Foto: Sportstar.thehindu.com

Bertambahnya usia Steve Bruce dan Gary Pallister membuat Sir Alex Ferguson harus mencari sosok pemain belakang baru yang bisa menggantikan kedua pilar kokoh tersebut. Kedua pemain ini memberikan standar tinggi bagi lini belakang United mengingat mereka adalah kunci dari keberhasilan klub meraih delapan gelar di semua kompetisi domestik sejak 1992/1993 hingga 1995/1996.

Bruce menjadi yang pertama pergi pada 1996, sedangkan Pallister masih bertahan hingga 1998. Setelah itu, ia kembali ke Middlesbrough. Rentang dua musim ketika pasangan ini benar-benar berpisah dengan Manchester United, Sir Alex Ferguson sudah mengambil ancang-ancang dengan merekrut dua pemain belakang. Salah satunya adalah Ronny Johnsen.

“Dengan perginya Steve Bruce dan cederanya Gary Pallister, kami melihat Johnsen sebagai pemain yang bagus di lini belakang,” kata Martin Edwards.

Ronny Johnsen sebenarnya bukan pemain belakang papan atas. Ia dibeli dari kesebelasan Turki yaitu Besiktas ketika ia baru menjalani musim pertamanya di sana. Sebelumnya, karier sepakbola Johnsen lebih banyak dihabiskan di Norwegia, negara asalnya, bersama klub-klub yang asing di telinga seperti Eik-Tonsberg, Lyn, dan Lillestrom.

Selain itu, posisi bek tengah saat itu belum terlalu lama ditempati oleh Johnsen. Saat masih bermain di Eik dan Lyn, Johnsen adalah seorang penyerang. Meski begitu, hal tersebut tidak mengurungkan niat Sir Alex untuk membawa Johnsen ke Inggris.

Ketika Johnsen memasuki setengah musim keduanya di Turki, Fergie sudah langsung mendekati si pemain. Sayangnya, keinginannya saat itu ditolak. Johnsen tidak mau meninggalkan Besiktas di tengah-tengah musim karena ingin menghormati timnya saat itu. Ia pun menolak tawaran Ferguson.

“Agen saya menelepon dan berkata, ‘Apakah Alex Ferguson boleh menelepon Anda?’ Saya hanya berkata ya dan saya hanya memikirkan apa yang harus saya katakan. Pada saat itu, dia adalah manajer terbesar. Saya tidak tahu harus berkata apa, tetapi ketika dia memanggil saya, dia hanya berkata: ‘Apakah Anda ingin datang? Kami ingin mengontrak Anda,” tuturnya kepada United Podcast.

“Kami berbicara lebih jauh, dan saya merasa kalau pergi di tengah musim bukan hal yang tepat. Rasanya seperti meninggalkan tim Anda di belakang. Jadi kami sepakat, kalau dia akan datang lagi kepada saya setelah musim. Anda tidak pernah tahu, jujur, tapi untungnya dia datang setelah musim berakhir dan saya akhirnya ke United.”

Beruntung bagi Johnsen karena Ferguson benar-benar menepati janjinya untuk datang. Penolakan pada setengah musim sebelumnya ditakutkan telah membuatnya tersinggung dan mengalihkan pandangannya ke pemain belakang lain. Ada kekhawatiran dalam benaknya jika itu akan terjadi meski pada akhirnya, hal itu tidak menjadi kenyataan.

“Saya merasa dia mengerti dan mungkin dia melihatnya sebagai hal yang terhormat. Tapi kamu tidak pernah tahu. Saya ingat waktu itu saya menyaksikan laga United dan mereka memiliki pemain belakang Prancis bernama William Prunier,” katanya.

Prunier sendiri adalah salah satu pemain belakang yang diberikan kesempatan trial di United oleh Sir Alex Ferguson ketika ia gagal mendapatkan Johnsen. Akan tetapi, garis takdir tampaknya memihak Johnsen. Prunier hanya bermain dua laga setelah penampilan keduanya ketika melawan Tottenham Hotspur berakhir kacau. Fergie akhirnya benar-benar mendapatkan Johnsen pada musim panas 1996 dengan nilai 1,2 juta pounds. Angka termahal untuk pemain belakang Norwegia.

“Saya sudah berpengalaman, jadi saya tidak merasakan tekanan apa pun. Kami juga melakukan pekerjaan yang sangat baik bersama tim nasional Norwegia sehingga saya tidak pernah lagi merasakan tekanan,” tutur Johnsen.

Tekanan bagi Johnsen justru datang dari ruang ganti timnya sendiri. Ada ketakutan ketika ia akan satu ruangan bersama pemain seperti Roy Keane, Peter Schmeichel, Gary Pallister, dan David Beckham. Beruntung, saat itu United membeli tiga pemain lain yang salah satunya adalah rekan senegara Johnsen, Ole Gunnar Solskjaer.

“Karel (Poborsky), Jordi (Cruyff), Raimond (van der Gouw) dan Ole datang. Saya bermain bersama Ole di tim nasional sehingga kami sudah saling kenal. Pertama kali saya bermain melawan Ole terjadi saat saya masih bermain untuk Lillestrom. Pada saat itu, kami akan melawan Molde yang memiliki tim dengan tiga ‘S’ di depan yaitu Solskjaer, Stavrum, dan Sundgot. Mereka mencetak banyak gol dan saya terheran-heran dengan mereka.”

“Ole juga mencetak gold an ketiga orang ini bermain sangat bagus. Saya tidak ingat hasilnya, tapi saya ingat Ole mencetak gol, jadi saya sangat terkejut. Kami kemudian bermain di tim nasional setelah And melihat kemampuan dan kualitasnya.”

Mentalitas Johnsen memang luar biasa. Pindah ke liga yang lebih besar, adaptasinya berjalan sangat mulus. Ia langsung dipercaya bermain sebanyak 42 penampilan pada musim pertamanya. Puncak dari karier seorang Johnsen terjadi pada musim 1998/1999 ketika ia berpasangan dengan Jaap Stam. Kombinasi keduanya memberikan rasa aman bagi lini belakang United dan menjadi faktor terbesar mereka meraih treble winners.

“Tim saat itu benar-benar luar biasa dan menjadi bagian dari mereka juga sangat luar biasa. Kami punya manajer terhebat, suporter terhebat, dan spirit tim yang luar biasa pada waktu itu,” ujarnya.

Setelah meraih enam gelar pada tiga musim pertamanya, Johnsen menambah dua gelar lagi bersama Setan Merah yang keduanya adalah gelar Premier League. Setelah bermain selama 150 pertandingan, ia kemudian hijrah ke Aston Villa menyusul kedatangan bek muda yang juga memecahkan rekor transfer termahal, Rio Ferdinand.