Foto: Goal.com

Ketika menyebut nama Roy Carroll, ingatan para penggemar Manchester United akan langsung mengarah ke tanggal 4 Januari 2005. Saat itu, ia melakukan kesalahan konyol yang membuat namanya “dikenang” oleh pendukung Setan Merah hingga saat ini.

Ketika itu, United bermain imbang 0-0 melawan Tottenham Hotspur. Pada sebuah momen, sapuan bola dari pemain Spurs mengarah ke Robbie Keane yang sukses memenangi duel udara melawan Jonathan Spector. Akan tetapi, bola justru mengarah ke pinggir lapangan. Laju bola yang pelan kemudian dikejar oleh Carroll yang ingin menjauhkan bola tersebut. Apes, tendangannya terlalu pelan.

Bola mengarah ke Pamarot yang menendang bola itu ke lini pertahanan United. Dengan sembrono, Mikel Silvestre justru menyundul bola ke arah Pedro Mendes yang langsung menendang bola ke gawang. Saat itu, Carroll terlambat untuk kembali ke sarangnya. Dengan posisi berdiri yang tidak sempurna, Carroll menanti datangnya bola dengan melakukan tangkapan. Sayangnya, tangkapan Carroll tidak sempurna dan bola melewati garis gawang.

Beruntung bagi United karena gol tidak disahkan oleh Rob Lewis, sang asisten wasit. Begitu juga dengan Mark Clattenburg yang posisinya cukup jauh sehingga tidak bisa berbuat apa-apa. United benar-benar dinaungi dewi fortuna karena setidaknya membawa pulang satu poin. Namun, Spurs merasa kalau kemenangan mereka dirampok oleh wasit. Sementara bagi Carroll, kejadian tersebut tidak akan bisa ia lupakan sampai kapanpun.

“Saya masih ingat kejadian itu dengan sangat baik. Momen bodoh dari seorang penjaga gawang. Saya sebenarnya ingin menangkapnya lalu melempar bola ke Gary Neville alih-alih mengawasi bola yang datang ke dadaku,” katanya dalam Podcast United.

“Saya selalu berkata untuk bereaksi terhadap apa pun. Saat bola melewati bahu saya, saya masih bereaksi dan mencegahnya melewati garis, yang sangat fantastis bagi saya. Hal terburuk adalah ketika saya pindah ke West Ham. Saat itu, saya tinggal di Chigwell. Yang tidak saya sadari adalah tempat latihan Spurs berada di ujung jalan. Jadi, saya begitu terpukul saat pindah ke sana. Itu adalah mimpi buruk,” kata Carroll.

Carroll menyebut kalau perjalanan dia ke ruang ganti setelah pertandingan merupakan perjalanan terpanjang yang pernah ia alami. Perjalanan yang penuh dengan kegelisahan. Media sudah pasti akan menjadikan aksi konyol Carroll sebagai headline. Di ruang ganti, Carroll juga takut akan mendapat hair dryer treatment dari Sir Alex Ferguson. Namun, apa yang ia takuti tidak terjadi. Dewi fortuna saat itu benar-benar sedang memihak Carroll.

“Saya bilang kepada bos kalau saya tidak berkonsentrasi. Tapi dia malah bilang kalau reaksi saya bagus. Saya berpikir kalau saya akan mendapat hair dryer treatment. Namun saya sebenarnya tidak pernah melihat treatment itu sehingga saya tidak bisa bicara banyak,” katanya.

Mantan penggawa timnas Irlandia Utara ini sebenarnya bukan penjaga gawang yang buruk. Ia memang hanya bermain 72 kali, namun setidaknya ia punya kontribusi untuk membawa United juara Premier League 2003 dan Piala FA 2004. Bahkan pada musim terakhirnya, ia membawa Setan Merah kembali ke final Piala FA. Sayang, citranya sudah buruk akibat kesalahan melawan Spurs tersebut.

Orang-orang berkata kalau saya banyak melakukan kesalahan, terutama ketika melawan Spurs. Tapi pada akhirnya, gol itu tidak disahkan sehingga kami bermain imbang 0-0,” ujarnya.

Cedera, Depresi, dan Alkohol

Carroll boleh saja mendapat nasib baik ketika melawan Spurs dan ketika bermain untuk United. Namun setelahnya, nasib baik tersebut tidak kunjung datang lagi. Sebaliknya, cobaan bertubi-tubi justru datang kepada mantan pemain Derby County ini.

Ia mengalami depresi yang membatnya ketergantungan terhadap alkohol. Semua karena kariernya yang berjalan kurang baik bersama West Ham United. Ia mengalami cedera yang membuatnya absen hingga dua bulan. Selain itu, ia juga diterpa masalah keuangan. Sayangnya, cara Carroll melepaskan kegelisahannya justru dengan menenggak minum-minuman keras yang membuat kondisi fisiknya semakin memburuk.

“Saya cedera dan diminta untuk mengambil cuti dua bulan. Jadi, rutinitas saya hanya bangun jam 10 lalu minum. Makan siang, minum. Bahkan saat minum teh, saya juga minum. Istri dan anak saya berusaha membantu saya tapi saya tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Carroll.

Sebenarnya, Carroll memiliki istri yang begitu perhatian kepadanya. Sang istri membawanya ke rehabilitasi. Begit juga dengan agennya. Sayangnya, perhatian itu tidak dimaksimalkan dengan baik olehnya. Rehabilitasi yang sudah berjalan baik justru rusak karena Carroll memilih untuk kembali masuk ke lubang yang sama. Sulitnya mengubah perilaku sang suami membuat sang istri sempat meninggalkannya.

“Saya menjalani rehabilitasi selama enam hari. Lalu saya kembali dan tidak minum lagi selama seminggu. Namun seminggu berikutnya, saya minum-minum lagi,” katanya.

“Saya bangun dan melihat ke cermin dan saya tidak tahu siapa saya. Saya tidak kenal diri saya sendiri. Saya kehilangan semuanya. Saya kehilangan keluarga dan kehilangan sepakbola. Saya juga berpikir kalau saya akan kehilangan hidup saya karena hobi minum saya.”

Momen itulah yang kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidup Roy Carroll. Pelan-pelan ia berhasil mengurangi kebiasaannya untuk minum. Meski begitu, ia masih berusaha untuk melawan depresi yang terkadang masih muncul di dalam pikirannya.

“Saya masih melawan depresi hingga saat ini. Saya tidak akan berkata kalau saya tidak depresi. Saya sesekali masih depresi ketika Anda hanya duduk dan memikirkan banyak hal. Ini semua tentang pikiran buruk yang ada dalam diri Anda,” kata Carroll.

Gangguan mental memang menjadi salah satu penyakit yang kerap menyerang para pemain sepakbola. Berbeda dengan cedera fisik, cedera mental sulit sekali dideteksi. Bahkan beberapa tokoh sepakbola berani mengakhiri hidup akibat sulit menahan depresi yang ia derita. Sebut saja Robert Enke dan Gary Speed yang meninggal dunia dengan cara bunuh diri pada 2009 dan 2011 lalu.