Kartu merah mewarnai debut seorang Pat McGibbon. Foto: StrettyNews

Bagi pemain baru yang masuk ke tim utama Manchester United, debut menjadi sesuatu yang mereka impikan sejak awal. Tidak sembarangan debut yang mereka inginkan, namun debut yang berkesan. Bermain baik dan memberi kontribusi seperti gol, asis, atau clean sheet menjadi sesuatu yang mereka harapkan.

Debut yang baik akan membuka peluang bagi si pemain untuk menjadi penggawa inti tim utama. Sebut saja Marcus Rashford, Mason Greenwwod, dan Brandon Williams. Ketiganya langsung masuk menjadi pemain utama setelah melakoni debut dengan cara yang mengesankan.

Akan tetapi, tidak semua pemain beruntung memiliki debut seperti tiga pemain di atas. Ada yang debutnya berjalan dengan buruk yang kemudian memengaruhi perjalanan kariernya bersama Setan Merah. Salah satu debut mengecewakan paling legendaris adalah debut yang dimiliki seorang Pat McGibbon.

Pat berposisi sebagai bek tengah. Ia dibeli United dari Portadown pada 1992. Akan tetapi, baru pada 1995 ia bermain bersama tim utama United. Sejarah tersebut ia buat pada babak kedua Piala Liga (saat itu bernama Coca Cola Cup) ketika United menjamu York City. Sebuah pertandingan yang seharusnya bisa dimenangkan oleh tuan rumah karena mereka memiliki kualitas pemain yang jauh lebih baik.

Akan tetapi, segalanya tidak berjalan sesuai rencana. Setan Merah tersingkir karena kalah telak 0-3. Penampilan Pat saat itu paling disorot. Berpasangan dengan Gary Pallister, ia tidak sanggup menghindarkan timnya dari kebobolan. Apesnya lagi, ia juga mendapat kartu merah pada menit ke-50 setelah melanggar Paul Barnes. Pelanggaran tersebut menghasilkan penalti bagi York yang membuat keunggulan menjadi 2-0 saat itu.

“Meski ada pemain top yang bermain saat itu, tapi saya tidak pernah main bersama Pallister. Kami mencoba bermain dengan memakai jebakan offside tapi tidak melakukannya dengan benar. Saya salah mengambil keputusan dengan menekel anak itu (Paul Barnes) tapi wasit dan hakim garis juga salah karena pelanggaran itu terjadi di luar kotak. Saya dikeluarkan dan tim mendapat hukuman penalti yang dicetak oleh York. Mereka kemudian mencetak gol ketiga,” ujarnya kepada Utd Unscripted.

Debut buruk tersebut membuat Pat menerima hair dryer treatment dari manajernya. Fergie kecewa dengan penampilan timnya yang tidak bisa menguasai bola dengan baik. Ia juga menyebut kalau laga ini bisa menjadi pelajaran bagi pemain muda. Namun yang paling diingat adalah kebesaran hati seorang Fergie yang memaklumi kegagalan pemainnya tersebut. Ia menganggap kalau para pemain ini masih perlu dibimbing lagi karena terlalu muda.

Namun, tidak untuk Pat. Ia sudah pasti merasa kecewa karena gagal memberikan kesan yang baik untuk manajernya. Beruntung Pat punya Fergie yang perhatian kepada dirinya. Meski mendapat hair dryer treatment setelah laga, sang gaffer memanggilnya untuk memberikan semangat sekaligus menghilangkan tekanan yang ada di pundaknya.

“Dia menceramahi saya malam sebelumnya, tapi dia kemudian mengambil segala tekanannya dariku dan memberi tahu kalau saya masih muda. Kupikir, itu salah satu perlakuan yang hebat,” ujarnya.

Beban Mental Kehilangan Saudara

Karier Pat diawali dengan memperkuat Portadown, sebuah klub semi profesional yang bermain di Irlandia Utara. Pada 1992, United kemudian datang dengan nilai transfer 100 ribu paun dan mulai bermain bersama tim cadangan.

Sayangnya, awal perjalanan Pat bersama United diwarnai dengan mimpi buruk. Saat ia seharusnya bisa membanggakan kariernya kepada keluarga, ia mendapat berita kalau saudara kandungnya meninggal dunia akibat bunuh diri.

Sebuah peristiwa yang sudah pasti menyedihkan bagi siapapun yang pernah merasakan. Pat dan saudaranya yaitu Phillip hanya terpaut usia satu tahun. Keduanya kerap menghabiskan waktu dengan olahraga bersama. Sampai pada akhirnya Phillip pergi saat Pat baru saja menjadi keluarga baru di Manchester United.

“Saya berlatih seperti biasa dan pemilik kos saya, Brenda Gosling, meminta saya untuk menemui dia setelah saya selesai berlatih. Dia bilang kalau dia telah menerima telepon yang mengatakan kalau Phillip mengambil nyawanya sendiri,” ujarnya. “Rasanya seperti mimpi buruk.”

Pat mengakui kalau sulit sekali rasanya hidup dengan kondisi seperti itu. Ia mencoba untuk tidak berbicara tentang Phillip di lingkungan klub barunya tersebut. “Sangat sulit menjalani tahun pertama dengan kondisi yang seperti itu. Saya masih baru di United tapi tidak bisa mengatasi kerinduan,” katanya.

Ini juga yang mungkin masih berada di pikirannya ketika melakoni debut melawan York City. Bukan tidak mungkin pikirannya terpecah antara pertandingan dan perasaan sedih kalau saudara yang dia cintai pergi dengan cara yang tragis.

Beruntung Pat punya Ferguson sebagai manajernya. Seorang manajer yang peduli pada para pemain mudanya. “Sebagai pemain bola, kami punya masa-masa baik dan buruk, tapi yang paling penting adalah cara kita bereaksi. Ketika saudara Anda meninggal dengan cara tragis seperti itu, maka itu bisa membuat Anda hidup dalam segala perspektif,” katanya.

“Segala hal tidak berjalan seperti yang saya dan United mau. Pertandingan melawan York menjadi satu-satunya penampilan saya bersama United, tapi saya mendapat landasan yang bagus dan saya selamanya berhutang budi kepada Sir Alex dan klub,” ujarnya.

Pada akhirnya, penilaian akhir tetap dilihat dari penampilan di atas lapangan. Karena permainan buruknya tersebut, Pat tidak pernah lagi bermain untuk United sejak saat itu dan menjalani beberapa peminjaman sebelum hengkang ke Wigan pada 1997.

Pat kemudian pelan-pelan mulai pulih dari keterpurukan. Merasa kalau dia tidak akan bisa kompetitif menghadapi pemain lainnya, ia memutuskan untuk pindah ke Wigan pada 1997. Bersama The Latics, Pat berhasil mendapatkan tempat reguler dan mengumpulkan lebih dari 150 pertandingan.

Ia sendiri merasa tidak malu karena gagal bermain untuk United dalam waktu yang lama akibat satu kesalahan fatalnya tersebut. Karier singkat bersama United ia anggap sebagai sebuah landasan untuk belajar, terutama menata kesehatan mentalnya yang sempat terpuruk karena kematian saudaranya dan debutnya yang berjalan tidak sesuai harapan.

“Saya tidak malu kalau saya tidak punya dampak yang lebih kepada tim layaknya Steve Bruce, Gary Pallister, Ronny Johnsen, atau bahkan David May. Saya tidak ragu dengan karier saya dan saya suka dengan apa yang saya lakukan,” kata Pat.

“Sebuah landasan yang bagus bisa berlatih dengan orang seperti Roy Keane, Ryan Giggs, dan para pemain muda lainnya. Saya tidak banyak bicara tapi saya mengambil pelajaran dari orang-orang sukses tersebut,” tuturnya menambahkan.