Foto: Wikipedia.com

Para pendukung Manchester United bukanlah sekumpulan orang bodoh, atau bahkan pemalu, ketika mengambil sebuah keputusan bagi klub mereka. Dari masa-masa sulit yang mereka berikan kepada Martin Edwards, protes pengambilalihan yang dilakukan pengusaha terkenal Rupert Murdoch melalui BSkyB, hingga kampanye syal hijau-emas terkait akuisisi Glazers, semua menunjukkan satu hal kalau Old Trafford tidak akan pasih apabila mereka tidak menyukai arah dari klub mereka.

Hal itu kemudian terjadi lagi pada pertandingan akhir pekan. Tertinggal 0-2 dari Newcastle United hanya dalam 10 menit pertandingan, apakah para penggemar United menyalahkan Jose Mourinho? Apakah mereka menyalahkan para pemain? Jawabannya adalah tidak. Sebuah chant yang berbunyi “Jose benar, petinggi klub adalah orang bodoh” membuktikan kalau masalah United tidak semudah menunjuk pelatih dan pemain sebagai Kambing Hitam.

Lagu itu terus bergema dalam beberapa kesempatan. Beberapa kali kamera menyorot muks Ed Woodward. Nyanyian tersebut ditambah dengan komentar simpati dari Gary Neville di Sky Sports yang membantu mereka untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama dipendam sejak lima tahun terakhir.

Lupakan tentang status Mourinho yang harus dipecat atau tidak. Begitu juga dengan apakah Paul Pogba adalah penjahat terselubung di United. Pertanyaan yang paling nyata dari semua kekacauan ini adalah, Apakah ada yang salah dari sebuah klub yang dulunya adalah klub besar ini menjadi kesebelasan yang semenjana?

United, di era sesudah Ferguson, adalah tim yang dipenuhi banyak drama. Mengapa Alexis Sanchez menjadi lelucon? Bagaimana Pogba bisa menampilkan dua sisi berbeda dari tim nasional Prancis ke Manchester United? Mengapa talenta sebagus Anthony Martial begitu kesulitan di tim utama? Mengapa Louis van Gaal dan David Moyes gagal? Bagaimana superstar sekelas Angel Di Maria, Memphis Depay, dan Henrikh Mkhitaryan hanya bertahan beberapa bulan? Dan Bagaimana seorang Luke Shaw nyaris saja meninggalkan United?

Sebenarnya, United bisa mengumpulkan bakat-bakat hebat. Namun bakat-bakat tersebut justru menunjukkan bagaimana United begitu ramah mengeluarkan uang tanpa memikirkan apakah mereka semua berguna untuk timnya secara keseluruhan. Dan itu mengarah ke satu nama yaitu Ed Woodward.

Baca juga: Alex Ferguson dan Federico Macheda dalam Pusaran Kekesalan Joshua King

Segera setelah menggantikan David Gill, Ed Woodward seperti setengah serius dalam mengurusi United dan hanya berpendapat kalau klub yang ia kelola hanya bisa membuang uang sampai menemukan cara yang tepat untuk membawa tim ini seperti era Alex Ferguson. Akan tetapi, hal itu justru menimbulkan banyak kekacauan. 600 juta paun yang dikeluarkan untuk pembelian pemain sejak 2013 hanya mengubah United menjadi tim yang lesu, inkonsisten, dan gagal dalam membeli pemain.

Woodward adalah orang yang baik dan cerdas, dia juga pekerja keras, tetapi ia adalah seorang bankir dan mungkin itulah yang membuat ia berpikir kalau segala sesuatu bisa diselesaikan dengan mengeluarkan uang. Tetapi, tindakannya sejauh ini bisa dikatakan belum membuahkan hasil.

Baca juga: Gary Neville yang Geram pada Ketidakpedulian Ed Woodward

Bagaimana bisa ia mendatangkan Marouane Fellaini lebih mahal dari nilai kontraknya? Mengapa ia tetap mendatangkan Angel Di Maria dan Memphis Depay yang harus dipimpin oleh Van Gaal, seseorang yang tidak suka pemain yang gemar menggiring-giring bola? Apa yang membuat ia terpikir membeli mahal Paul Pogba? Mengapa ia menunjuk Jose Mourinho, sosok pelatih yang sudah jelas taktiknya bertolak belakang dengan identitas Manchester United? Lantas, apa dasar dari seorang Woodward yang bisa menilai kalau Toby Alderweireld, Harry Maguire, Diego Godin, dan Jerome Boateng bukanlah bek yang bagus? Atau yang paling sensasional adalah biaya 140 juta paun yang harus dikeluarkan United untuk melayani seorang Alexis Sanchez.

Woodward sejauh ini gagal mempertahankan identitas kuat United yang dibangung oleh duet Gill dan Alex Ferguson. Padahal ia didukung oleh orang-orang yang mempunyai kepemahaman yang sangat bagus di tiap departemennya. Yang lebih buruk, disaat United mengalami kemunduran, tim-tim lain justru bertingkah perlahan-lahan menyerupai United. Secara struktural, klub-klub lain membuat para penggemar United menjadi takut.

Manchester City memiliki tiga orang yang bisa membuat Barcelona menjadi tim kelas dunia. Begitu juga Liverpool, yang dalam enam tahun terakhir sukses melakukan beberapa transfer yang ditambah dengan kedatangan para manajer yang memiliki pola permainan yang sama setiap kedatangannya. Di sisi lain, United sudah memiliki tiga pelatih dengan tiga karakter, tiga filosofi, dan tiga gaya main yang berbeda.

Baca juga: Pantaskah Para Penggemar United Menyalahkan Ed Woodward?

Sesaat setelah mengganti Gill, Woodward mengatakan dia tidak menginginkan sosok direktur sepakbola karena dia percaya kalau model yang sudah dipegang teguh Manchester United selama beratus-ratus tahun adalah model yang tepat. Maka dari itu, ia memberi perpanjangan kontrak 15 juta paun untuk Mourinho. Akan tetapi, entah apa alasannya menolak target transfer yang diberikan Mourinho kepada Woodward dan menyebut kalau para pemain yang dibutuhkan bukanlah orang yang tepat. Sebuah alasan yang sangat menarik mengingat Ed seperti orang yang tidak punya pemahaman soal sepakbola.

Dalam tur pertama United di era Woodward, saya berkesempatan bertemu dengannya. Dia kemudian memberi tahu saya tentang salah satu keterampilannya yaitu, “saya bisa mengetahui batas kemampuan saya.” Dan sekarang dia seharusnya sudah menyadari batas kemampuannya dalam mengelola United.

Artikel ini adalah terjemahan dari tulisan Jonathan Northcroft di kolom The Times dengan judul asli “Jose Mourinho is Caught up in Manchester United’s Identity Crisis” dengan pengubahan seperlunya.