Foto: FoxSports.com

Satu tahun menjadi manajer permanen Manchester United, Ole Gunnar Solskjaer melakoni 57 pertandingan dengan catatan 26 kemenangan, 15 seri, dan 16 kali kalah, dengan rasio kemenangan tidak sampai setengahnya (45,6%).

Ya, saya tahu kalau catatan itu tidak adil karena tidak menyertakan jumlah pertandingan yang ia mainkan saat statusnya masih menjadi manajer sementara. Jika data di atas ditambah dengan saat ia menjadi caretaker, maka Ole telah memainkan 76 pertandingan dengan 40 kemenangan dan rasionya menjadi 52,63%.

Namun pada 28 Maret kemarin, kita semua merayakan satu tahun keberadaan Ole Gunnar Solskjaer sebagai manajer utama. Oleh karena itu, jauh lebih elok jika melihat kinerjanya selama satu tahun kebelakang atau saat dia sudah dipastikan menjadi pemegang kursi manajer klub untuk tiga musim ke depan. Bukan hanya sebagai pengisi kekosongan setelah klub mendepak Jose Mourinho.

Setahun Ole Gunnar Solskjaer seperti perjalanan di sebuah wahana roller coaster. Penuh adrenalin dan cenderung naik turun. Ada harapan besar ketika ia memberikan penampilan apik dalam tiga bulan pertamanya sebagai caretaker. United menjadi tim yang terbiasa menang. Mereka yang sebelumnya tidak bisa ke delapan besar Liga Champions Eropa sejak 2014, tiba-tiba berhasil melakukannya bersama Ole.

Titik balik perjalanan Ole sudah pasti terjadi ketika United membalikkan keadaan pada leg kedua Liga Champions di Paris. Hasil pertandingan yang membuat Ed Woodward merasa kalau penerus Sir Alex Ferguson bukanlah Mauricio Pochettino, Massimo Allegri atau Zinedine Zidane melainkan Ole sendiri.

Namun, perjalanan United berantakan setelah ia diberikan kontrak permanen. Perjalanan United di sisa laga Premier League berantakan dengan kehilangan lima dari sembilan laga. Mereka dibantai 4-0 oleh Everton, ditahan imbang tim terburuk saat itu, Huddersfield, dengan skor 1-1. Yang paling menyebalkan ketika melihat United kalah dari Cardiff City pada laga terakhir di kandang sendiri. Hasil ini belum ditambah dengan tersingkirnya mereka di Piala FA dan Liga Champions Eropa.

Keadaan itu belum berubah sampai ia menjalani musim penuh pertamanya. United memang beberapa kali mendapat kemenangan, khususnya ketika melawan tim besar, namun mereka juga gampang kehilangan poin ketika melawan tim-tim kecil. Seri melawan Aston Villa, kalah dari Bournemouth, West Ham, dan Watford, menjadi noda dari perjalanan mereka sepanjang musim 2019/2020 ini.

Suara sumbang kembali terdengar. Kelayakan Ole dipertanyakan. Mereka yang sebelumnya sudah terkesima dengan apa yang ia raih saat menjadi caretaker lenyap seketika. United yang rajin menang kini balik lagi menjadi tim yang rajin hilang poin bahkan mengalami kekalahan. Bahkan mereka jarang menang lebih dari sekali pada Premier League musim ini kecuali pada Desember 2019 dan Februari 2020. Isu pemecatan bahkan sudah muncul pada Desember sebelum diselamatkan dua kemenangan melawan Spurs dan City.

Menjadi Bahagia Mulai Tahun 2020

Penggemar Manchester United kerap bersinggungan dengan Ole Gunnar Solskjaer. Mereka kewalahan melihat tujuh musim timnya tidak bisa bersaing di papan atas Premier League dan Eropa. Mereka juga mulai berada dalam bayang-bayang City serta Liverpool. Tujuh musim dirasa sudah cukup. Jangan ikuti Liverpool yang harus menunggu hingga 30 tahun. Namun Ole berkali-kali berkata kalau untuk menuju ke sana butuh waktu.

Ole juga tidak mau lama-lama hanya menjadi bagian dari transisi. Ia ingin membangun kejayaannya sendiri. Ia memang pernah menyebut kalau klasemen klub tidak terlalu penting, namun itu bukan berarti kalau ia tidak perhatian terhadap hasil timnya. Ia hanya mau membenahi sektor internal timnya terlebih dahulu sebelum kemudian fokus mengejar hasil.

Faktor ini yang membuat Ole mendapat banyak pujian dan dukungan. Ia berani membuang pemain yang dianggap tidak layak lagi membela United baik itu dengan status permanen atau pinjaman. Ia mulai menggantinya dengan pemain-pemain pilihannya sendiri. Pelan-pelan ia memperbaiki skuat United. Dimulai dari lini belakang, lalu membeli pemain tengah pada bulan Januari, lalu rencananya baru akan membeli pemain depan pada bursa transfer musim panas mendatang.

Ole sebenarnya beruntung karena suasana kerjanya juga membuatnya bisa bekerja dengan nyaman dan tenang. Atasannya yang dikenal bebal bernama Ed Woodward mulai tidak asal-asalan membeli pemain. Ia kini mau mendengarkan permintaan manajernya. Entah ada hubungannya atau tidak dengan insiden pelemparan petasan di rumahnya, namun kini Ole membuktikan kalau ia benar-benar bahagia dengan Woodward.

Perekrutan pemain juga bisa dikatakan berhasil. Tidak ada lagi nama-nama tenar yang sudah lewat masanya seperti Bastian Schweinsteiger atau Radamel Falcao. Ia juga sukses menyuntikkan dua pemimpin baru dalam diri Harry Maguire dan Bruno Fernandes. Keduanya menunjukkan kalau untuk berhasil maka harus bermain dengan semua tenaga yang ada. Jangan setengah-setengah. Harry kemudian bertransformasi menjadi komandan tim sementara Bruno menjadi jenderal lini tengah United. Yang menarik, Bruno bahkan berani memberikan analisis permainan dia ke para pemainnya melalui Whatsapp.

Kebahagiaan lain datang dari pemain-pemain yang sebelumnya dianggap flop macam Fred, Anthony Martial, dan Marcus Rashford. Fred kini nyaman di lini tengah, sedangkan Rashford dan Martial mulai menjelma sebagai duet baru lini depan klub. Ditambah dengan kehadiran pemain-pemain muda seperti Mason Greenwood dan Brandon Williams yang melengkapi skuat dan Scott McTominay yang semakin matang seiring bertambahnya usia.

Suasana tim menjadi lebih kondusif. Tampak tidak ada lagi perpecahan di ruang ganti seperti musim terakhir Mourinho. Nemanja Matic yang sempat menjadi musuh Ole kini mulai berdamai dengan manajernya dan mendapat ganjaran berupa tambahan kontrak satu tahun. Sebuah bukti dari aura positif yang dibawa oleh Ole.

“Dia kini sudah menjadi manajer yang jauh lebih baik dibanding setahun lalu. Sekarang dia sudah mulai mengenal para pemainnya dan tahu apa yang dibutuhkan dalam mengarungi sebuah pertandingan, jadi saya merasa kalau ia sudah mulai mendapatkan pengalamannya,” kata Nemanja Matic.

Dalam Podcast The Athletic, Manchester United juga dikabarkan telah memiliki divisi analytic yang cakupan pekerjaannya tidak hanya membahas pemain dan permainan lawan, melainkan analisa yang lebih mendalam seperti kesehatan pemain,dan perkembangan pemain akademi. Sebuah langkah yang diapresiasi sangat positif.

Tidak ada arogansi yang keluar dari mulut sang pelatih. Solskjaer memilih untuk tidak egois. Ia adil dalam menilai setiap pemain. Kepentingan klub selalu menjadi yang paling utama. Siapa yang tidak layak main maka akan disingkirkan. Beda dengan Jose Mourinho yang cenderung mengandalkan egonya saat ia masih menangani United.

Ketika menang melawan City, ia menyebut kalau pemainnya yang bisa membuatnya tiga kali mengalahkan Pep Guardiola. Bukan karena dirinya sendiri. Sebuah ucapan yang jelas membuat para pemainnya tersanjung dan bersemangat untuk terus memberi kemenangan kepada Ole. Begitu juga ketika ia ditanya tentang Paul Pogba. Ia memilih tetap tenang dan tidak terpancing emosi meski ia tahu kalau pemainnya ini sudah tidak betah di United.

Hasil bagus mungkin belum menyertai perjalanan Ole. Namun melihat catatan gol mereka yang saat ini menyentuh angka 83 menandakan kalau mereka pelan-pelan mulai kembali menjadi tim yang bermain agresif dan tajam di lini depan. Jika tidak ada pandemi Corona, maka United mungkin sudah mendekati catatan gol terbaik mereka setelah era Fergie yaitu 105 gol pada musim 2016/2017.

Meski begitu, kerja Ole belum selesai sampai di situ. Masih ada beberapa titik yang harus ia selesaikan demi bisa mengejar Liverpool dan Manchester City. Pembangunan tim tidak hanya sebatas Wan-Bissaka, James, Maguire, Bruno, dan Ighalo.

Selain itu, ia juga masih harus mencari solusi terkait nasib-nasib pemain seperi Pogba, Jesse Lingard, Andreas Pereira, Phil Jones, dan juga status Odion Ighalo kedepannya. Belum lagi membuat para pemainnya bisa bermain di banyak taktik mengingat Ole ini sebenarnya kaya akan strategi dan formasi di atas lapangan.

Ole pernah menyebut kalau 2020 akan menjadi tahunnya. Ucapan itu mulai ia buktikan dengan torehan 11 pertandingan tanpa kekalahan sebelum kompetisi berhenti karena Corona. Mereka kini berpeluang masuk empat besar, bertahan di perempat final Piala FA, dan 16 besar Europa League. Sebuah pencapaian yang menjadi sinyal kalau United pelan-pelan sudah ada di jalur yang benar meski mereka masih inkonsisten.