Foto: The Peninsula Qatar.

Banyak yang bilang kalau Manchester United sedang mengalami krisis kepemimpinan. Kehilangan sosok pemimpin, membuat ruang ganti kerap tidak stabil. Tidak adanya pemain yang memiliki mental yang kuat dan layak dijadikan kapten kesebelasan, disebut-sebut berperan besar terhadap permainan United yang miskin identitas.

***

Blaise Matuidi kaget ketika mengetahui kalau Cristiano Ronaldo datang lebih awal untuk latihan. Padahal mereka baru saja selesai bertanding di Manchester pada malam sebelumnya. Sudah pasti otot-otot para pemain masih mengalami kelelahan. Namun Matuidi tidak melihat tanda-tanda itu dari wajah Ronaldo.

“Kami kelelahan setelah pertandingan melawan United, bahkan rasa lelah itu masih terasa sampai keesokan harinya. Akan tetapi, hal itu tidak terlihat dalam diri Cristiano. Dia bekerja seperti orang gila sejak tiba di Juventus. Dia bekerja lebih dari semua orang dan dia mengatakan kepada saya kalau seperti itulah dirinya bersikap. Oleh karena itu, di usianya yang 33 tahun, Cristiano adalah teladan bagi kami semua dan bisa memberi rangsangan ekstra. Dia seorang pemimpin dan semua orang jauh lebih kuat bersamanya,” tutur Matuidi.

Itu adalah sebagian kecil dari seorang pemain yang bisa menularkan semangat kepada rekan setimnya. Dampaknya akan terasa ketika bermain di atas lapangan dimana semua pemain bisa mengeluarkan potensi terbaiknya. Hal itu yang tidak ada di United sekarang ini. Entah benar atau tidak, namun pemain Setan Merah saat ini bukanlah pemain yang memiliki karakter kuat layaknya beberapa tahun lalu.

Setelah hengkangnya Wayne Rooney, yang disusul Zlatan Ibrahimovic dan Michael Carrick, United tidak ada sosok teladan yang bisa menjadi panutan para pemain di ruang ganti. Entah karena tidak ada pemain yang layak atau kualitas mereka memang bukan pemain papan atas.

Hal itu tercermin dari sulitnya Mourinho memilih kapten sejak musim lalu. Kapten utama saat itu tetap dipegang oleh Michael Carrick. Akan tetapi, gelandang nasional Inggris tersebut sudah jarang bermain. Sayangnya United tidak punya wakil kapten saat itu yang membuat jabatan tersebut selalu berganti-ganti. Bahkan Fellaini sempat menjadi kapten dadakan dalam sebuah pertandingan.

Musim ini pun sama. Mourinho kebingungan mencari siapa yang tepat menjadi kapten timnya. Paul Pogba sudah mendapat pencopotan jabatan. Sejauh ini, posisi kapten dipegang oleh Ashley Young. Akan tetapi, jabatan tersebut tampak tidak akan lama seandainya Valencia sudah kembali dari pemulihan cederanya.

Menjadi sosok teladan tidak selalu harus menjabat sebagai seorang kapten. Hal itu tercermin dari apa yang dilakukan CR7 di setiap klub yang ia bela (kecuali timnas Portugal). Bahkan United di era Matt Busby dan Sir Alex Ferguson. Namun terasa lebih mudah jika sosok teladan tersebut menjabat sebagai seorang kapten karena dia adalah “kepanjangan lidah pelatih”.

Jika ditilik berdasar ilmu komunikasi, seorang kapten sepakbola harus memiliki beberapa aspek yaitu kharisma, panutan, dewasa, wibawa, berjiwa pemimpin, tingkat intelijensi tinggi dalam memahami taktik, pandai memotivasi, dan pandai berkomunikasi dengan baik. Sayangnya, tidak ada pemain dalam skuad United yang memiliki kemampuan itu.

Ashley Young dan Chris Smalling tidak memiliki wibawa, Antonio Valencia tidak bisa berkomunikasi karena kendala bahasa, sementara Nemanja Matic tidak terlihat sebagai pemain yang bisa memotivasi rekan setimnya.

Juan Mata, Paul Pogba, David De Gea, Romelu Lukaku, dan Ander Herrera, adalah nama-nama yang sebenarnya bisa menjadi kapten yang bagus bagi United. Akan tetapi, mereka masih memiliki beberapa kekurangan. Trio Spanyol punya kharisma dan wibawa tapi tampaknya tidak memiliki jiwa pemimpin yang baik, Romelu Lukaku kerap diterpa krisis kepercayaan diri, sementara Paul Pogba sudah dicap sebagai pemain yang banyak gaya.

Mencari Eric Cantona Baru di Manchester United

Sepanjang sejarahnya, United selalu memiliki kapten yang jiwa kepemimpinannya begitu lengkap baik di dalam maupun di luar lapangan. Sebut saja Bryan Robson, Eric Cantona, Roy Keane, Gary Neville, hingga Wayne Rooney. Akan tetapi, jika disuruh memilih siapa kapten terbaik United, maka gelar tersebut pantas diberikan kepada Eric Cantona.

Jika berkaca dari jumlah trofi dan lamanya membela Setan Merah, maka Cantona masih kalah dari Roy Keane. Akan tetapi, jika Keane hidup di era yang bersamaan dengan berkembangnya sosok Gary Neville, Paul Scholes dan Ryan Giggs, maka tidak demikian dengan Cantona.

Pemain asal Prancis ini tumbuh saat United diisi oleh para pemain muda jebolan Class of 92. Meski ego yang dimiliki sangat besar, namun Cantona yang mengembangkan nama-nama seperti Keane, Scholes, Giggs, dan Neville bagaimana menghargai lambang United di dada mereka. Ia juga tidak pelit ilmu jika para pemain tadi ingin belajar kepadanya.

Cantona akan selalu datang lebih awal untuk berlatih. Paul Ince pernah berkata kalau kegiatan Cantona yang selalu datang jam setengah sembilan pagi atau satu jam sebelum pemain lain datang, membuat beberapa pemain United lainnya berinisiatif melakukan hal serupa.

Yang menarik, meski para pemain seperti Beckham, Giggs, dan lainnya meniru apa yang dilakukan Cantona, namun dia memilih untuk bersikap dingin dan tidak menanggapi. Hebatnya, tidak ada satu pemain pun yang marah dengan Cantona terkait sifat kakunya tersebut. Akan tetapi, dampaknya terasa ketika para pemain muda itu menjadi tulang punggung saat Cantona dihukum delapan bulan.

“Dia memberikan pengaruh besar bagi karier saya di dalam tim. Luar biasa memiliki pemain seperti dia di dalam sebuah tim,” tutur Giggs. “Orang ini mengubah segalanya. Pendekatannya untuk sebuah pertandingan sangat luar biasa,” tambah Schmeichel.

Gary Neville sendiri mengaku kalau Cantona adalah orang yang berperan dalam suksesnya United meraih gelar Liga Champions pada 1999. “Eric memang tidak pernah memenangi titel Eropa bersama United. Namun dia terus berkata kepada saya kalau tim ini bisa menjadi raja Eropa. Temperamennya adalah bagian dari statusnya sebagai legenda. Orang-orang begitu menyukai dia karena segala tingkah maupun perkataannya.”

Salah satu bentuk Cantona memotivasi para pemain, khususnya pemain-pemain muda juga tercermin dari perilakunya di luar lapangan. Hal ini tertuang dalam buku autobiografi Roy Keane yang berjudul “The Second Half”. Keane menceritakan saat dimana para pemain United menerima uang 800 paun hasil kerjasama kontrak dengan salah satu media. Uang segitu adalah uang yang cukup besar untuk para pemain muda.

Agar para pemain tidak terjebak dengan kekayaan, Cantona dan para pemain senior lainnya mengumpulkan uang tersebut ke dalam sebuah topi. Siapa yang berhak mendapatkannya akan ditentukan melalui undian layaknya sebuah lotere.

Di luar dugaan, Paul Scholes dan Nicky Butt memilih ikut bermain dalam undian tersebut. Sementara Beckham, Gary, dan Phil Neville memilih untuk membawa pulang uang tersebut. “Mereka bertiga memilih keluar dengan uangnya masing-masing, karena mereka sedang tidak punya uang saat itu, tetapi Scholesy dan Butt memilih memasukkan uang mereka,” tutur Keane.

Keesokan harinya, uang yang setelah dikumpulkan jumlahnya 16.000 paun tersebut diundi dan ternyata nama Cantona keluar sebagai pemenang. Tentu saja ini membuat Scholes dan Butt pusing karena 800 paun adalah jumlah yang sangat besar nilainya saat itu.

Akan tetapi, Cantona memilih untuk tidak mengambil semua uang tersebut. Ia justru membagikan uangnya kepada Scholes dan Butt. Masing-masing mendapat 8.000 paun atau 10 kali lipat dari yang diterima Beckham dan Neville bersaudara. Alasan Cantona melakukan hal tersebut terbilang cukup sederhana, dia mengapresiasi keberanian Scholes dan Butt untuk ikut dalam taruhan tersebut.

“Ketika datang, Eric mendapat banyak ucapan selamat karena mendapat uang tersebut. Tapi dia kemudian menguangkan cek tersebut, dan membagikannya kepada Scholes dan Butt. Katanya, uang tersebut sebagai hadiah karena kedua pemain ini punya nyali untuk ikut serta taruhan tersebut. Melihat hal itu, saya berpikir kalau orang ini begitu luar biasa.”

Sumber: SkySports, Independent, Sportskeeda, ManchesterEveningNews