foto: huffingtonpost

Jose Mourinho menjadi topik terhangat saat Manchester United dibantai Chelsea dengan skor 0-4. Koran-koran di Inggris, mengutip ucapan Mou yang menjadikannya sebagai judul tajuk utama mereka: “Dipermalukan”.

Secara kasat mata, kans Mou untuk memenangi gelar juara musim ini masih amat terbuka. Hingga pekan kesembilan, jarak dengan peringkat pertama hanya enam poin atau beda dua kemenangan. Sementara itu, Mou masih punya 29 pekan untuk menyalip sang rival.

Peluang memang terbuka, tapi harapan untuk meraih gelar juara sepertinya masih terasa berat. Permainan yang monoton dan seperti tidak bergairah, menguatkan itu semua. Apalagi, kala dikalahkan Chelsea 0-4, banyak yang menyindir kalau United hanya mampu mengumpan bola, sementara Antonio Conte, pelatih Chelsea, menjelma dari pelatih yang pragmatis menjadi pelatih yang kreatif.

Secara permainan, terlihat kalau United saat ini begitu kesulitan untuk mencetak gol. Hingga pekan kesembilan, United baru mencetak 13 gol. Bandingkan dengan City dan Liverpool yang telah mencetak 20 gol, misalnya.

Namun, premis di atas sejatinya hanyalah lebih kepada kepatutan bagaimana semestinya United bermain. Padahal, kenyataannya, orang-orang dan para penggemar akan lebih memilih mendapatkan gelar ketimbang bermain dengan indah.

Hal ini pun ditegaskan kolumnis The Guardian, Rob Smyth, dalam artikelnya yang berjudul Don’t be swift to bury Jose Mourinho – the monster may be stirring. Rob menulis bahwa kritikan dari Antonio Conte menjadi tanda kalau Mou akan kembali.

Mengutip dari otobiografi Gary Neville, Red, Sir Alex Ferguson sejatinya menyimpan ketakutan besar selama bertahun-tahun. Bahkan, dalam perjalanan sukses sekalipun, selalu ada ketakutan besar karena sejumlah hasil pertandingan.

“Sebuah pertandingan yang menjadi mimpi buruk yang mengingatkan Anda bahwa kesuksesan tidak pernah datang dengan mudah,” tulis Gary.

Di bawah Ferguson, United pernah kalah 0-5 dari Chelsea, 1-4 dari Liverpool dan Tottenham Hotspur, juga 0-5 dari Newcastle United dan 3-6 atas Southampton. Namun, kekalahan memalukan pada musim tersebut diakhiri dengan gelar juara di akhir musim.

Rob menuturkan bahwa mungkin saja pekerjaan sebagai manajer United tidaklah cocok untuk Mourinho. Namun, kritiknya terhadap Antonio Conte pekan lalu bisa menjadi tanda yang baik bagi United. “Ini adalah tanda pertama bahwa sang monster akan menggebrak,” tulis Rob.

Saat ini, Mou dianggap tidak seperti Mourinho yang biasanya karena United bermain begitu membosankan dengan pertahanan yang berantakan. “Ini tidak terlihat seperti timnya Mourinho,” tulis Rob.

Mou tidak membangun pertahanan solid seperti yang ia lakukan di Chelsea, Inter Milan, maupun Real Madrid. Ia pun seperti kurang begitu percaya dengan skuat yang ada di United dengan mendatangkan Eric Bailly, Paul Pogba, dan Zlatan Ibrahimovic, yang menjadi tulang punggung di semua lini.

Rob berpendapat bahwa saat ini, sulit menemukan kesebelasan yang mau menentukan nasib seorang pelatih dalam waktu yang lama. Si pelatih mestilah memberikan kesuksesan instan ketimbang membangun fondasi yang kuat.

“Kalau saja Ferguson dipecat karena tidak memberikan gelar liga selama empat tahun beruntun, mungkin United pada Mei 2017 nanti akan merayakan 50 tahun anniversary terakhir kali mereka meraih gelar,” tulis Rob.

Ferguson membutuhkan waktu lima tahun untuk membangun skuat yang kuat dan mampu untuk bersaing memperebutkan gelar. Apa yang terjadi pada Ferguson, semestinya bisa menjadi sesuatu yang dijadikan teladan. “Tombol reset biasanya lebih mudah dipencet saat masalah mulai terjadi,” tulis Rob menganalogikan.

Sorotan kepada Mourinho sejatinya tak lepas dari apa yang ia lakukan atas kesuksesannya. Mou kerap menunjuk hidungnya sendiri atas setiap kesuksesan yang ia hadirkan. Maka, saat kekalahan hadir, hal itu akan dibesar-besarkan dan ditunjukkan padanya.

“Jika Anda melihat United dalam jangka panjang, Mou telah membuat kemajuan. Dia melakukan empat pembelian kuat yang meskipun ada kesalahan pada awalanya, tapi akan menjadi pemain United yang istimewa,” tulis Rob.

Menurut Rob, Mou membutuhkan dua transfer windows lagi untuk membangun kesebelasannya. Selain itu, Mou juga membutuhkan pemain yang punya mental kemenangan, bukan pemain yang masih mau bertukar kostum usai kalah 0-4 dari lawan.

“Pada 2002, setelah kekalahan di final dalam derby Manchester di Maine Road, Ruud van Nistelrooy berjalan ke ruang ganti dengan kostum City di pundaknya. Ferguson lalu mengumumkan bahwa siapapun yang menukar seragam di masa depan, tak akan lagi dimainkan olehnya,” tulis Rob.

“Kekalahan dari Chelsea akan menjadi pemicu bagi Mourinho untuk melakukan hal yang sama secepat mungkin. Kalau tidak, tawa di akhir musim tak akan pernah terjadi,” tutup Rob.