Usai pertandingan yang berakhir dengan kekalahan Manchester United 1-2 dari Manchester City, Jose Mourinho menjabat tangan Pep Guardiola, sebagai bentuk rasa hormat. Momen yang mungkin tak lebih dari dua detik tersebut menghadirkan dua pertanyaan sekaligus? (1) Bukankah ada tensi yang menegang antara Mou dan Pep? (2) Apakah mereka bersahabat?

Beberapa hari sebelum Derby Manchester, Kepala Koresponden Telegraph, Jason Burt, menulis artikel soal rivalitas Mou dan Pep. Jason menceritakan bagaimana sempat ada hubungan pertemanan erat di antara keduanya, sampai tiba-tiba semuanya berubah. Apa yang sebenarnya terjadi? Berikut kami sarikan untuk Anda.

***

Ada alasan mengapa Jose Mourinho didapuk menjadi pelatih Real Madrid pada musim 2010/2011. Salah satunya karena Mou, bersama Inter Milan, berhasil menjungkalkan Barcelona yang dilatih Pep Guardiola pada semifinal Liga Champions musim sebelumnya.

Keberhasilan tersebut diabadikan dalam sebuah foto di mana Mou tengah berlari dengan telunjuk yang menunjuk ke atas, di atas rerumputan Camp Nou. Foto yang sama, terpampang di kantor Mou dulu di Valebas, tempat berlatih Real Madrid.

Momen tersebut menjadi amat berkesan buat Mou, karena selain mengakhiri musim dengan meraih treble, ia pun mampu merenggangkan urat yang tegang. Sebelum bertarung di El Classico, sejatinya tensi tinggi antara Mou dan Pep sudah tercipta, yang tak lain berasal dari tempat mereka pertama kali bertemu: di Barcelona.

Bertemu di Barcelona

Pertemuan pertama Mourinho dan Pep sejatinya ada di atas rumput Camp Nou, tetapi bukan sebagai musuh. Mou diplot sebagai penerjemah, sementara Pep adalah kapten tim.

Mou dibawa oleh Sir Bobby Robson ke Barcelona yang pada awalnya memekerjakan ia sebagai penerjemah sejak di Sporting Lisbon pada 1992. Sosok Mou sudah dikenal oleh media karena sering menjadi penerjemah di konferensi pers. Di tempat latihan, Mou memegang peran penting sebagai penyusun agenda latihan karena Robson lebih senang berinteraksi langsung dengan pemain.

Baik Robson maupun Mou adalah dua sosok yang saling melengkapi. Robson secara taktikal punya kecenderungan fokus untuk menyerang. Di sisi lain, Mou sejak awal bersentuhan dengan sepakbola sudah punya perhatian lebih pada pertahanan.

Namun, keberhasilan Barcelona terutama saat menjuarai Piala Winners Eropa pada Mei 1997 bukan cuma hasil kerja keduanya. Ada sosok lain yang punya peran begitu penting di dalam tim yang bernama Pep Guardiola.

Pep adalah kapten tim Barcelona. Ia menjadi penyalur instruksi Robson dari Mou ke pemain lainnya. Mou dan Pep dianggap sebagai kunci sukses taktik Robson di Barcelona. Setelah mengalahkan Paris Saint-Germain di final, ada sebuah fragmen di mana Pep dan Mourinho saling berpelukan. Fragmen tersebut diabadikan dalam sebuah foto yang katanya masih dimiliki oleh Mou.

“Ya, saya masih memilikinya,” ujar Mou kepada tv Cadena Ser, “kami dekat.”

Ditolak Barcelona

Mou punya hubungan yang begitu erat bersama Barcelona. Kariernya, meski ia juga sempat ada di Sporting Lisbon, tetapi baru mekar di Barcelona. Ia mendapatkan ilmu dari sosok-sosok pemikir hebat seperti Sir Bobby Robson dan Louis van Gaal.

Wajar rasanya kalau Mou mendambakan menjadi pelatih El Barca suatu hari nanti. Bahkan, saat meninggalkan Camp Nou pada 2000, Mou mengucap janji, “Hari ini dan selamanya, Barca selalu di hatiku.”

Tidak sembarang orang bisa menjadi pelatih Barcelona. Untuk itu, Mou melanglang buana melengkapi CV-nya. Lalu, peluang itu hadir pada 2008.

Mou datang dalam sosok yang berbeda. Ia adalah pelatih sukses yang membawa Porto juara Liga Champions dan mengangkat Chelsea menjuarai Liga Primer Inggris. Semua orang kini tahu tentangnya; banyak bos kesebelasan yang menginginkan dirinya.

Tidak mudah mendapatkan pekerjaan di Barcelona. Ia diwawancarai oleh Txiki Begiristan dan Marc Ingla. Dalam wawancara tersebut, Mou berjanji akan mempromosikan Pep Guardiola dari pelatih dim Barcelona B menjadi asistennya. Hal senada juga dilakukan oleh Pep yang merekomendasikan Mou ke dewan klub.

“Jose selalu memandang bahwa Pep adalah sosok penting di klub ini,” kata Robson. “Dia berpikir: ‘Aku harus bersama dengan orang ini. Aku harus mengenalnya’. Dan dia melakukannya. Mereka berteman.”

“Lawan” Mou untuk melatih Barcelona sebenarnya punya nama yang tak asing seperti Arsene Wenger dan Manuel Pellegrini yang kala itu membesut Villareal. Namun, ada “lawan” tangguh yang begitu kokoh mengadang Mou: sikap kontroversialnya. Hal ini pun dirasakan oleh Begiristain dan Ingla yang juga mendapatkan rekomendasi dari Johan Cruyff. Pada akhirnya, justru Pep yang didapuk sebagai pelatih anyar Barcelona.

Padahal, secara teori, menggabungkan Pep dengan Mou adalah sesuatu yang fantastis. Pelatih utamanya punya pikiran yang pragmatis sementara asistennya idealis. Hal ini pun ditunjukkan dari bagaimana mereka bekerja sama saat masih dalam naungan Sir Bobby Robson.

Berdasarkan seorang pemain pada era tersebut, instruksi Robson terkesan sulit dimengerti. Namun, Pep dan Mou selalu bekerja sama untuk mengisi hal tersebut. Salah satunya adalah kebiasaan Robson yang membuat kerangka idenya dengan menggunakan kapur di lantai. Pep dan Mou pun mesti menyampaikan ide-ide tersebut kepada para pemain.

“Kami bertukar gagasan,” ungkap Pep. “Itu adalah persahabatan, persahabatan yang berjalan baik.”

Mou yang Berubah

Perubahan pada persahabatan keduanya mulai terjadi saat Barcelona lebih memilih Pep Guardiola yang masih hijau dalam hal kepelatihan. Tentu, soal prestasi, tidak bisa dibandingkan apa yang diraih Pep dengan Mou. Namun, Txiki dan Ingla punya pandangan lain. Pasalnya mereka telah menemukan Mou yang begitu berbeda.

Selain sederet prestasi gemilang, Mou yang saat ini adalah Mou yang banyak bicara. Ia terkesan sombong dan tak sungkan untuk menyerang lawan-lawannya lewat kata-kata. Hal ini yang ditakutkan Txiki dan Ingla kalau Mou jadi melatih Barcelona. Bisa jadi citra kesebelasan akan tercoreng karenanya.

Pada akhirnya, kondisi yang membuat persahabatan keduanya kian bergejolak. Sukses di Inter membuat Real Madrid menilai Mou adalah sosok yang tepat untuk meneruskan kejayaan. Untuk menangani pemain bertabur bintang, diperlukan sosok pelatih yang punya ego lebih besar dari para pemainnya. Ego ini yang membuat para pemain begitu menghormati Mou.

Buat banyak orang, saat menangani Madrid, sumbu panas El Clasico kian tersulut di tangan Mou. Ia dianggap selalu mengorbarkan peperangan dalam setiap laga melawan Barcelona. Sialnya, kala itu, terdapat momen di mana Barcelona dan Real Madrid bertemu empat kali dalam 18 hari yang mencakup pertandingan liga, Copa del Rey, dan Liga Champions.

Saking ketatnya, Mou dikabarkan meminta para pemain Madrid yang membela timnas Spanyol untuk tak bergaul dengan para pemain Barcelona. Malah, dalam empat El Classico awal, selalu ada satu pemain El Real yang dikartumerah.

Sementara itu, Pep menanggapi segala ucapan Mou dengan sikap yang di luar dugaan. Dia bilang begini, “Di ruangan ini (ruang konferensi pers), dia adalah bosnya. Aku tak ingin bersaing dengannya di sini. Aku hanya ingin mengingatkan kalau kami pernah bersama, dia dan aku, selama empat tahun. Dia tahu aku dan aku pun mengenalnya. Itu sudah cukup.”

***

Publik tak bisa melepaskan persaingan Mou dan Pep sebagai persaingan Real Madrid dan Barcelona. Kini, keduanya ada di kota yang sama, dengan kesebelasan yang saling bersaing. Aroma panas di antara keduanya akan terus berlanjut mungkin hingga dalam beberapa musim ke depan.

Namun, yang mesti dicermati, adalah bagaimana sikap keduanya di media, dan bagaimana jadinya kalau keduanya, dulu, benar-benar disatukan dalam sebuah kesebelasan: Mou adalah sosok yang nge-gas, sementara Pep adalah rem-nya. Mou mendirikan tembok kokoh di lini pertahanan, sementara Pep menajamkan tiga ujung tombaknya. Perpaduan yang menarik?

Sebelum Derby Manchester, Pep melontarkan pernyataan yang menarik. Ia merasa kalau Derby Manchester bukanlah El Classico. Untuk itu, untuk sementara, ia menginginkan “gencatan senjata”. Pep pun berujar kalau sebagai bentuk kesungguhannya ia akan menjabat tangan Mou; dan hal itu benar-benar terbukti adanya.