Jika menelusuri lebih ke dalam, keberadaan keluarga Glazer dimaksudkan untuk menyelamatkan Sir Alex Ferguson. Beberapa tahun sebelum kedatangan mereka, Fergie terlibat konflik dengan pemilik saham saat itu John Magnier dan J.P McManus terkait kepemilikan kuda pacu Rock of Gibraltar. Baik John dan J.P saat itu punya kepentingan yang jauh lebih dalam ketimbang soal kuda. Keduanya ingin melengserkan Sir Alex Ferguson.

Namun, dewan eksekutif masih berpihak kepada Sir Alex. Mereka jelas tidak mau kehilangan orang yang sudah memberikan banyak gelar kepada United. Langkah berani mau tidak mau harus dilakukan yaitu membuka kemungkinan adanya investor baru. Di sinilah Glazer masuk ke dalam keluarga Manchester United. Sayangnya, Glazer masuk tidak seperti malaikat melainkan seperti sebuah virus.

Singkat cerita, pada bulan Februari 2005, salah satu pemain Manchester United mengambil sikap dengan berdiri bersama suporter untuk menentang kedatangan Malcolm Glazer yang berniat untuk menjadi pemilik tunggal Manchester United. Si pemain merasa, sebuah klub sepakbola tidak akan stabil apabila dititipkan utang yang begitu besar dari si pemilik baru.

“Saya merasa terhormat untuk menjadi bagian dari mereka (suporter). Saya pikir penting kalau klub tetap berada di tangan yang tepat. Saya berada di sisi para pendukung dan berpikir kalau klub sudah berada di tangan yang baik. Saya adalah penggemar United yang hanya menginginkan yang terbaik untuk masa depan,” kata si pemain yang bernama lengkap Ole Gunnar Solskjaer tersebut.

Sayangnya, United tetap diambil alih keluarga Glazer. 15 tahun kemudian, Ole kembali ke tim dan menjadi manajer Setan Merah. Kepemilikan Glazer masih terus berlangsung dengan utang yang tidak kunjung lunas. Luapan amarah dan kekesalan suporter masih berlanjut. Yang membedakannya adalah, Ole kini tidak bisa lagi menempatkan diri di sisi suporter.

Ia hanya bisa berdiri di tengah-tengah sambil berharap suporter mau menekan ego untuk tidak memperkeruh suasana. Situasi dilematis kini ia rasakan. Di satu sisi ia sudah menceburkan diri ke kolam manajemen United sebagai manajer dan bekerja sama dengan mereka. Di sisi lain, ia terancam tidak mendapat dukungan dari suporternya karena perkataannya beberapa waktu lalu yang membuatnya dicap “penjilat” oleh segelintir suporternya.

“Ada baiknya kita bercermin dan melihat diri sendiri alih-alih terus menyalahkan orang lain ketika situasi tidak berjalan baik. Beberapa dari kita berpikir seperti kita tahu segalanya. Saya percaya dengan sumber daya yang kami miliki sekarang,” tuturnya.

1 Februari nanti Ole terancam mendapat pemandangan yang tidak menyenangkan. Pada menit ke-58, para suporter berencana untuk meninggalkan stadion sebagai bentuk perlawanan kepada manajemen klub. Dia akan merasakan bagaimana timnya hanya didukung oleh beberapa suporter. Ia hanya bisa berharap ketika penonton pergi, timnya sudah unggul jauh dan jangan sampai dalam kondisi tertinggal.

Sejak Januari, suara-suara sumbang terhadap manajemen United sudah terdengar. Awalnya ketika mereka menang telak 4-0 melawan Norwich City. Menurut wartawan Manchester Evening News, Samuel Luckhurst, aksi nyanyian provokatif tersebut mengulang momen 10 tahun yang lalu saat United juga sedang unggul 4-0 dengan lawan yang berbeda yaitu Hull City.

“Ada persamaan laga melawan Norwich dengan Januari 2010, saat Rooney membawa United menang telak 4-0 di Old Trafford. Nyanyian bermakna sama. Sama-sama menginginkan Glazer untuk keluar. Ada beberapa warna kuning-hijau di stadion pada hari itu,” tuturnya.

Sepuluh tahun yang lalu, bisa dibilang menjadi aksi kampanye Love United Hate Glazer yang lumayan besar yang pernah dilakukan. Kegagalan mendatangkan Adem Ljajic dan tersingkirnya United dari babak ketiga Piala FA dari rival abadi, Leeds United, mendorong mereka untuk melakukan aksi. Ditambah dengan fakta kalau utang United saat itu menyentuh 716,6 juta pounds menambah semangat mereka untuk melakukan gerakan.

Deretan syal berwarna kuning-hijau mulai rajin masuk ke stadion. Meski penggemar lawan meledek penggemar United dengan menyebut mereka sebagai “fans Norwich yang menyamar” namun hal itu tidak membuat mereka melupakan tujuan untuk memakai syal tersebut.

“Ada cerita menarik ketika Paul Scholes mau keluar dari tempat parkir, ia memanggil penjual majalah pertandingan dan bertanya tentang apa maksud warna hijau-kuning emas itu. Setelah menerima jawabannya, dia merasa tercerahkan,” kata Luckhurst.

Kekalahan dari Leeds United dan kegagalan mendapatkan Adem Ljajic sebenarnya hanya tambahan saja dari gejolak yang sudah terjadi sejak awal musim 2009/2010. Penggemar United sudah kecewa sejak bursa transfer musim panas karena klubnya tidak bergerak dengan baik. Penjualan Cristiano Ronaldo dan hengkangnya Carlos Tevez hanya diimbangi dengan kedatangan Gabriel Obertan, Michael Owen, Antonio Valencia, dan Mame Biram Diouf. Padahal, pemain yang dirumorkan ke United jumlahnya tidak terhitung seperti Karim Benzema, Arjen Robben, dan Wesley Sneijder.

“Kami sudah dapat uang (dari penjualan Ronaldo). Tidak ada pertanyaan tentang itu. Saya hanya tidak bisa melihat pemain yang bisa membuat perbedaan bagi kami dari segi harga dan kemampuan,” kata Ferguson.

Sejak dulu, Ferguson sangat jarang membeli banyak pemain dengan harga mahal. Kalaupun mahal paling hanya satu atau dua nama. Itu juga hanya terjadi beberapa musm. Tidak seperti sekarang yang tiap musimnya rekrutan baru United rata-rata bernilai puluhan juta pounds.

Macetnya transfer United sudah terjadi sejak dulu. Namun, yang membedakan adalah sosok yang berada di belakang layar tim utama. Keluarga Glazer sudah berulah, namun United masih punya Sir Alex dan David Gill. Kecerdasan dua orang ini mampu membuat United masih bisa stabil untuk meraih banyak kemenangan. Dengan anggaran yang terbatas, Ferguson masih bisa membawa beberapa gelar hingga sukses melangkah ke final Liga Champions dua kali dalam kurus tiga tahun.

Ini pula yang membuat beberapa orang seperti Andy Mitten dan Pete Boyle (bahkan Boyle satu gerbong dengan Solskjaer pada 2005) mempertanyakan kenapa baru sekarang suara sumbang untuk manajer dikeluarkan dengan keras dan seolah terdiam karena dicekoki banyak gelar oleh Sir Alex. Sebuah ucapan yang menandakan kalau United sebenarnya bisa baik-baik saja jika memiliki sosok sepintar Sir Alex dan David Gill.

Dengan keadaan berantakan seperti itu saja, United masih bisa finis di posisi dua pada Premier League dan mendapat gelar Piala Liga. Namun, hal itu tetap tidak membahagiakan karena standar United saat itu sudah sangat tinggi. Gelar juara liga dan melangkah jauh di Liga Champions sudah menjadi tradisi. United saat itu bahkan mentok pada babak delapan besar Liga Champions setelah pada dua musim sebelumnya berhasil melangkah hingga partai puncak.

Bersambung

***

Tulisan ini merupakan tulisan saduran dari tulisan Samuel Luckhurst di Manchester Evening News dengan tambahan seperlunya.