Foto: Manchester Evening News

Rene Meulensteen punya karier yang bagus bersama United. Sayangya, perjalanan kariernya begitu terjal setelah dirinya keluar dari zona nyaman. Sekarang, ia kembali merasakan kejayaan itu lagi bersama timnas Australia.

Sekilas, ada wajah yang cukup familiar bagi para pendukung Manchester United tiap kali kamera menyorot bangku cadangan timnas Australia pada Piala Dunia kali ini. Orang itu tetap tidak berubah. Masih fokus untuk melihat detail yang terjadi di atas lapangan. Yang membedakannya, kini beberapa bagian rambut pria itu sudah semakin memutih.

Orang itu adalah staf Australia. Ia adalah Rene Meulensteen. Oleh Graham Arnold, pelatih timnas Australia, ia ditugaskan untuk menjadi asistennya bersama Tony Vidmar. Tercatat, ini sudah tahun keempat bagi Rene mengurus Socceroos dan menjadi kesebelasan senior pertama yang ditangani pria 58 tahun ini sepanjang kariernya.

***

Rene tampaknya ditakdirkan untuk hanya menjadi orang nomor dua dibalik kesuksesan pelatih utama. Selepas menjalani masa-masa penuh kegemilangan bersama Setan Merah, Rene beberapa kali memutuskan keluar dari zona nyaman dan mencoba untuk menjadi pelatih utama di beberapa kesebelasan.

Sayangnya, nasib mujur tidak pernah menghampiri. Kariernya lebih sering berujung dengan pemecatan. Bahkan ia pernah diangkat menjadi pelatih selama 16 hari saja saat bertugas di Anzhi Makhachkala. Meski statusnya hanya interim, tapi tentu saja durasinya tergolong sangat singkat.

Beruntung bagi Rene karena dia kenal dekat dengan sosok Graham Arnold. Pria yang setahun lebih tua ini layaknya malaikat bagi Rene. Ketika kariernya kembali berakhir tragis bersama Kerala Blasters, Graham langsung mengajak Rene untuk bekerja sama menangani timnas Australia.

Tawaran tersebut tidak ditolak oleh Rene. Berkarier di tim nasional membuka kembali mimpinya saat masih menangani timnas junior Qatar pada 1993. Saat itu, ia ingin sekali merasakan nikmatnya turnamen level internasional baik itu cabang sepakbola Olimpiade atau Piala Dunia.

“Ketika mendapat tawaran itu, saya langsung menerimanya. Itu menjadi bagian dari ambisi saya dan saya pikir Australia adalah negara yang menarik. Negara yang harus ada untuk ajang sekelas Piala Dunia,” kata Rene.

Demi impiannya ini, Rene sampai harus menolak tawaran dari beberapa kesebelasan yang ingin menjadikannya pelatih utama. Bahkan ia sempat menyebut kalau beberapa tawaran yang ia dapat tersebut masuk dalam kategori “menggiurkan.”

Satu hal yang membuat Rene senang dengan tawaran timnas Australia adalah mentalitas antar pemain yang mirip seperti ketika ia masih bersama United dulu. Hal ini tidak terlalu berlebihan mengingat Graham Arnold sudah kenal lama dengan Rene. Maklum saja karena Graham sering berkunjung ke Old Trafford saat ia masih mencari lisensi kepelatihan.

Saking dekatnya, Rene rela pasang badan ketika atasannya mendapat kritik. Hal ini tidak lepas dari performa Australia yang tidak masuk dalam kategori baik dalam rentang empat tahun keberadaan Rene di sana.

Australia hanya mentok pada babak 8 besar Piala Asia 2019. Sempat timbul harapan ketika mereka menang dalam tiga laga pertama babak kualifikasi akhir Piala Dunia 2022 zona Asia, mereka kemudian hanya bisa meraih satu kemenangan pada tujuh laga berikutnya. Hasil ini membuat mereka finis pada posisi tiga grup B.

Buruknya performa mereka menimbulkan wacana untuk mendepak Arnold dari kursi kepelatihannya saat itu. Beruntung bagi Australia karena dalam dua babak play off yaitu melawan Uni Emirat Arab dan Peru mereka selalu menang meski dengan cara yang dramatis.

“Sebagai orang luar yang bekerja di sini, saya heran kenapa Arnie, sapaan Arnold, tidak mendapat dukungan bahkan ketika kami dalam keadaan sulit. Orang-orang di luar memiliki ekspektasi yang tidak realistis kepada tim nasional kami,” katanya dengan tegas.

“Lihat peringkat Liga Australia ada di mana! Selain itu, kami juga tidak memiliki pemain yang main di liga top saat ini. Mengingat segala proses sulit yang dia hadapi, ini adalah pencapaian besar bagi Austalia bisa ke Piala Dunia 2022. Benar-benar membingungkan karena beberapa orang tidak menghargai atau memahaminya,” ujarnya.

***

Ekspektasi yang tidak terlalu tinggi nyatanya membuat tim bisa begitu lepas ketika bermain. Itulah yang terjadi ketika turnamen sesungguhnya dimulai.

Australia tampil sangat mengejutkan. Meski kalah telak dari Prancis pada laga pertama, tapi mereka bisa unggul terlebih dahulu. Pada dua laga berikutnya melawan Tunisia dan Denmark, kemenangan berhasil mereka raih dengan cara yang epik. Solid di lini belakang, lalu efektif ketika memasuki sepertiga akhir. 1-0 cukup untuk membawa mereka mengulang sejarah layaknya tahun 2006 yaitu lolos ke fase gugur.