Foto: Elsetge

Kekalahan Manchester United 0-2 dari Burnley diwarnai aksi walk-out para suporter Setan Merah pada menit ke-84. Sebuah aksi yang ditakutkan Darren Fletcher bisa mempengaruhi mentalitas pemain muda MU.

Penggemar Manchester United sudah paham betul kalau timnya tidak konsisten pada musim ini. Akan tetapi, mereka selalu merasa kalau timnya tetap bisa mendapatkan kemenangan di setiap pertandingan. Apalagi ketika lawan yang dihadapi merupakan kesebelasan papan bawah seperti Burnley. Pastinya tiga poin bukanlah hal yang sulit.

Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Skor 0-2 justru didapat tim tamu. Pada menit ke-84, momen-momen yang biasanya dinanti setiap Setan Merah sedang tertinggal, justru menjadi tidak menarik lagi. Tanpa adanya komando, mereka serentak untuk angkat bokong lalu melanjutkannya dengan angkat kaki di stadion. Old Trafford menjadi senyap karena penggemarnya memilih pulang.

Tidak ada yang memberi komando. Semuanya tampak datang dari kesadaran sendiri. Mayoritas penonton yang memutuskan pergi tersebut seolah saling terkoneksi satu sama lain untuk berkata: ‘tahu mainnya gini mah mending pulang’ yang kemudian disusul dengan aksi yang sesungguhnya.

Aksi walk-out pendukung MU justru menjadi bahan berita yang jauh lebih menarik untuk dibahas ketimbang hasil pertandingannya. Surat kabar mungkin sudah bosan memuat hasil buruk yang didapat MU, jadinya mereka memilih untuk membahas kejadian yang terjadi sebelum pertandingan berakhir tersebut.

Pasalnya, penggemar MU ini bisa dibilang sangat loyal dalam mendukung timnya. Jarang ada yang pergi ketika mereka sedang dalam posisi tertinggal, apalagi ketika bermain di kandang. Sebisa mungkin mereka akan tetap diam sambil menunggu akan adanya keajaiban seperti yang dialami Sir Alex Ferguson dengan Fergie Time yang menjadi ciri khasnya.

Namun aksi penonton yang memilih meninggalkan stadion tersebut menjadi tanda kalau mereka tidak percaya hal-hal magis itu bisa terjadi. Padahal, kata percaya (believe) sering menjadi slogan MU beberapa tahun silam. Akan tetapi, para penggemar mungkin merasa sulit mengharapkan adanya keajaiban jika cara mainnya saja masih berantakan seperti yang ditunjukkan beberapa waktu lalu.

Banyak dari mantan pemain yang buka suara terkait kekalahan tersebut, termasuk mantan gelandang tengah klub, Darren Fletcher. Komentarnya pun bisa dibilang sangat menarik. Jika mayoritas mantan pemain MU lain hanya membahas soal nasib Ole dan kualitas tim yang begitu buruk dari segi kedalaman, maka berbeda dengan Fletcher. Ia lebih perhatian kepada momen pulangnya beberapa suporter klub yang kecewa. Alasannya sederhana, momen-momen seperti ini bisa memberikan pengaruh yang buruk kepada mentalitas para pemain muda.

“Adegan di stadion tidak bagus. Nyanyian provokatif kepada manajemen membuat suasana di stadion berubah menjadi racun. Pada saat Anda melihat kemunduran tim ini, maka anak-anak ini semakin tenggelam,”

“Pengawasan dan manajemen tekanan bagi pemain-pemain muda ini akan sangat sulit karena pemain muda ini tidak memiliki jaringan pendukung di sekitar mereka dan membuatnya menjadi sulit. Mungkin hanya beberapa dari mereka, tetapi pada saat yang sama ada beberapa dari mereka yang akan mengalami kekecewaan sangat dalam,” kata pria asal Skotlandia tersebut.

MU dan jiwa muda adalah identitas yang diandalkan Ole Gunnar Solskjaer sejak memulai musim penuhnya di kota Manchester. Ia ingin membuat timnya kembali berjaya seperti saat ia masih bermain. Namun ia tampak melupakan banyaknya variabel yang mempengaruhi para pemain muda tersebut.

Pemain muda sewajarnya bermain tanpa tekanan. Hal ini bertujuan untuk membentuk karakter sekaligus menambah kepercayaan diri si pemain karena ia punya banyak ruang untuk belajar. Keberadaan pemain senior juga memberikan pengaruh untuk bisa menjadi pengayom agar membuat pemain muda ini merasa terlindungi sekaligus menjadi pembimbing mereka dalam masa pendewasaan.

Fletcher kasihan dengan kondisi para pemain muda MU sekarang yang terpaksa menikmati momen seperti ini. Mereka mendapat tekanan dan tuntutan untuk selalu berprestasi. Ditambah kondisi tim yang sedang berantakan sehingga membuat mereka tampak lelah dan kehilangan motivasi karena mendapat tekanan yang berlebih.

Kehilangan sosok pemain yang bisa menjadi pemimpin di atas lapangan dan di ruang ganti juga memberikan pengaruh besar. Di United, tidak ada pemain yang benar-benar memiliki karakter. Pemilihan siapa menjadi kapten sejauh ini hanya didasarkan senioritas dan pengalaman bermain semata

“Pengawasan akan tekanan bagi pemain muda ini sangat rendah. Saat saya pertama kali masuk tim utama juga sangat sulit, tapi saya dikelilingi oleh para pemain kelas dunia di kiri, kanan, dan tengah,” kata Fletcher menambahkan.

Dulu, Manchester United dipenuhi pemain-pemain berkarakter, pemain-pemain yang dewasa, dan punya jiwa kepemimpinan. Di era Fletcher bermain, ia punya Roy Keane yang akan selalu berdiri paling depan jika rekan setimnya mendapat masalah. Selain itu, ada beberapa pemain lain seperti Gary Neville, Edwin Van der Sar, Rio Ferdinand, Patrice Evra, dan Ryan Giggs, yang juga punya leadership di atas lapangan sehingga Fletcher bisa terlindungi.

Solskjaer patut diapresiasi karena berani memberikan kesempatan kepada pemain muda ini untuk masuk ke tim utama. Sayangnya, langkahnya ini hanya sebatas memainkan tapi belum dalam tahap membentuk pemain muda ini menjadi seseorang yang memiliki karakter. Mereka tidak dibekali dengan pemain senior yang bisa dijadikan contoh. Sosok yang bisa membangkitkan kembali gairah mereka ketika berada dalam tekanan.

Lihat saja kiprah pemain senior United. Performa De Gea menurun, Paul Pogba cedera, Jesse Lingard tidak tahu arah kariernya mau dibawa kemana, sosok Nemanja Matic dan Juan Mata juga tidak punya atribut sebagai kapten dan statusnya pun bukan pemain inti, Ashley Young sudah pindah. Status kapten akhirnya diberikan kepada si pemain baru, Harry Maguire, yang penunjukkannya saja sudah membuat Roy Keane dan Rio Ferdinand berkomentar

“Saya khawatir ketika pemain baru diberikan ban kapten, karena biasanya dia jarang berbicara dengan pemain lain,” kata Keane.

“Untuk meraih kemenangan maka Anda harus semangat. Maguire sebagai kapten juga harus semangat. Apa yang kamu lakukan Maguire? Dia memulai dengan posisi yang bagus untuk menahan ancaman berbahaya Chris Wood,” tutur Rio.

Keberhasilan Class of 92 juga disebabkan karena adanya dukungan dari para pemain senior yang punya karakter sehingga mentalitas pemain muda ini terbentuk seiring berjalannya waktu. Nicky Butt, Neville bersaudara, Paul Scholes, David Beckham, dan Ryan Giggs, mendapat mentor yang tidak main-main dalam sosok Steve Bruce, Peter Schmeichel, Garry Pallister, Bryan Robson, hingga Eric Cantona.

Sir Alex Ferguson pernah menyebut kalau pemain muda itu adalah sesuatu yang bisa terbang tapi punya sayap yang tipis, sehingga ketika jatuh mereka sulit untuk bangkit lagi. Salah satu faktor utamanya adalah karena pelatih tergiur untuk terus memainkan mereka. Solskjaer kudu mendengar saran tersebut karena pemain muda menjadi kewajiban dalam filosofinya.

“Saya tidak mau memainkan pemain muda sesering mungkin selama dua sampai tiga musim karena mereka masih harus berkembang secara fisik dan mental,” tuturnya.

Mentalitas mereka akan kembali diuji pada 1 Februari nanti. Para suporter bertekad untuk meninggalkan stadion pada menit ke-58 pada pertandingan melawan Wolves sebagai bagian dari protes mereka kepada klub. Hal ini bukan tidak mungkin akan memberikan pengaruh kepada Daniel James, Mason Greenwood, dan Brandon Williams, yang kemungkinan akan bermain di laga tersebut.

Semoga saja hal ini tidak membuat mental mereka anjlok. Sebaliknya, semoga pemandangan yang tidak menyenangkan bagi mereka tersebut membuat motivasi mereka terlecut untuk tampil jauh lebih baik lagi ketimbang sebelumnya.