Foto: Skysports.com

Setiap memasuki tanggal 6 November, beberapa media pasti akan membahas kisah kedatangan Sir Alex Ferguson ke Manchester United setelah menangani Aberdeen. Tidak ingin terbawa arus, saya justru memilih tanggal tersebut untuk menceritakan kemenangan pertama Ferguson menghadapi Mourinho yang ketika itu masih menangani Chelsea.

Penulis memiliki alasan mengapa tidak ikut-ikutan menulis kisah Ferguson yang sebelum memilih United, sudah didekati terlebih dahulu oleh Arsenal. Selain ingin anti mainstream, penulis sebisa mungkin menahan untuk tidak membahas kisah perjalanan beliau yang nantinya akan menyeret ke perolehan piala yang sudah diraihnya selama lebih dari seperempat abad. Singkatnya, penulis ingin menikmati United tanpa memikirkan lagi kejayaan yang sudah diraih Pria Govan tersebut.

Beberapa waktu lalu, saya menemukan artikel menarik yang ditulis oleh Dion Fanning di kanal Sportsjoe berjudul “How Manchester United Fell to Earth” atau dalam bahasa Indonesia memiliki arti “Bagaimana Manchester United Jatuh ke Bumi”. Pada paragraf terakhirnya, ada sebuah kalimat yang menarik perhatian penulis yang berbunyi, “Lebih dari lima tahun setelah Sir Alex ferguson pensiun, Manchester United masih berusaha menyesuaikan diri dengan dunia yang sekarang bermusuhan dengan mereka.”

Sudah lima tahun realita dunia menjauhi Setan Merah. Setidaknya tercermin dari prestasi mereka yang terus-terusan melorot baik di kompetisi domestik maupun di Eropa. Kita, sebagai penggemar, dipaksa menerima pemandangan yang sebelumnya tidak pernah terjadi di era kepelatihan Ferguson.

Segala realita pahit yang hadir di era post Fergie secara tidak langsung memecah belah para penggemar United, setidaknya itu yang penulis lihat ketika bermain-main di media sosial akun basis fan Setan Merah. Pertikaian antar sesama penggemar United jamak terlihat ketika melihat kolom komentar. Terkadang, mereka yang bertikai berada dalam dua kutub yang berbeda. Kutub susah move on dengan prestasi masa lalu melawan kutub yang berusaha untuk menghapus bayang-bayang sosok Fergie.

Pertikaian tersebut menimbulkan berbagai label yang diberikan lawannya satu sama lain. Yang mencoba move on dari Fergie akan selamanya dianggap sebagai penggemar sok bijak. Sebaliknya, yang menggaung-gaungkan nama Fergie akan dicap sebagai penggemar yang tidak mau bangkit dari kesuksesan masa lalu.

Pengaruh Fergie memang terbilang sangat kuat. Sampai-sampai kesalahan yang pernah ia lakukan semasa melatih tidak pernah dibahas karena tertutupi oleh kesuksesan yang ia raih. Kita seolah lupa kalau Fergie tidak mewarisi identitas apapun kecuali manajer medioker yang kaget ketika ditunjuk menjadi penerusnya. Saat ditanya kenapa memilih Moyes, ia hanya memberikan jawaban yang tidak kalah membingungkan, “karena dia sama-sama dari Skotlandia”.

Para penggemar United justru mendapat jawaban dari Arsenal mengenai bagaimana melepas pelatih yang menangani sebuah klub dalam waktu yang lama tanpa mengalami transisi yang berlarut-larut. Patu diingat kalau Arsenal adalah kesebelasan yang pernah dibobol delapan kali oleh United. Arsene Wenger, yang jumlah gelarnya kalah telak dari Fergie, justru sukses mewarisi identitas dan skuat yang tepat untuk dilanjutkan oleh Unai Emery sebagai penerus.

Sekarang ini, saya melihat kalau para penggemar United sedang dilanda keresahan. Resah kalau kejayaan yang sudah dibangun akan runtuh. Apalagi melihat para rival yang semakin berkembang yang membuat keringat dingin semakin mengucur di dahi mereka. Tetangga makin menggeliat, Liverpool sudah mulai mengancam, sementara United masih dilanda kebingungan untuk mencari pelatih mana yang tepat untuk membawa klub ini kembali berjaya.

Terkadang penulis merasa miris ketika menemukan komentar dari para penggemar United yang sering berkata kalau pelatih A mirip Fergie, atau pelatih B punya DNA United. Tidak salah memang, karena semua orang berhak berpendapat. Akan tetapi, hal ini menandakan kalau selama lima tahun, kita kesulitan menerima orang baru dan hanya bisa menerima sosok Fergie saja yang tepat berada di pinggir lapangan.

Lantas, apakah yang mirip dengan Fergie dan punya DNA United bisa bagus juga layaknya Fergie? Bisa iya, bisa tidak. Namun kalau situasinya terus terulang seperti ini, maka jangan harap United bisa berjaya lagi kedepannya karena penggemar akan selalu merasa pelatih ini tidak cocok karena tidak mirip dengan Fergie.

Miris memang, namun entah kenapa penulis merasa kalau ini momen yang tepat bagi para penggemar United untuk belajar. Belajar bersabar menerima realita kalau United sudah tidak sebesar dulu. Kapan waktu yang tepat untuk berhenti? Entahlah, hanya waktu yang bisa menjawab. Toh, belajar sebenarnya adalah proses yang selalu kita lakukan seumur hidup dan tidak pernah menemui kata akhir.

Keterpurukan ini juga menjadi momen yang tepat untuk melihat mana penggemar yang bisa menerima realita dan mana penggemar yang kerap disebut glory hunter alias penggemar yang hanya mendukung saat timnya berjaya. Tidak salah memang menjadi glory hunter, tapi akan lebih mudah menikmati sepakbola jika kita bisa menjadi penggemar yang tidak hanya merasakan masa-masa kejayaan klub favorit kita, melainkan juga menikmati fase-fase keterpurukan.