Selain sistem yang tidak berjalan dengan baik, Louis van Gaal juga mendapat cibiran dari para penggemar United dengan kebijakan transfernya yang dianggap tidak sesuai. Meski mendatangkan nama-nama macam Ander Herrera, Marcos Rojo, serta Anthony Martial. Namun, Van Gaal menjual pemain yang sebenarnya merupakan jagoan fans saat itu macam Rafael, Robin van Persie, Nani, Javier Hernandez, hingga Shinji Kagawa.

Mereka yang dilepas pun seolah membawa dendam terhadap pria berusia 67 tahun tersebut. Beberapa diantaranya mengaku tidak bisa menyesuaikan diri dengan skema Van Gaal karena ditempatkan di posisi yang tidak seharusnya atau karena gaya permainannya yang tidak sesuai. Nani misalnya, winger Portugal ini sampai mengganti nomor handphonenya karena kecewa dengan sikap Van Gaal.

Karir Van Gaal sendiri sebenarnya cukup baik di musim pertamanya. Ia membawa Setan Merah finis keempat dan kembali berkompetisi di Liga Champions. Barulah pada musim kedua, bumbu-bumbu keretakan hubungan antara Van Gaal, fans United, serta manajemen United perlahan muncul.

Van Gaal Lebih Membosankan Ketimbang Moyes

Musim 2015/2016, United hanya bisa mencetak tiga gol dalam empat pertandingan awal. Salah satunya bahkan hanya berasal dari gol bunuh diri. Meski dalam lima laga selanjutnya Martial dkk., mencetak 12 gol, sayangnya hal itu tidak menurunkan kekecewaan para penggemar United yang begitu bosan melihat klub kesayangannya bermain.

Van Gaal menekankan kalau dirinya adalah penyuka sepakbola menghibur. Latar belakangnya bersama Ajax dan Barcelona coba diaplikasikan kembali di Manchester United. Alih-alih menghibur, fans United dipastikan tertidur lebih cepat karena penampilan klub kesayangannya.

Di era Van Gaal, United adalah salah satu tim dengan penguasaan bola tertinggi saat itu di Premier League. Akan tetapi, jumlah tembakan mereka terutama yang mengarah ke gawang justru berada di luar lima besar dari 20 tim kontestan Premier League lain. United juga tampil pas-pasan di Liga Champions yang berdampak tersingkirnya mereka dari penyisihan grup.

Api perpecahan mulai membesar setelah United hanya meraih satu kemenangan dari delapan pertandingan dalam rentang 28 November 2015 hingga 12 Januari 2016. United bahkan tidak bisa menang di rumahnya sendiri meski hanya melawan tim sekelas Norwich, dan West Ham United. Laga melawan Norwich disebut sebagai laga paling memalukan saat itu. Mendominasi penguasaan bola hingga 69%, namun United hanya membuat dua tembakan yang mengarah ke gawang.

Saat itu Van Gaal lebih memilih mengomentari fans United yang terus mendukung tim alih-alih membahas taktiknya yang tidak berjalan. Bagi Van Gaal, taktiknya sudah tepat. Kalaupun kalah itu berarti taktik lawan lebih baik dibandingkan taktiknya. Kejadian ini kemudian kembali terulang ketika United lagi-lagi kalah di kandang melawan Southampton.

Ketika melawan Southampton, United tidak hanya sekedar kalah melainkan membawa rekor buruk. Saat babak pertama berakhir, Setan Merah membuat rekor dengan tidak bisa membuat gol dalam 11 pertandingan kandang beruntun pada 45 menit pertama (10 kali 0-0, 1 kali tertinggal 0-1). Dalam pertandingan itu, mereka hanya membuat satu tembakan ke gawang.

Lantas, ketika United kalah 0-1 melalui kepala Charlie Austin, teriakan booo serta munculnya ekspresi kemarahan salah satu pendukung United yang kemudian menyanyikan nama Jose Mourinho mencuat. Van Gaal hanya mampu meraih 37 poin dari 23 pertandingan dan mencadi catatan terendah yang pernah dibuat United di era Premier League.

Di tangan Van Gaal, United terbilang jago saat menghadapi tim besar. Liverpool kalah kandang-tandang dua kali beruntun, City merasakan kehebatan United saat mereka tumbang di rumah. Akan tetapi, sangat mengherankan ketika hasil superior tersebut tidak bisa diulang justu ketika United melawan kesebelasan macam Sunderland, WBA, hingga Bournemouth. Sebuah anomali yang membuat para penggemar United keheranan.

Banyak yang menyebut kalau taktik Jose Mourinho membosankan, pragmatis, parkir bus, bertahan, dan lain-lain. Tetapi, jika melihat data statistik serangan United di dua era kepelatihan Van Gaal maka kita bisa melihat kalau betapa membosankannya United saat itu bahkan jika dibandingkan era David Moyes sekalipun.

Perbandingan Statistik Serangan United dibawah Arahan David Moyes dan Louis Van Gaal

Aspek David Moyes Louis Van Gaal
2013/2014 2014/2015 2015/2016
Gol 64 62 49
Rataan tembakan 13,8 13,5 11,3
Rataan tembakan ke gawang 4,8 4,7 3,8
Rataan penguasaan bola 54,3% 58,8% 55,8%
Akurasi umpan 84% 85,1% 82,3%
Dribel sukses 8,9 9,8 9,8
Umpan silang per laga 27 24 21
Umpan panjang per laga 62 80 71

 

Dalam daftar tersebut memperlihatkan kalau United era Moyes tampil lebih menyerang dibanding ketika dilatih Van Gaal. Penguasaan bola serta akurasi umpan yang dimiliki Van Gaal justru tidak diimbangi dengan serangan serangan yang lebih sedikit ketimbang Moyes. Hal ini yang membuat United di tangan LVG dilabeli tim yang membosankan.

Pemain Muda dan Trofi Piala FA

Satu hal yang menjadi nilai positif Van Gaal di United adalah tradisinya yang kembali menelurkan bakat-bakat muda. Beberapa pemain jebolan akademi kerap menjadi tulang punggung kesebelasan saat itu. Tercatat ada 13 pemain lulusan akademi yang diberikan kesempatan debut dan mengumpulkan 143 pertandingan. Sayangnya, dari 13 nama tersebut hanya Jesse Lingard dan Marcus Rasford yang penampilannya konsisten hingga sekarang.

Pemain Akademi yang Debut di Bawah Van Gaal

Pemain Jumlah Laga di bawah Van Gaal
Paddy McNair 27
Timothy Fosu Mensah 10
Jesse Lingard 41
Reece James 1
Donald Love 2
Marcus Rashford 18
Regan Poole 1
Tyler Blackett 12
Cameron Borthwick Jackson 14
Andreas Pereira 13
James Weir 1
Joe Riley 2
Tom Thorpe 1

 

Di akhir musim, United gagal finis di empat besar. Untuk pertama kalinya, mereka gagal mencetak lebih dari 50 gol dalam semusim. Meski begitu, Van Gaal mampu memberikan tropi Piala FA secara dramatis setelah mengalahkan Crystal Palace. Sayangnya, dua hari setelah mengangkat Piala di Wembley, LVG dipecat oleh manajemen. Sesuatu yang membuatnya merasa sakit hati hingga sekarang.