Foto: The Times

“Your job now is to stand by your new manager.” Begitu kata Sir Alex Ferguson setelah menjalankan pertandingan terakhirnya di Old Trafford. Pidato yang disambut gemuruh semangat oleh para suporter United. Gemuruh yang menandakan kalau kita semua sebagai pendukung siap berada di belakang manajer United pada situasi apa pun.

Namun, sembilan tahun berlalu ucapan tersebut tampak hanya masuk kuping kanan keluar kuping kiri. Kita hanya bisa manggut-manggut ketika mendengar kutipan tersebut tapi jari kita tetap terus mengetik #Out tanpa sadar.

Musim 2022/23 menjadi kali kelima kita diminta untuk stand by kepada manajer yang baru. Apakah kali ini suporter dan manajemen bisa melakukannya? Jawabannya ada pada hasil akhir yang akan dijalani oleh Erik ten Hag. Ia harus bisa membawa United tampil bagus karena ia dikejar oleh waktu.

Hanya dengan kemenangan dan gelar juara saja ia bisa membawa suporter United dan manajemen berada dalam satu suara yang sama. Jika tidak, maka akan ada segelintir orang yang akan membencinya dan mulai menyerangnya seperti yang menimpa empat manajer permanen sebelumnya.

Jonathan Northcroft dari The Times berkisah mengenai apa saja gejolak yang dihadapi manajer United sejak Fergie pensiun. Kali ini, ia berkisah soal Jose Mourinho. Sosok yang sukses memberi gelar tapi ternyata bernasib sama seperti pemain lainnya.

Jose Mourinho

Kaget. Itulah awalan yang dirasakan oleh Jose Mourinho ketika masuk ke Manchester United. United saat itu menjadi tim yang ia rasa begitu kuno, terlalu berbelit-belit dalam hal birokrasi, dan penuh dengan kejutan besar. Salah satu kejutan yang ia terima adalah ketika melihat banyak pemain yang merasa nyaman dengan status tim yang gagal menang. Singkatnya, para pemain ini akan gembira kalau dapat gelar tapi akan merasa  biasa-biasa saja kalau tidak menjuarai apa-apa.

Mourinho pun langsung menceritakan kepada koleganya kalau tantangan membawa trofi ke United adalah perbuatan yang lebih sulit ketimbang menghidupkan kembali gairah pemenang dalam skuad ini.

Banyak kejutan lain yang diterima Mourinho. Seorang pelatih karismatik, yang dikenal gemar membawa tim juara, harus mendapat fakta kalau salah satu pemain kuncinya tidak bisa menjalani hidroterapi di luar jam di kolam rehabilitasi Carrington karena tidak ada penjaga pantai yang tersedia untuk mengawasi sesi. Sebuah hal yang remeh-temeh untuk tim sekelas Manchester United tapi gagal dijalankan.

Manajemen tim United bisa dibilang banyak melakukan hal-hal absurd ketika Mourinho memimpin. Ia tidak diizinkan untuk memakai gym United setelah jam kerja tanpa pengawasan yang ketat. Saat ia ingin mengganti meja di kantornya, atau menghadiahkan jersey bertanda tangan kepada tamu, itu semua harus disetujui oleh petinggi klub atau Glazer Family. Singkatnya, setiap pengeluaran harus dilihat dulu oleh pemilik.

Sebenarnya bukan hanya Mourinho yang terkejut. Ibrahimovic juga. Kita tidak bisa lupa komentarnya yang mengatakan “Semua orang berpikir United adalah klub top, klub kuat di dunia. Itu semua hanya yang terlihat dari luar. Ketika di dalam, tim ini adalah tim dengan mentalitas kecil ayng tertutup.”

Ibrahimovic juga jadi korban seperti Mourinho. United akan selalu memotong gajinya satu pounds ketika Ibra ingin minum jus buah. Yang lucu, Ibra akan selalu diminta menunjukkan surat-surat hanya untuk masuk Carrington. Sesuatu yang membuat dirinya kesal.

“Saya selalu menurunkan jendela saya dan berkata kepada orang yang menjaga gerbang: ‘Hei, kawan. Saya datang ke sini setiap hari dalam sebulan. Saya adalah pemain terbaik di dunia. Jika Anda tidak kenal saya, maka Anda yang salah pekerjaan,” kata Ibra.

Departemen medis adalah sektor yang tidak mau kalah untuk memberikan cerita konyolnya. Sektor ini akan memberi saran tingkat kelelahan pemain hanya berdasarkan kuesioner tidur yang dijawab para pemain. Data dari GPS bahkan meminta si pemain untuk santai dalam sesi latihan. Sesuatu yang tidak dikonsultasikan dulu oleh staf pelatih.

Ini semua karena orang-orang yang ditunjuk oleh manajemen klub adalah orang-orang yang kurang berpengalaman dan terlalu percaya diri. Termasuk dalam hal rekrutmen. Sebelum Mourinho datang, manajemen kehilangan kesempatan untuk mendatangkan John Stones dan Renato Sanches karena terlalu ragu.

Dengan situasi seperti ini, Mourinho masih sanggup memberi dua trofi, tanpa menghitung Community Shield. Pada tahun berikutnya, United menjadi runner-up Premier League, meski 19 poin di belakang City.

Wajar apabila Mourinho berkata kalau posisi kedua di United adalah sebuah kesuksesan jika melihat cerita-cerita aneh yang ia rasakan.

Pada musim ketiga, segalanya berakhir. Dua kekalahan dari tiga laga awal membuat Mourinho terancam untuk dipecat. Puncak konflik terjadi saat ia berseteru dengan Pogba. Pogba berkata kalau United harusnya bermain menyerang yang membuat Mourinho menyebut gelandang Prancis tidak lagi menjadi kapten kedua klub.

Belum lagi konfliknya dengan Luke Shaw yang membuat si pemain berkata kalau Anda butuh kulit tebal untuk bermain di bawah manajer ini pada November 2018 lalu. Meski mengklarifikasi dengan menambahkan kalau ia dan pemain lainnya tetap berjuang untuk manajer ini (Mourinho), tim dan klub, tapi tetap saja hubungan baik tidak pernah terjalin mulus.

Beberapa saat setelah kalah 3-1 dari Liverpool, yang menjadi laga terakhir Jose Mourinho, Paul Pogba mengunggah postingan dalam akun instagramnya dengan tulisan “Caption this.” Sebelum akhirnya dihapus dan berkilah kalau itu semua adalah bagian dari promosi Adidas yang merupakan sponsor Pogba.

Pada musim terakhirnya, Mourinho hanya mengumpulkan 26 poin dari 17 pertandingan. Rekor terburuk mereka di liga sejak 1990/91.