Setiap jam menunjukkan pukul delapan malam, penulis selalu memiliki rutinitas untuk mengerjakan satu hingga dua naskah mengenai Manchester United agar dimuat di situs ini. Akan tetapi, entah kenapa saya tidak memiliki mood untuk menulis apapun kemarin malam.

Saya adalah penggemar United yang bisa dikatakan baru seumur jagung mengikuti klub ini. Hasrat untuk menyukai United baru terjadi ketika usia saya sudah menginjak umur 16 tahun. Saya mungkin masih kalah dengan para pembaca yang sudah menjadi penggemar United sejak masih kanak-kanak.

Sulit untuk mencari alasan apa yang membuat saya menyukai United. Namun jika terpaksa harus memilih satu alasan, maka saya akan menjawab kalau saya menyukai Setan Merah karena klub ini selalu harmonis.

Saya baru menyukai United ketika klub ini baru ditinggal Cristiano Ronaldo. Kehilangan seorang bintang seharusnya membuat sebuah kesebelasan bingung mencari pengganti. Namun tidak untuk Sir Alex Ferguson. Ia begitu santai menyikapi kepergian CR7 ke Real Madrid yang menjadikan dirinya sebagai pemain termahal.

Inilah yang membuat saya takjub dengan United. Ketika membaca sejarah klub melalu majalah resmi mereka, diketahui kalau klub ini ternyata sering melepas para pemain bintangnya. Yang menarik, hengkangnya para bintang tersebut tidak mempengaruhi performa tim yang selalu berada di posisi tiga besar di liga domestik.

Sembilan tahun berselang, sebuah video muncul di lini masa twitter saya. Video tersebut berisi adegan Jose Mourinho yang berkonfrontasi dengan Paul Pogba. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan, namun dari gerak-gerik tubuhnya, terlihat kalau keduanya saling tidak menyukai satu sama lain.

Kejadian ini membuat sedih hati penulis. Dimana romantisme klub ini yang selalu terjalin dengan erat selama bertahun-tahun? Disaat para kesebelasan lain sedang berlomba-lomba menjadi yang terbaik, United justru sibuk dengan masalah yang mendera internal mereka.

Tidak bisa dipungkiri, sejak 2013 klub ini nampak sudah kehilangan identitasnya menjadi tim terbaik. Salah satu rekan penulis, Aun Rahman, bahkan menyebut kalau United sekarang sudah berubah seperti klub-klub lain yang mereka benci. Segala sesuatu yang berada di United berubah seperti apa yang dilakukan rivalnya di masa lalu.

United sekarang menjadi Arsenal dengan menjual beberapa produk akademi mereka seperti Rafael, Tom Cleverley, dan Danny Welbeck. Mereka juga menjadi tim yang rajin mengeluarkan uang banyak untuk membeli pemain seperti Manchester City. United juga mirip-mirip Chelsea yang hanya memakai pelatihnya satu hingga dua musim saja. Dan yang paling sial, Setan Merah mulai seperti Liverpool yang suka mengungkit-ngungkit sejarah.

Entah kenapa saat ini United terlihat tidak bisa menyatu. Semuanya seolah bergerak sendiri-sendiri. Tidak ada kesamaan visi antara manajemen, pelatih, dan para pemain. Mereka justru terkurung oleh ego mereka masing-masing.

Beberapa hari lalu, Ed Woodward begitu gembira ketika mengetahui kalau pendapatan klub semakin meningkat. Dalam laporannya ia menuliskan jumlah sponsor yang menjalin kerjasama dengan klub. Tidak hanya itu, dalam bagian terakhir surat tersebut terselip dukungan Ed kepada Mourinho. Tentu kita belum lupa bagaimana lambatnya Ed bergerak di bursa transfer musim lalu dan terlibat konflik dengan Mourinho yang diawali oleh tidak diturutinya permintaan transfer Mourinho.

Beberapa pelatih yang direkrut pun tidak ada yang sesuai. Tiga pelatih berbeda selama lima tahun, klub ini justru semakin kehilangan identitas. Moyes gagal dalam 10 bulan, Van Gaal membosankan, Mourinho dianggap penghancur identitas klub. Tiga-tiganya tidak ada yang dianggap sesuai.

Pemain pun demikian. Di atas lapangan mereka lebih banyak melakukan kesalahan. Beberapa diantara mereka justru ngambekan. Hanya segelintir pemain yang begitu menghargai lambang United di dada. Kritikan tidak dijadikan sebagai pecutan melainkan dijadikan pelicin untuk membuka jalan keluar.

Kasus terbaru yang dialami Pogba dengan Mourinho menimbulkan pertanyaan, “mau dibawa kemana klub ini?” Disaat tim dituntut untuk meraih kemenangan setelah dua hasil minor, kedua insan terhebat dunia ini justru tidak bisa meredam masing-masing egonya.

Mourinho tidak menyukai postingan instagram Pogba yang dianggap sengaja dilakukan karena United kalah. Sebelumnya, ia mencabut peran Pogba sebagai wakil kapten karena beberapa ucapannya yang dianggap mengganggu stabilitas tim.

Di sisi lain, Pogba tidak suka cara Mourinho mendisiplinkan dirinya. Pogba yang sebelumnya sudah menunjukkan jiwa kepemimpinan, justru kecewa ketika pelatihnya mengkritik permainannya. Pogba justru mempertanyakan strategi Mourinho dengan menyebut kalau tim harus menyerang jika bermain di kandang.

Yang paling parah, beberapa pemain senior dikabarkan lebih berpihak kepada Pogba ketimbang Mourinho. Mereka mempertanyakan keputusan Mourinho mencabut jabatannya sebagai kapten. Kesabaran para pemain dikabarkan habis. Kondisi ini mirip dengan apa yang terjadi ketika Mourinho menangani Chelsea 2015 silam.

Baik Mourinho dan Pogba sebenarnya pernah saling memuji satu sama lain. Ketika menjuarai Liga Europa, keduanya saling berpelukan. Saat wartawan mengkritik penampilan Pogba di musim pertamanya, Mourinho justru menjadi orang pertama yang membela.

United tidak boleh berlama-lama terjebak dalam situasi ini. Hal ini tentu saja mengganggu stabilitas tim jelang laga melawan West Ham. Jika konflik ini belum diselesaikan, maka harapan kami sebagai penggemar adalah semoga kejadian ini tidak merembet ke pemain lain yang berusaha mati-matian menjaga harkat dan martabat Setan Merah. Apakah mereka tidak kasihan dengan para penggemar yang sudah berkorban waktu, tenaga, hingga uang hanya untuk melihat penampilan United yang serba memprihatinkan? Atau jangan-jangan konflik Pogba dengan Mourinho hanya gimmick semata yang sudah diatur oleh keduanya demi menyenangkan media?