Lugas, menjengkelkan, dan tanpa kompromi. Itulah tiga kata yang tepat untuk menilai bagaimana sosok seorang Jose Mourinho. Meski karakternya tidak begitu disukai, namun sifat tadi yang justru membawa dirinya sampai saat ini masih bertahan sebagai salah satu manajer terbaik di dunia. Delapan gelar liga di empat negara berbeda, serta empat titel tingkat Eropa bersama tiga klub berbeda adalah prestasi yang jarang dimiliki oleh manajer lain.

Kadang kita dibuat penasaran, bagaimana seorang Jose Mourinho bisa begitu santai menghadapi pekerjaan di sepakbola yang penuh dengan tekanan terutama pemecatan. Berikut kami tampilkan gaya kepemimpinan Jose Mourinho yang ia pakai selama hampir 24 tahun berkarir di dunia manajerial.

Melepaskan dan Menghindari Tekanan

Jose Mourinho tentu paham bahwa pekerjaan yang ia emban sangat rentan terhadap tekanan. Akan tetapi, ia selalu punya cara untuk melepaskan atau sedikit meredam tekanan yang kerap datang dari manajemen, media, hingga para pendukung yang terkadang tidak suka dengan cara melatihnya.

Musim lalu bisa dijadikan contoh. Mendapat tekanan dari para penggemar atas hasil buruk di Premier League, Mou mampu meredam amarah mereka dengan raihan gelar Europa League yang sepanjang sejarah klub belum pernah diraih. Hal serupa juga terjadi pada musim ini. Meski tertinggal jauh dari Manchester City, namun Jose mampu meningkatkan beberapa aspek yang menurun pasca ditinggal Fergie sehingga membuat para pengkritiknya kebingungan apakah Jose Mourinho berhasil di musim keduanya bersama United.

Mengendalikan Orang Lain

Sepakbola kadang menghadirkan karakter individu yang sulit diterima akal sehat. Salah satunya adalah Jose Mourinho yang dikenal pandai mengendalikan orang lain. The Special One begitu cakap ketika menjalankan tugas ini.

Musim ini, ia pernah berucap kalau dirinya tidak mau menjadi badut yang bertingkah berlebihan di pinggir lapangan. Umpan tersebut tidak ditujukan kepada siapapun namun tiba-tiba diterkam oleh Antonio Conte. Mou mungkin bersikap biasa saja, tetapi di hatinya ia mungkin senang bisa menguasai rivalnya tersebut. Hasilnya, Conte sempat sulit menang setelah perseteruannya tersebut. Selain itu, siapa yang tidak ingat perseteruannya dengan Frank De Boer yang ia sebut sebagai pelatih spesialis kalah tersebut.

Jangan Mau Kalah dengan Media

Sejauh ini sulit untuk mengalahkan Jose Mourinho di depan media bahkan media sendiri pun tidak sanggup. Dikritik habis-habisan, tapi ia selalu bisa menjawab dengan santai. Terkadang ia gelisah, tetapi ia mampu menenangkan dirinya dengan pernyataan yang masuk akal. Hanya pemimpin yang punya nyali saja yang bisa melakukan hal tersebut.

Ketika kalah melawan Sevilla di Liga Champions, banyak pihak yang menyalahkan dirinya. Namun ia berhasil menjawabnya dengan sebuah pernyataa ikonik tentang “Warisan Sepakbola” yang berkisah tentang United yang tidak punya prestasi bagus di Eropa pasca pensiunnya Fergie.

Menyeimbangkan Hubungan

Sepanjang sejarah kepelatihannya, banyak pemain yang pernah berkonflik kepada Jose Mourinho. Akan tetapi, tidak sedikit yang menyukai gayanya ketika menangani sebuah kesebelasan. Ia selalu berusaha untuk membuat para pemainnya tidak boleh lebih besar dari otoritasnya.

Meski demikian ia adalah orang yang bisa diajak menjadi sahabat. Didier Drogba memanggilnya dengan sebutan Ayah, Ibrahimovic memujinya setinggi langit, Marouane Fellaini begitu hormat kepadanya. Akan tetapi, itu semua harus didasari oleh kesungguhan si pemain dalam menjalankan perintahnya. Apabila para pemain tersebut selalu menampilkan permainan terbaik dan tidak pernah malas-malasan maka ia tidak segan-segan untuk memberinya pujian. Itulah yang ia lakukan kepada Scott McTominay dan Ashley Young di musim ini.

Si Penuntut Respons

Ucapannya yang blak-blakan bisa dibilang tidak disukai oleh banyak orang. Akan tetapi, dengan ucapannya tersebut ia menginginkan para pemainnya untuk terus memberikan respons positif di setiap pertandingannya. Memang kata-katanya terkesan menyakitkan tetapi hal itu demi kemajuan karir si pemain itu sendiri.

Itulah yang dia lakukan kepada Kevin De Bruyne beberapa musim lalu. Ia menganggap KDB belum siap untuk Chelsea saat itu namun disikapi negatif oleh si pemain yang akhirnya memutuskan pindah dan berkembang bersama Wolfsburg sebelum direkrut Man City.

Di United, ia melakukan hal serupa kepada Luke Shaw. Ia mengkritik Luke semata-mata agar si pemain mau mengembalikan performanya ke bentuk terbaik yang sejauh ini memang belum terlihat. Akan tetapi, jika si pemain mau memperbaiki penampilannya dan mengerti keinginannya maka si pemain tersebut akan selalu menjadi pemain utama di bawah kepemimpinannya.