Kabar duka datang dari Manchester United. Salah satu mantan pemandu bakat sekaligus pelatih tim akademi mereka, Eric Harrison, meninggal dunia kemarin pada usia 82 tahun. Eric meninggal dunia karena penyakit Demensia yang sudah ia derita sejak 2014 lalu. Kabar meninggalnya Eric menimbulkan kesedihan yang cukup mendalam mengingat dedikasi dan loyalitasnya bersama Setan Merah.
Eric adalah orang yang berjasa atas kesuksesan Manchester United di era kepelatihan Sir Alex Ferguson. Berkat tangan dinginnya sebagai pelatih tim akademi saat itu, United menelurkan beberapa pemain yang kemudian menjadi tulang punggung kesebelasan yang kemudian akrab dengan nama Class of 92.
“Kontribusi Eric tidak hanya untuk United, tetapi sepakbola. Itu adalah hal yang luar biasa. Saat saya datang ke Manchester United pertama kali, saya beruntung karena Eric ada di sana sebagai kepala pengembangan tim muda. Kerja hebatnya tidak hanya soal Class of 92, tetapi juga pemain muda lainnya,” kata Sir Alex Ferguson.
Eric memang lebih dulu ada dibanding Ferguson. Dia sudah bekerja di tim ini sejak 1981 atau saat tim ini masih ditangani oleh Ron Atkinson. Norman Whiteshide adalah salah satu pemain didikan Eric yang berhasil masuk ke tim utama dan sukses menjadi pilar penting Setan Merah.
Ketika Sir Alex masuk pada 1986, sosok Eric adalah orang yang pertama kali dicari olehnya. Bersama Eric, Fergie langsung membicarakan soal rasa tidak puasnya terhadap kinerja Eric yang menurutnya biasa-biasa saja. Fergie saat itu memberikan ultimatum kepada Eric agar bisa membuat akademi United menelurkan lebih banyak lagi pemain yang layak masuk ke tim utama, tidak hanya satu-dua pemain saja seperti sebelumnya. Eric kemudian berjanji asalkan Sir Alex juga memberikan pemain muda untuk kemudian diasah oleh Eric.
“Saya orangnya agak sensitif. Karena saya merasa dia (Ferguson) meremehkan saya. Jadi saya memberikan Norman Whiteshide dan dua pemain lainnya yang akan masuk tim utama. Tapi dia ingin lebih. Dia ingin melakukannya seperti di Aberdeen,” tutur Harrison pada 2001 lalu.
Seiring berjalannya waktu, Eric sukses meningkatkan standar akademi United. Apa yang diinginkan Ferguson pun perlahan-perlahan terpenuhi. Sampai akhirnya mereka mendapatkan rombongan pemain yang disebut-sebut sebagai generasi emas sepanjang sejarah Manchester United atau yang lebih dikenal sebagai Class of 92.
Nama-nama seperti Ryan Giggs, David Beckham, Paul Scholes, Nicky Butt, dan Neville bersaudara adalah pemain yang membawa klub ini menuju sejarah yang nampak sulit untuk diulang dalam waktu yang lama. Mereka semua adalah hasil tempaan seorang Eric di lapangan kumuh bernama The Cliff.
Enam pemain tadi adalah sebagian kecil dari kesuksesan Eric mengembangkan akademi. Nama lain seperti John O’Shea, Wes Brown, dan Darren Fletcher juga tidak bisa dilupakan. Jangan pula abai dengan pemain bertalenta lainnya yang kariernya tidak sampai ke tim utama seperti Robbie Savage, Keith Gillespie, Graeme Hogg, dan Danny Wallace. Sesuatu yang sangat tidak disukai oleh Eric.
“Eric adalah orang yang peduli dengan siapa saja. Tidak hanya mereka yang suksesa bersama United, tapi juga dengan mereka yang gagal. Ia pernah mengatakan kalau salah satu momen paling berat adalah melepas para pemain hebat yang tidak mendapat kontrak profesional,” kata Vicky, anak Eric.
Pribadi Eric tidak jauh berbeda dengan Sir Alex. Mereka adalah sosok yang kompetitif dan selalu ingin menang. Meski metode latihan yang ia pakai adalah “10 persen menendang bokong, 90 persen merangkul” namun hal itu tidak menandakan kalau Eric adalah orang yang ramah dalam melatih pemainnya.
“Saya benci pemain sepakbola yang tidak memberikan 100 persen untuk klubnya,” ujarnya bertahun-tahun yang lalu. “Para pemain sepakbola sekarang harusnya berlutut dan bersyukur. Hal itu membuatku marah ketika beberapa pemain banyak mengeluh dan mengeluh.”
Kerasnya cara melatih Eric diakui oleh Ryan Giggs. Ia pernah mengatakan kalau berlatih bersamanya membuat United seperti barak tentara dengan Eric menjadi sersan mayor. Dia tidak ingin adanya anak emas dalam timnya. Ia juga tidak mau lulusannya hanya punya kemampuan yang setengah-setengah.
“Saat kami kalah melawan tim muda dari Eropa, kami semua akan marah. Tapi Eric, Brian (Kidd), dan Nobby (Stiles) hanya berkata singkat namun mengena; ‘Kalau kalian hanya bisa marah, kapan kamu akan belajar?” kata Gary Neville.
Selain keras, cara melatih pemain ala Eric terkadang terbilang absurd dan sulit ditebak. Ia pernah meminta para pemainnya untuk tidak mengenakan alas kaki selama tiga minggu. Dan disaat salju tebal menutupi lapangan, para pemain tidak disuruh menghabiskan waktu di pusat kebugaran melainkan mengajaknya bermain Rugby.
Namun metode tersebut kerap membuahkan hasil. Paul Scholes adalah salah satunya. Jika tidak ada Eric, maka ia tidak akan menjadi gelandang kelas dunia. Scholes yang berposisi gelandang, kerap diminta menengok ke kanan dan kiri terlebih dahulu sebelum mengirimkan bola kepada rekan setimnya.
Eric begitu keras hanya di dalam lapangan. Di luar lapangan, Eric menjadi sosok yang berbeda. Ia akan menjadi orang yang begitu dekat dan mudah merangkul para pemainnya. Jika pemainnya bermain bagus maka tidak segan-segan dia akan memujinya. Hal inilah yang membuatnya begitu disukai oleh anak didiknya.
“Saat mereka meraih treble, para pemain mencari saya dan merayakan keberhasilan bersama saya. Apakah saya senang? Iya. Tersanjung? Iya. Tetapi saya beruntung karena saya bisa melihat para pemain saya berubah dari anak laki-laki menjadi pria sejati,” ujarnya.
Inilah yang menegaskan kalau Eric dan Sir Alex adalah kombinasi hebat Setan Merah saat itu. Kebetulan wajah keduanya juga sangat mirip. Tidak jarang, Fergie kerap mengutus Eric untuk menggantikannya apabila dia berhalangan hadir di suatu acara karena kemiripan wajah tersebut.
“Jika kamu melihat mereka, katakan kepada mereka kalau saya bilang ‘halo’,” kata Eric menunjukkan kelembutan dan perhatiannya kepada para anak asuhnya. Ungkapan ini yang mungkin membuat beberapa pemain Class of 92 cukup sedih ketika di hari tuanya Eric sudah tidak bisa lagi mengingat wajah para pemainnya dan hanya bisa mengenang melalui ingatannya yang tidak sesempurna dulu.
**
Sama seperti Jimmy Murphy yang membangun United dari puing-puing reruntuhan Munich, Eric juga pantas disebut sebagai pahlawan. Melihat kiprahnya yang luar biasa, nama Eric sebenarnya pantas untuk diabadikan dalam bentuk patung atau menyematkan namanya di tempat latihan pemain akademi atau stadion tempat mereka bertanding.
Tanpa dedikasi, loyalitas, serta profesionalitasnya kepada Manchester United, klub ini mungkin tidak akan menjadi seperti sekarang. Meski sekarang jiwanya sudah kembali ke pangkuan yang maha kuasa, namun senyum Eric pasti akan terus menyertai Manchester United Football Club. Bahkan senyumnya akan semakin lebar ketika ia mengetahui kalau sampai saat ini United masih percaya dengan para pemain akademi.
Selamat Jalan Eric Harrison