Foto: Manchester United World

“Kalaupun kau kelewat bernafsu untuk membela negeri dan moyangmu, maka lakukanlah dengan cara terhormat.” Begitu kata David Alaba saat gol Marko Arnautovic memperbesar keunggulan Austria atas Makedonia Utara pada Euro 2021 lalu.

Pemain yang sekarang bermain di Real Madrid ini mencoba menutup mulut Arnautovic yang sebelumnya mengumpat “I’ll f*** your Albanian mom!” dalam perayaan golnya. Alaba kecewa dengan sikap rekan setimnya itu. Alasannya sederhana, meski yang main adalah Makedonia Utara, tapi beberapa dari pemain yang bermain di sana beretnis Albania. Di sisi lain, Arnautovic berayah Serbia dan ibu Austria.

Apa yang terjadi di Arena Nationala Bucharest saat itu adalah satu dari banyaknya kisah kontroversi yang ada dalah kehidupan sepakbola Arnautovic, penyerang yang diisukan akan menjadi pemain baru United.

Sejak mengawali karier bersama Twente, Arnautovic akrab dengan masalah yang berkaitan sikapnya yang temperamen. Tidak jarang, hal tersebut membuatnya kerap melakukan tindakan yang melewati batas.

Pada Maret 2009, Arnautovic pernah melakukan tindakan rasialis kepada pemain Willem II, Ibrahim Kargbo. Dia saat itu dituduh menggunakan panggilan negro kepada Kargbo.

“Marko adalah pria yang hebat, tapi sikapnya seperi bocah,” kata Jose Mourinho yang menanganinya di Inter Milan. Betapa luar biasanya sikap Marko sampai-sampai Jose Mourinho yang arogan saja kewalahan menanganinya.

Mourinho pun hanya memberinya kesempatan tiga kali turun di semua kompetisi. Jumlah yang sama dengan gelar yang diraih Inter. Entah arogan atau tidak sadar diri, Arnautovic menuliskan “CL Winner 2020” di sepatunya meski ia tidak pernah bermain di kompetisi tersebut.

Lingkungan baru juga tidak mengubah sikap Marko. Werder Bremen memang mendapatkan servis bagus Marko di atas lapangan, tapi di luar lapangan mereka juga kewalahan.

“Marko punya cara sendiri untuk melakukan sesuatu dan itu tidak disukai di sini. Dia lebih suka berdebat, sering berkata tidak dan terlalu arogan,” kata Torsten Frings.

Di Bremen, Marko pernah mengkritik keputusan pelatihnya, Thomas Schaaf. Ia juga menolak untuk push-up sebagai bentuk hukuman dan menendang bola saking frustrasinya. Pada April 2013, ia diskors hingga akhir musim karena ketahuan ngebut bersama Eljero Elia.

Ketika di Stoke, Marko mulai mengurangi arogansinya. Ia jarang mendapat masalah. Begitu juga pada awal-awal kariernya di West Ham United. Ia bahkan pernah menjadi pemain terbaik klub pada 2017/2018. Akan tetapi, segalanya berubah pada musim keduanya. David Moyes kehilangan Arnautovic yang tiba-tiba menurun. Etos kerjanya pun berkurang yang membuatnya mendapat peringatan.

“Saya sudah bilang kepadanya pagi ini. Jika dia masih mencetak gol maka dia akan bermain di dalama tim, tapi jika Anda tidak mengejarnya dan meningkatkan usaha, maka Anda tidak akan bermain,” ujarnya.

Sejak hengkang ke Cina dan Italia, Marko pun mulai terhindar dari masalah-masalah yang berkaitan dengan temperamennya. Menarik untuk melihat kiprahnya jika ia benar-benar direkrut United. Apakah kariernya akan diwarnai banyak gol seperti di Bologna, atau kisahnya akan lebih banyak diisi dengan perseteruan antar sesama pemain mengingat skuad United saat ini diisi oleh banyaknya pemain muda dan pemain dengan ego yang tidak kalah besarnya dari Marko.