Foto: Independent.co.uk

Kabar mengejutkan muncul dalam tubuh Manchester United. Dilansir dari Daily Mirror, manajemen Manchester United meminta untuk para legenda United-khususnya yang bekerja sebagai pundit untuk tidak memberikan komentar negatif kepada para pemain dan Jose Mourinho. Rio Ferdinand, Paul Scholes, Gary Neville, dan Roy Keane adalah nama-nama yang masuk dalam golongan ini.

Tidak hanya itu, manajemen juga ikut melarang para legenda United yang menjadi duta klub seperti Bryan Robson, Andy Cole, Park Ji Sung, Denis Irwin, Dwight Yorke, dan Gary Pallister, untuk melakukan hal yang serupa. Manajemen hanya memperbolehkan mereka untuk memberikan komentar yang membangun alih-alih kritik pedas.

Dikutip dari Daily Mail, manajemen Setan Merah membuat keputusan tersebut atas permintaan para pemain yang marah terhadap legenda mereka yang kerap memberikan penilaian negatif dan seolah tidak menghargai kerja keras mereka di atas lapangan. Beberapa pemain yang masih tidak jelas identitasnya tersebut, mengumpulkan beberapa potongan video mengenai komentar-komentar para legenda yang dianggapnya menyerang secara personal.

Para pemain berpikir kalau komentar yang mereka keluarkan dianggap sudah melewati batas. Mereka merasa kalau melakukan kesalahan dalam bermain sepakbola adalah sesuatu yang biasa. Pemain-pemain ini juga yakin kalau para legenda tersebut juga pernah membuat kesalahan sepanjang karier mereka dan mengkritik para pemain karena tidak berani mengkritik Mourinho.

Tekanan United Untuk Selalu Memiliki Prestasi

United adalah tim yang bergelimang prestasi dalam periode 1990-an dan 2000-an. Semua adalah karena sosok Sir Alex Ferguson yang mampu mengubah klub ini dari level semenjana menjadi luar biasa berkat dedikasinya selama 27 tahun. Dalam kurun waktu tersebut, 38 gelar diberikan dengan 13 di antaranya gelar liga domestik sekaligus menjungkalkan Liverpool dari status terbaik yang telah dipegang selama 21 tahun.

Ferguson adalah sosok yang bisa membuat hati para penggemarnya nyaman. Lantas ketika sosok tersebut pergi meninggalkan United, maka separuh jiwa klub nampak ikut menghilang. Hal ini yang terlihat dari bagaimana prestasi klub dalam lima tahun setelah kepergiannya.

Lima musim tanpa gelar liga adalah periode terlama klub sepanjang era Premier League. Usaha untuk memupus tabu itu sebenarnya sudah ada dan selalu dilaksanakan tiap musimnya, namun entah kenapa hasil itu belum nampak setidaknya hingga saat ini. Hanya Liga Europa yang bisa dibanggakan meski kapasitasnya jelas jauh di bawah level Premier League atau Liga Champions.

Semasa aktif bermain, legenda klub seperti Gary, Scholes, dan Keane adalah orang-orang yang jarang mengalami puasa gelar bersama United. Rata-rata mereka hanya merasakan puasa gelar selama tiga musim saja yaitu dalam periode 2003 hingga 2006. Terlalu nyaman dengan prestasi masa lalu membuat mereka ketakutan saat tim ini tiba-tiba terpuruk seperti di era Matt Busby.

Para pundit yang berlatar belakang mantan pemain United memiliki ketakutan kalau klub ini kedepannya semakin tidak jelas identitasnya. Ketakutan tersebut sudah terlihat dari beberapa keputusan klub seperti gonta-ganti pelatih tiap musim, perekrutan yang tidak cermat, pelitnya manajemen dalam berinvestasi, dan penampilan inkonsisten yang dalam lima tahun terakhir akrab bersama Setan Merah.

Budaya Malu Ketika Kalah

Paul Pogba kembali dikritik setelah pertandingan melawan Juventus. Bukan karena performanya di atas lapangan melainkan apa yang terjadi setelah pertandingan tersebut. Penggawa Juve, Juan Cuadrado, mengunggah foto dalam instagram pribadinya bersama Pogba usai laga. Yang menjadi sorotan adalah Pogba yang tersenyum sambil memegang sebuah bingkisan yang disinyalir dari Juventus.

Memang belum jelas apakah foto tersebut diambil sebelum atau sesudah laga. Namun yang pasti foto tersebut mengundang asumsi liar yang salah satunya adalah Pogba tidak punya rasa malu meski timnya mengalami kekalahan.

Musim ini, para penggemar Manchester United nampaknya menjadi penggemar yang lebih sering marah dibanding pendukung tim lainnya. Para penggemar kecewa dengan apa yang ditampilkan United dalam sembilan pertandingan mereka di Liga Champions dan tiga laga lainnya di ajang yang berbeda.

Jika United tidak hilang poin melawan Wolves, Brighton, dan West Ham maka United masih bersaing di papan atas dengan poin yang tidak jauh berbeda dengan pemimpin saat ini Manchester City. Akan tetapi, takdir menentukan United harus takluk dan kini berada di urutan ke-10 klasemen. Posisi yang menjadi batas apakah klub ini mengarah ke atas atau ke bawah.

Rasa marah para penggemar ini yang seharusnya mendorong para pemain United untuk tampil bagus setelah menderita kekalahan. Menjadikan kekalahan sebagai aib harus menjadi budaya yang dimiliki para pemain United agar mereka punya rasa tanggung jawab untuk membayarnya di pertandingan berikutnya.

Sayangnya, menjadikan kekalahan sebagai aib justru menjadi beban bagi para pemain United. Hal ini terlihat dari bagaimana sikap para pemain yang justru protes ketika mendapat kritikan dari para sesepuh-sesepuhnya.

Zen RS dalam tulisannya berjudul “Menyoal Budaya Kritik dalam Sepakbola Indonesia” mengatakan kalau budaya kritik saat kalah akan memberikan rasa malu, dan dari budaya malu maka muncul budaya sadar diri. Sadar bahwa dirinya salah, maka tak segan ia akan meminta maaf. Sayangnya, hal itu belum terlihat dari para pemain United yang hingga tulisan ini dibuat penampilannya masih setengah-setengah, dan hanya dilampiaskan melalui postingan di Twitter, Instagram, atau bahkan blog pribadi.

Kalimat “jika tak mendukung saat kalah, maka kau tak berhak bersorak saat menang” adalah sebuah penyederhanaan dari penolakan terhadap kritik. Lantas jika semua kritik dianggap keras lalu dibungkam maka akan membuat pemain sulit untuk introspeksi dan berbenah. Bukan tidak mungkin, ke depannya kekalahan demi kekalahan dianggap biasa padahal tujuan utama berkompetisi adalah untuk menjadi pemenang. Lantas apakah masih mau mendukung jika United kedepannya menjadi kesebelasan yang legowo terhadap kekalahan?

Manajemen juga harus sadar mengenai dampak apa yang dihasilkan dengan pelarangan para legenda untuk mengkritik para pemain United. Jangan sampai, upaya manajemen ini hanya sebatas untuk menutupi kesalahan-kesalahan mereka yang juga berperan dalam lima tahun keringnya prestasi Setan Merah. Sebab mendiamkan sesuatu yang buruk, dan menganggap semuanya baik-baik saja, adalah sejenis keburukan yang lain.

Seandainya kejadian ini benar adanya, maka memang ada yang salah dari mentalitas para pemain Manchester United sekarang ini.