Di sebuah apartemen kecil yang terdapat di pinggiran Roissy-en-Brie, kota kecil di sebelah timur Paris, Fassou Antoine Pogba sedang melihat halaman depan salah satu media ternama yang menampilkan foto anaknya, Paul. Ia juga merenungkan hidupnya sebagai ayah dari pesepakbola termahal sejagat raya.

“Jika klub itu tidak berpikir ia pantas untuk uang sebesar itu,” kata Fassou, “Mereka tidak akan pernah mengeluarkan uang sebesar itu.”

Begitulah sedikit kutipan dari ayah seorang Paul Pogba yang selalu mendukung mantan pemain Juventus itu sejak kecil. Sepertinya tidak ada ayah yang tidak senang melihat anaknya mencapai sebuah kesuksesan, termasuk Fassou. Melihat anaknya menjadi pemain penting bagi klub besar dan timnas jelas menjadi kebanggaan tersendiri. Apalagi, ia juga berjasa dalam mendidik Pogba sehingga bisa menjadi pemain berkualitas.

Bagi Pogba sendiri, dukungan keluarga adalah segalanya. Ia merasa bahwa keluarganya memiliki peran penting dan sangat membantunya sehingga ia bisa sukses menjadi pesepakbola terkemuka saat ini. “Keluarga saya selalu membantu saya. Saya memiliki orang di sekitar saya di mana mereka selalu mendorong saya untuk menjadi yang terbaik, ayah saya, ibu saya,” imbuh pemenang European Golden Boy 2013 itu pada sebuah acara yang diselenggarakan oleh Adidas.

Perihal orangtuanya, Fassou pernah menjadi pemain sepakbola sebelum akhirnya menjadi pelatih, meskipun memang tidak berada di level yang tinggi, namun ia menginginkan anaknya bisa mencapai level tertinggi dalam dunia sepakbola.

“Saya bermain pada level di bawah yang saya inginkan. Saya ingin anak-anak saya (Pogba dan kedua kakanya) bermain di level tertinggi. Saya sangat keras kepada mereka sejak kecil dan bertujuan agar mereka bisa belajar dengan cepat. Akhirnya saya bisa melakukan itu ketika saya melatih anak-anak lain agar saya bisa memberi Paul pengalaman bertanding saat ia masih empat, lima, dan enam tahun. Saya berusaha untuk membawa dia ke level di mana ia seharusnya berada.”

Sementara itu, Pogba merasa ibunya, Yeo, berperan penting juga dalam perjalanan kariernya. Pemain yang lahir pada 15 Maret 1993 itu merasa tidak akan bisa mencapai level seperti sekarang ia berada jika tidak mendapat dukungan dari keluarganya, lebih spesifiknya adalah ibunya.

“Saya rasa ia sudah mengetahuinya sebelum kami semua menjadi pesepakbola. Dia adalah segalanya. Saya selalu bersamanya karena saya anak termuda. Semua yang terjadi saat ini, dia sangat pantas untuk itu,” imbuh Pogba.

Selain dukungan keluarga, ia merasa kesederhanaan dalam hidupnya juga memberi dampak positif bagi kariernya sekarang. Pogba lahir di ibukota Prancis, Paris, tapi ia tumbuh dalam lingkungan yang sederhana. Ia tinggal di flat kecil bersama orangtuanya, dua kakak laki-lakinya, dan sepupunya. Kakaknya, Florentin dan Mathias, sudah lebih dulu menggeluti dunia sepakbola. Mereka mendapat jalan ke sana ketika ayahnya masih menjadi pelatih sepakbola.

“Saya tumbuh di sebuah flat bersama kakak dan sepupu saya. Saya tidur di kasur yang sama dengan kakak saya. Itu tidak mudah sehingga Anda ingin melakukan sesuatu yang dapat membuat hidup Anda berubah,”ujar Pogba.

Pogba dengan cepat mencatatkan namanya sebagai pemain muda di sebuah tim lokal, US Roissy-en-Brie, ketika ia berumur enam tahun. Ia menghabiskan tujuh musim di sana sebelum bergabung dengan US Tarcy di mana ia dipercaya menjadi kapten. Pemain keturunan Guinea itu hanya menghabiskan setahun bersama US Tarcy. Ia pindah ke klub profesional pada 2007, Le Havre. Dua tahun berselang, ia bergabung dengan akademi Manchester United.

Setelah dua musim menjadi pemain akademi United, Pogba mulai merangkak naik ke tim Reserve dan akhirnya bergabung bersama tim utama. Pogba mencatatkan debutnya ketika United mengalahkan Leeds di ajang Piala Liga pada 19 September 2011. Pogba yang saat itu berusia 18 tahun masuk setelah pergantian babak.

Kurangnya menit bermain membuat Pogba hengkang ke Juventus pada 2012. Kepergiannya itu memberikan banyak pelajaran sehingga ia bisa menjadi pesepakbola berkelas seperti saat ini. Menjalani empat musim di Italia, Pogba kembali ke Old Trafford dengan status pemain termahal dunia.

Bagi pesepakbola, perkembangan karirnya tergolong cepat. Menurut Pogba sendiri, sepakbola adalah fokus utamanya. Ia tidak pernah membiarkan apapun mengganggu persepakbolaannya, tidak terkecuali hubungan asmara.

“Saya tidak pernah tergila-gila dengan perempuan. Hanya sepakbola. Saya menikmati sepakbola sepanjang hidup saya. Saya selalu bermain sepakbola di jalanan dekat flat saya. Saya ingin menjadj pesepakbola profesional. Itu adalah tujuan saya. Saya tidak ingin menjadi yang lain selain pesepakbola,” tutur pengoleksi empat gelar Serie A itu.

Tapi ia juga memiliki ketertarikan terhadap hal lain. Pogba mengakui hal yang ia paling sukai adalah musik, setelah sepakbola tentunya. Ia merasa musik dapat mengeluarkannya dari tekanan besar kala bermain sepakbola.

“Saya menyukai rap, R&B, dan musik Afrika. Saya mendengarkan itu semua di mobil saya dan di manapun. Musik dapat membuat saya senang dan kita memang harus selalu senang dalam hidup kita. Saya mencoba hal lain karena saya berlatih setiap hari sehingga anda harus memikirkan sepakbola. Jadi terkadang memikirkan hal lain adalah hal yang baik.”

Terlepas dari performanya yang belum maksimal, ia tetap pantas diberi apresiasi tinggi jika melihat sisi lainnya tersebut. Kecintaannya terhadap keluarga, fokusnya terhadap sepakbola, dan caranya menangani tekanan di sepakbola adalah hal-hal lain yang melengkapi kerja kerasnya dalam mencapai tujuannya menjadi pesepakbola profesional. Dan itu memang benar-benar berarti bagi seorang Paul Labile Pogba.