Foto: FootballLive

Jelang memasuki paruh kedua musim, Manchester United masih kerap tampil tidak konsisten. Mereka baru menang enam kali, imbang tujuh kali, dan sudah kalah empat kali dalam 17 pertandingan yang sudah dijalani. Catatan yang membuat mereka masih nyangkut di posisi enam klasemen sementara dengan 25 poin.

Akan tetapi, ada anomali tersendiri jika melihat penampilan Manchester United pada musim ini. Anak-anak asuh Ole Gunnar Solskjaer ini tampil apik ketika menghadapi tim-tim penghuni enam besar atau tim-tim kuat Premier League. Empat dari enam kemenangan United musim ini di liga didapat dari Chelsea, Leicester City, Tottenham Hotspur, dan Manchester City. Dua laga menghadapi Liverpool dan Arsenal pun berakhir imbang 1-1.

Namun United punya kebiasaan yang sulit dilepas musim ini. Mereka justru melempem ketika melawan kesebelasan papan tengah ke bawah. Nama-nama macam Southampton, Aston Villa, Crystal Palace, Bournemouth, Newcastle United, dan West Ham United sukses mencuri poin ketika berhadapan dengan mereka. Sejauh ini baru Norwich dan Brighton, kesebelasan papan tengah-bawah yang bisa mereka kalahkan.

Pertandingan terakhir melawan Everton juga berakhir imbang 1-1. Padahal The Toffees baru saja mengganti manajer dan sepanjang musim ini tampil tidak meyakinkan dan baru meraih satu kemenangan dari empat pertandingan terakhirnya. Rentetan hasil minor melawan tim papan tengah ke bawah ini yang membuat mereka kesulitan untuk naik ke papan atas.

United bukannya tidak mampu untuk mengalahkan mereka. Setiap menghadapi tim papan tengah ke bawah, United selalu unggul dalam penguasaan bola hingga pembuatan peluang. Understat mencatat kalau United seharusnya bisa meraih 32 poin jika melihat penampilan mereka hanya dari xG (gol yang seharusnya bisa dibuat). Bahkan xG United ketika menghadapi Crystal Palace pada pekan ketiga mencapai 2,24 alias mereka bisa membuat lebih dari dua gol. Namun kenyataannya mereka kerap kehilangan poin dari lawan-lawan yang di atas kertas sebenarnya bisa mereka kalahkan.

Pertahanan Rapat Membuat United Kerap Tersesat

Banyak asumsi yang muncul terkait masalah United ketika menghadapi kesebelasan non top enam. Ada yang menyebut kalau United kerap tidak beruntung mengingat mereka sebenarnya mendominasi jalannya laga dan membuat beberapa peluang. Ada juga yang menyebut faktor penyelesaian akhir para pemain United yang buruk menjadi biang keladi mereka kesulitan menanjak ke papan atas.

Namun satu alasan yang selalu muncul jika melihat masalah United melawan tim non enam besar adalah taktik dan strategi lawan yang memilih untuk bermain bertahan. United kerap kehabisan akal jika menghadapi lawan yang selama 90 menit bermain dengan blok tengah (Mid Block) dan menyerang mereka melalui serangan balik. Kesebelasan yang sukses mencuri poin dari United rata-rata bermain dengan cara ini.

Everton adalah conton terakhir tim yang sukse membuat United pusing dengan permainan bertahannya. Ketika sedang tidak menguasai bola, Duncan Ferguson menjalankan formasi 4-4-2 dengan mengandalkan compact defense dengan empat pemain tengah yang turun untuk mematikan para pemain depan United yang berada di ruang antar lini.

Cara ini kerap berhasil mengingat para pemain tengah United seperti Fred dan Scott McTominay tidak memiliki jangkauan umpan yang bagus untuk menembus ruang antar lini yang berada di antara pemain tengah dan pemain belakang. Hal ini yang membuat permainan United kerap tidak terjalin dengan baik.

“Ada sedikit masalah pada kami. Jika melawan tim enam besar, entah kenapa permainan kami saling terhubung. Beberapa hari kemudian kami bertemu tim papan bawah, dan kami malah bermain tidak nyaman. Kecenderungan ini terjadi dalam laga-laga tersebut. Kami memulai laga dengan baik, tapi 20 menit kemudian permainan kami berantakan dan kami seketika mempersulit diri kami sendiri,” kata Victor Lindelof.

Jurnalis Manchester Evening News, David Alexander Hughes, menyebut salah satu penyebab United sulit membongkar lawan yang bermain rapat adalah dikarenakan dua jangkar mereka, Scott McTominay dan Fred, kesulitan ketika menjalani peran untuk menyerang. Dua pemain ini memang bagus untuk menjaga pertahanan, namun ketika menyerang, mereka kesulitan mendapatkan ruang dan opsi pemain yang bisa diumpan menjadi lebih sedikit sehingga membuat mereka kerap kebingungan.

Tak ayal, alasan ini yang membuat Solskjaer kerap memainkan Jesse Lingard sebagai pemain yang berada di belakang striker. Pemain bernomor punggung 14 ini punya speed yang bagus sehingga ia terkadang menjemput bola ke tengah, lalu membuka ruang melalui kemampuan dribelnya. Cara ini seringkali berjalan sukses karena merusak organisasi pertahanan lawan meski tidak jarang juga cara ini membuat serangan United kembali terhambat karena dribel yang dengan mudah dipotong oleh lawan.

Salah satu akun Twitter yang membahas soal analisis taktik, Sunday Bed Ranger (SBR), menyebut kalau masalah United ketika menghadapi tim-tim dengan pertahanan kompak adalah minimnya upaya mereka untuk mengubah alur serangan. Seperti yang kita tahu kalau mayoritas serangan United musim ini datang dari sektor kiri. Disini mereka bisa mengandalkan Rashford, Shaw atau bahkan Martial untuk membongkar pertahanan lawan. Namun ketika nama-nama ini terkunci United kerap tidak mengubah arah serangannya.

Hal ini bisa saja karena atribut pemain di sisi kanan tidak sebagus di sisi kiri. Di kanan, mereka hanya mengandalkan Daniel James. Aaron Wan-Bissaka selaku fullback tidak memiliki kemampuan untuk menyerang. Lain halnya jika di posisi Aaron diisi oleh Ashley Young atau Ander Herrera yang kerap berada di half space kanan seperti ketika Solskjaer di awal-awal memimpin.

Selain itu, para pemain United juga nampak tidak dibekali kemampuan melepas umpan-umpan dengan cepat sehingga mereka tidak bisa untuk mengubah alur serangan dan kerap terpaku di satu sisi saja. Hal ini yang membuat SBR dalam Twitternya menyebut kalau pemain United nampak tidak bisa atau tidak dibiasakan memindah serangan ke sisi sebaliknya.

Pemain Kreatif Belum Tentu Jadi Solusi

Ketika tim-tim dengan permainan bertahan ini merepotkan United, maka banyak yang merasa kalau satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah ini adalah dengan membeli pemain kreatif. Entah pemain kreatif ini maksudnya pemain seperti apa, namun jika melihat dari komentar penggemar United, mayoritas dari mereka menginginkan gelandang serang.

Gelandang serang alias pemain nomor 10 identik dengan peran playmaker. Meski di sepakbola sekarang ini, peran playmaker tidak melulu diisi gelandang serang, namun United merasa kalau mereka kekurangan pemain di sektor ini.

Dalam skuad United sekarang, ada beberapa nama yang bisa mengisi posisi nomor 10 yaitu Paul Pogba, Juan Mata, Andreas Pereira, dan Jesse Lingard. Dari empat nama tadi, hanya Mata saja yang merupakan gelandang serang murni. Sayangnya, Mata sudah berada di karier permainannya dan hanya diberi kesempatan sesekali saja oleh Solskjaer.

Anggapan yang menyebut kalau United kekurangan pemain kreatif atau gelandang serang memang benar. Namun keberadaan pemain ini tetap tidak akan mengubah apa pun jika tidak diiringi oleh pemain lain memanfaatkan keberadaan pemain kreatif ini. Perlu diingat kalau sepakbola adalah permainan kolektif. Satu individu dianggap bagus, belum tentu mereka akan bagus secara kolektif.

Ketika laga melawan Aston Villa, Juan Mata bermain sebagai starter. Namun ketika ia bergerak mencari ruang kosong dengan melakukan pergerakan tanpa bola, hal ini tidak dilakukan oleh para pemain depan lainnya. Inilah yang membuat lini depan United menjadi statis karena para pemain lain saat itu seperti malas bergerak. SBR juga menyebut kalau adanya pemain kreatif tanpa adanya mekanisme permainan yang baik dari rekan setim, maka masalah itu akan tetap ada.

“Tidak bisa diselesaikan hanya dengan pemain kreatif saja. Misal nomor 10 United, Madisson misalnya, sudah kreatif, tapi pemain lain masih tidak bisa cari ruang seperti start man run macam Vardy yang bisa berlari dari blind spot bek maka tidak bisa teratasi. Pemain seperti ini yang tidak ada di Man United,” kata SBR menjawab pertanyaan saya soal pemain kreatif yang katanya menjadi solusi untuk mengatasi masalah ini.

Alih-alih mengeluh soal kurangnya pemain kreatif, saya justru berpikir apakah Ole Gunnar Solskjaer selaku manajer United tidak punya resep untuk mengatasi tim-tim yang bermain bertahan. Salah satu pundit lokal sekaligus penggemar United, Rossi Finza Noor juga mempertanyakan hal serupa dalam akun Twitternya: Apakah pemain United tidak di-drill di latihan dengan baik yang memfokuskan untuk merusak kesebelasan yang defensifnya bagus?

Akun @UtdArena juga menyebut kalau masalah United menghadapi blok rendah ini murni masalah taktik. Bukan soal pemain United yang tidak memiliki kemampuan menjadi playmaker atau lini tengah yang kehilangan Pogba. Seolah-olah tidak ada drill latihan dari Solskjaer yang membahas khusus soal cara membongkar tim dengan pertahanan solid.

Membiarkan masalah ini hingga akhir musim jelas akan menjadi sebuah masalah bagi United yang mengincar awalan bagus bersama Ole Gunnar Solskjaer. Sang manajer jelas dituntut untuk bisa melakukan inovasi dan tambahan dimensi serangan mengingat ruwetnya United ketika bermain melawan tim yang bermain bertahan sudah berlangsung berkali-kali.

Solskjaer jelas tidak boleh hanya mengharapkan timnya menang dengan mengandalkan serangan balik dan memanfaatkan transisi lawan yang belum siap atau mengandalkan permainan bagus satu sampai dua individu saja. Selain itu, ia juga harus meningkatkan beberapa aspek yang perlu diperbaiki seperti umpan silang, dan pemanfaatan bola-bola mati.