Foto: Amazon.com

Mendapat kesuksesan merupakan harapan bagi setiap pemain ketika tiba di tempat yang baru. Akan tetapi, tidak semua pemain bisa mendapatkan hal tersebut. Salah satu yang kurang beruntung adalah mantan legenda United, Sammy Mcllroy.

Pada tahun 1969, Sammy Mcllroy menciptakan sejarah bagi dirinya dan juga Sir Matt Busby. Ia saat uty menjadi rekrutan terakhir Sir Matt sepanjang sejarahnya melatih Setan Merah. Pencapaian yang jelas luar biasa karena Sammy saat itu baru berusia 15 tahun.

“Menjadi pemain profesional terakhir (Matt Busby) adalah kehormatan besar bagi saya. Orang-orang mengingat saya karena momen ini dan dia adalah salah satu manajer yang fantastis,” kata Sammy.

Bermain bagi Manchester United tentu menjadi sebuah kebanggaan. Apalagi klub tersebut adalah salah satu tim terkuat di Inggris dan baru saja menjadi juara Eropa setahun sebelum ia datang. Akan tetapi, Sammy bisa dibilang kurang beruntung pada saat itu. Ia memang direkrut Busby, namun debutnya bermain untuk tim utama baru datang dua tahun kemudian saat Busby sudah diganti oleh Frank O’Farrell.

Kondisi United pun sudah jauh berbeda. Mereka memang masih punya trio Best-Law-Charlton, namun magis ketiganya sudah tidak sedahsyat beberapa tahun sebelumnya. Lepas dari menjuarai titel Piala Champions, United bahkan terjun bebas di liga dan finis pada posisi ke-11.

Era 70-an adalah masa-masa paling sulit Manchester United sebagai sebuah klub. Kehilangan Matt Busby memberikan pukulan telak bagi mereka sehingga membuat tim ini sulit kembali ke habitatnya sebagai tim papan atas. Beberapa pilar seperti Bobby Charlton dan Denis Law sudah memasuki usia 30-an. George Best mulai sering bermasalah dengan kebiasaannya mabuk-mabukan. Transisi ini yang sangat menyulitkan United pada saat itu.

“Ketika saya masuk pertama kali ke klub ini, ada perasaan fantastis bagi saya karena mereka baru saja menjadi juara Eropa. Suasana tim juga sedang bagus karena mereka punya George Best, Denis Law, Charlton, Paddy Crerand, Brian Kidd. Mereka semua pemain hebat.”

“Tapi, ketika melihat pemain tersebut sudah berada di akhir karier mereka, maka hal-hal yang salah akan datang. Itulah yang terjadi pada awal 70-an. Beberapa sudah harus pensiun, Best sudah mulai keluar jalur, bagaimana bisa Anda mengganti Best, Law, dan Charlton dalam satu kali kesempatan?” kata Sammy.

Titik terendah mereka sudah pasti ketika terdegradasi pada 1973/1974. Saat itu adalah musim ketiga Sammy sebagai penggawa United. Sebuah pencapaian yang tentu saja dihindari oleh setiap pemain sepakbola yang ada. Ia sendiri menyebut kalau momen itu adalah momen tersulitnya sebagai pemain Manchester United.

“Sulit melihat fakta kalau United, yang belum lama menjuarai Piala Champions Eropa, tiba-tiba Anda menemukan diri Anda sedang main di klub divisi dua. Sulit menjadi pemain United saat itu. Para penggemar bertanya-tanya apa yang sedang terjadi. Sulit bagi kami saat itu, karena orang-orang bertanya apa yang terjadi dengan klub mereka,” kata Sammy.

Sammy belum bisa lupa momen ketika ia harus terdegradasi bersama United. Dalam laga derby melawan Manchester City di Old Trafford, dia bermain di lini depan bersama Lou Macari. Sayangnya, mereka tidak bisa mencetak gol. Apes, United kalah 0-1 karena gol dari Denis Law yang saat itu sudah bergeser ke sisi biru muda Manchester.

“Titik terendah dalam semua karier kami, terdegradasi bersama Manchester United. Anda tidak pernah menyangka kalau klub seperti itu bisa degradasi. Sepanjang musim panas, kami masih sulit menerima kejadian itu. Orang-orang memanggil kita lalu menyebut kalau kami telah membuat aib kepada klub mereka,” ujar Sammy menambahkan.

Yang menarik, Sammy justru menjadi bintang United ketika mereka bermain di Divisi Dua. Ia mengumpulkan 51 penampilan dan mencetak 10 gol. Ia menjadi pencetak gol terbanyak keempat bagi klub setelah Macari, Stuart Pearson, dan Gery Daly. Usianya saat itu baru menginjak 20 tahun.

Sammy tidak berjodoh dengan Busby. Permainan terbaiknya justru muncul saat United sudah bergonta ganti pelatih dari Busby, O’Farrell, Tommy Docherty, Dave Sexton, dan Ron Atkinson. Meski begitu, ia beruntung bisa mengenal sosok yang meninggal dunia pada 1994 tersebut karena telah membawanya masuk ke Manchester United. Tidak hanya itu, direkrutnya dia pada usia muda menandakan kalau talentanya begitu bernilai di mata Busby meski usianya masih sangat muda.

“Hanya sedikit waktu yang bisa saya rasakan bersamanya. Ketika usia 16 tahun, ia menjadikan saya sebagai pemain tim utama dalam laga persahabatan. Ia adalah manajer hebat dan saya senang menjadi pemain terakhir yang ia datangkan.”

“Matt sering berbicara tentang Busby Babes. Ia biasa berkata ‘jika kamu cukup baik, maka tidak menjadi soal berapa umurmu’ dan itu yang ditanamkan kepada saya. Bukan semata-mata tentang usia, tapi tentang temperamen dan kemampuan. Jika Anda cukup baik, maka Anda bisa ke tim utama,” lanjutnya.

Beruntung bagi dirinya karena United hanya bertahan satu musim di Divisi Dua. Mereka langsung promosi dan tidak pernah lagi turun divisi hingga sekarang. Sayangnya, degradasi memberikan luka yang sulit dihapus dalam benak Sammy. Bahkan ketika usianya sudah 65 tahun.

“Situasi yang kami alami sangat sulit. Kami memenangi beberapa pertandingan, lalu segalanya menjadi mimpi buruk. Ketika Anda melihat kembali ke belakang, pikiran saya langsung berpikir kalau ‘Manchester United tidak boleh turun’. Mereka adalah klub besar yang punya sejarah fantastis. Kejadian degradasi itu adalah mimpi buruk,” katanya.

Sammy mungkin lega karena saat ini masa trasisi United setelah ditinggal Sir Alex Ferguson tidak terlalu mengerikan jika dibandingkan dengan zamannya saat masih bermain dulu.