Foto: Twitter Full Time Devils

Ini adalah bagian terakhir dari kisah perseteruan antara suporter Manchester United dengan manajemen klub yang terjadi pada 2010 lalu. Bagian pertama dan kedua bisa dibaca pada tautan berikut ini.

Setelah kemenangan melawan Hull, aksi perlawanan kepada keluarga Glazer ini sempat berhenti dalam beberapa pertandingan. Kalaupun ada, jumlahnya tidak sebesar saat mereka menghadapi Hull. Selain itu, kiprah United juga lebih banyak diwarnai dengan berita-berita mereka di atas lapangan seperti ketika menang 5-0 atas Portsmouth, atau ketika menang di Milan dengan skor 2-3.

Animo ini membesar lagi ketika akhir Februari hingga awal bulan Maret 2010. Diawali dari final Piala Liga. 28 ribu suporter United kompak mengenakan atribut warna hijau-emas di stadion Wembley. Beberapa balon dengan warna yang sama juga beberapa kali dilepas yang bahkan sempat mengganggu pemandangan pertandingan karena beberapa balon masuk ke lapangan.

Puncaknya terjadi pada 10 Maret 2010 dalam leg kedua perdelapan final Liga Champions melawan AC Milan. Ada dua pemandangan menarik pada saat itu. Yang pertama adalah kemunculan Avram dan Joel Glazer di tribun Old Trafford. Pemandangan lainnya adalah kembalinya David Beckham ke Old Trafford setelah berpisah selama tujuh tahun.

Namun, pemandangan menarik ternyata tidak berhenti sampai di situ. Skor akhir menunjukkan kemenangan telak United 4-0 atas Milan dan Beckham menunjukkan beberapa aksi pada setengah jam terakhir babak kedua termasuk sepakan keras yang bisa diblok dengan baik oleh Edwin van der Sar.

Ketika para pemain kembali ke ruang ganti, Beckham kembali ke lapangan untuk memberikan tepuk tangan kepada para suporter sebagai ucapan terima kasih karena sudah disambut dengan baik. Diiringi chant “There’s only one David Beckham” ia berjalan sambil bertepuk tangan. Mendekati tunnel, sebuah syal hijau-emas dilemparkan kepada Beckham dan membuat si pemain mendekat.

Beckham kemudian mengambil syal tersebut dan kemudian mengalungkannya di lehernya. Sebuah aksi yang disambut gemuruh dari Stretford End seolah-olah mereka habis melihat Beckham mencetak gol. Meski Beckham tidak mengungkapkan apakah ia benar-benar mendukung ditendangnya keluarga Glazer, tapi reaksi Beckham menunjukkan kalau aksi mereka diperhatikan oleh orang-orang yang terkait dengan Manchester United.

Disini, Glazer tampak terpojok dan membuat beberapa perlawanan balik kepada suporter. Pemain United dilarang mendapat pertanyaan tentang aksi hijau-emas, MUTV juga dilarang untuk menyebut aksi itu. Manajemen juga tidak segan-segan untuk mengeluarkan suporter dari Red Café jika ketahuan mengenakan syal hijau-emas dan tidak mau melepasnya.

Menurut Samuel Luckhurst, aksi ini bahkan membuat Tehsin Nayani, mantan juru bicara keluarga Glazer jengkel dan sempat menghubungi Joel. Tehsin kemudian mengeluarkan beberapa pernyataan kontroversial.

“Kami tidak mengerti apa motif Beckham untuk mengenakan syal tersebut. Saya tidak yakin apakah publisitasi itu buruk tapi sepakbola adalah bisnis yang penuh gairah. Bukankan hal itu akan reda sendiri? Beberapa penggemar marah dan mengeluarkan protes. Tapi dari tempat duduk saya, ada jutaan penggemar yang senang kalau tim lolos ke babak berikutnya dan mereka juga pendukung United,” kata Tehsin.

“Saya mendapatkan bahwa beberapa penggemar United memang tidak menyukai kami, tetapi untuk membenci kami, itu adalah kata yang kasar. Begitu luar biasa rasanya orang-orang membenci kami ketika klub ini justru berada di tengah kesuksesan,” kata Tehsin menambahkan.

Ucapan tersebut sudah pasti membuat pendukung United marah besar. Hal ini yang kemudian membuat spanduk ‘Love United hate Glazer’ dibentangkan dan membuat penggemar United semakin bergairah untuk terus melanjutkan perjuangan melawan mereka. Syal-syal bernada kebencian terhadap manajemen terus muncul di laga-laga kandang melawan Liverpool, Fulham, dan Bayern Munich yang menandakan betapa marahnya mereka.

Akhir musim 2009/2010, United gagal menjadi juara liga karena kalah satu poin dari Chelsea. Hingga pekan terakhir, warna hijau-emas terus hadir di stadion Old Trafford. Pada pekan terakhir melawan Stoke City, replika dolar dengan wajah Glazer disebar. Dalam dolar tersebut tertulis pesan berisi ‘We shall not renew’ yang menandakan ancaman penonton untuk tidak memperbarui tiket terusan mereka. Selain itu, ada beberapa suporter yang mengangkat kertas bertuliskan ‘Go Glazers Out’ dalam kemenangan 4-0 tersebut.

Foto: South China Morning Post

Menjalani aksi-aksi seperti ini butuh konsistensi agar gerakan tersebut tidak dianggap gertakan saja. Sayangnya, hal ini tidak terjadi pada musim berikutnya (2010/2011). Meski sempat ada peluang dengan munculnya Red Knights, organisasi yang berisikan suporter-suporter berkantong tebal yang ingin membeli United, namun Glazer ternyata berhasil melewati badai ancaman yang terjadi semusim sebelumnya dan mereka masih nyaman di singgasananya bahkan hingga sekarang.

Tidak bisa dibantah kalau serangan kepada keluarga Glazer menciut seiring keberhasilan United meraih gelar Premier League musim 2010/2011 dan 2012/2013. Selain itu, beberapa investasi brilian seperti David de Gea, Ashley Young, Phil Jones, dan Robin van Persie juga membuat penonton kembali fokus mendukung Setan Merah di atas lapangan.

Hal ini yang kemudian membuat Pete Boyle, orang yang suka membuat chant untuk Manchester United merasa kalau perlawanan mereka kepada manajemen hanya dikarenakan jarangnya United meraih trofi dan bukan karena mereka benar-benar tidak suka kepada keluarga Glazer.

“Sepanjang waktu saya mendukung klub, saya tidak pernah merasa ada pemilik yang populer di mata penggemarnya. Tapi di dalam klub, kami tidak akan terpengaruh oleh perubahan kepemilikan. Anda tidak akan mendapat petunjuk bahwa ada sesuatu yang berbeda di bawah keluarga Glazer,” kata Gary Neville.

Hal ini memang fakta karena pada 2015, MUST (Manchester United Supporter Trust) mengakui kalau mereka sudah memiliki hubungan yang baik dengan keluarga Glazer dan beberapa kali menjalin komunikasi dengan Ed Woodward. Bahkan lambat laun terus mengecil sebelum pada 2019 dan 2020 ini gelombang kemarahan kembali meninggi karena performa yang terus merosot di atas lapangan meski klub terus sukses mendapat keuntungan.

Tulisan ini merupakan tulisan yang kami sadur dari tulisan Samuel Luckhurst di Manchester Evening News dengan beberapa tambahan seperlunya.