasi tiga pemain anyar United musim panas lalu.

Bursa transfer Januari pun tampak akan berjalan santai saja bagi United seperti biasa. Entah apa alasannya hingga hari kedelapan ini Woodward belum mau bergerak membantu Solskjaer mencari pemain mengingat skuat United saat ini katanya tidak cukup untuk bersaing di papan atas.

Apakah ini semua kemauan Solskjaer atau Woodward sudah melarangnya untuk belanja karena capek melakukan negosiasi di musim panas? Kita tidak tahu. Namun yang pasti, selagi United tidak ada perubahan apa-apa, maka tuntutan akan adanya pemain baru akan terus terdengar. Kesal rasanya jika United menolak mengeluarkan uang banyak karena takut pembeliannya gagal lagi, tapi penggemar dipaksa melihat pemandangan Lingard dan Jones di atas lapangan.

Ini baru soal rekrutmen. Kita belum membahas masalah kegemaran ia memperpanjang kontrak pemain-pemain yang sepatutnya sudah dijual jauh-jauh hari. Atau memberi gaji mahal kepada pemain yang performanya angin-anginan seperti Phil Jones, Marcos Rojo, atau Luke Shaw.

Bahkan Solskjaer sendiri diberi gaji 145 ribu paun. Angka ini setara dengan apa yang didapat Jurgen Klopp di Liverpool yang baru saja menjuarai Liga Champions. Nilai yang sangat tinggi untuk juru taktik yang modalnya hanya membawa Molde menjadi juara Liga Norwegia dan membawa Cardiff terdegradasi jika dibandingkan dengan Klopp.

Perlu Langkah Nyata, Bukan Koar-Koar di Media Sosial

Malas berinvestasi tapi tim terus mendapatkan keuntungan yang besar dengan mengandalkan citra klub dan sejarah masa lalu. Woodward jelas senang dengan bisnis macam ini. Ditambah dukungan Solskjaer melalui argumentasi kalau membeli pemain bulan Januari bukan hal yang tepat, maka jangan harap akan ada uang yang keluar demi pemain baru yang bisa memberi dampak kepada United.

Semua penggemar United sudah tahu kebusukan Woodward. Ambisi untuk menyeretnya keluar sudah memuncak sejak lama. Sayangnya, kegelisahan penggemar United kepada Woodward tidak diikuti dengan langkah-langkah nyata. Semuanya terbentur sebatas tagar #WoodwardOut atau unfollow media sosial United yang jelas hanya dianggap sebagai gertakan minor oleh objek yang bersangkutan.

ManUtdZone melansir kalau setelah pertandingan derby Manchester kemarin, ada beberapa penggemar United yang meluangkan waktunya untuk berdemonstrasi di depan Old Trafford. Mau tahu berapa yang hadir? Hanya 20 orang dari 70 ribu penonton yang hadir saat itu. Jika Woodward mendengar jumlah tersebut, dia mungkin membalasnya dengan tertawa terbahak-bahak.

Para penggemar United di Manchester tampak masih ragu untuk mengambil sikap. Mengosongkan Old Trafford jelas perbuatan yang sulit karena akan berdampak pada mental pemain yang akan terganggu psikologisnya karena tidak mendapat dukungan. Merobek tiket terusan juga dirasa sangat merugikan karena mereka sudah membayar mahal.

Belum lagi mendapat tantangan dari mereka yang apatis dengan dalih mengeluarkan Woodward atau bahkan keluarga Glazer secara umum adalah perbuatan yang mustahil. Gary Neville menyebut sulit untuk mencari investor baru saat ini. Di sisi lain, Pete Boyle, orang yang suka membuat chant kepada pemain United juga mempertanyakan mengapa kemarahan penggemar baru muncul setelah 2013 meski mereka sudah berada di klub sejak 2005.

Ketika Woodward belum juga pergi dari United, maka yang bisa dilakukan penggemar hanyalah mendukung dan berdoa kalau Manchester United bisa kembali bangkit seperti sebelumnya. Mengutuk Woodward dengan hashtag #WoodwardOut akan kembali menjadi pelampiasan jika segalanya tidak membaik. Sebuah pelampiasan yang tidak akan berdampak apa-apa karena sosoknya masih berada di tribun eksekutif stadion Old Trafford. Tanpa langkah nyata penggemar akan terus dipaksa menelan status mediokritas yang melekat di klub favoritnya.