Jamak pada masa kini kasus murid yang melawan pada gurunya. Perlawanan secara verbal maupun fisik yang mengakibatkan luka dan bahkan kehilangan nyawa. Padahal, di sepakbola, melawan pada guru–dalam hal ini pelatih dan/atau manajer–adalah hal yang tak boleh terjadi.

Di Manchester United, utamanya di era Sir Alex Ferguson, kasus pemain yang membangkang tak pernah berakhir bahagia. Tak perlu waktu lama bagi mereka untuk segera angkat kaki dari ruang ganti.

Kalau diibaratkan, Fergie adalah kepala sekolah yang otoriter. Tidak boleh ada sosok di dalam tim yang lebih berpengaruh dari dia. Hal ini juga diakui oleh pria kelahiran 31 Desember 1941 tersebut. Soalnya, terbitnya dua matahari hanya akan mengganggu stabilitas ruang ganti.

Sebagai kepala sekolah, Fergie amat percaya pada guru-gurunya, atau dalam hal ini para pelatih. Ia akan mendahulukan ucapan guru-gurunya, ketimbang para pemain. Kepercayaan ini yang membuat otoritas Sir Alex amat tinggi. Ia disegani semua orang di dalam klub.

Amat jarang Fergie mengajar langsung murid-muridnya. Latihan teknis dipercayakan penuh pada guru-guru yang lebih paham. Ia hadir di setiap latihan, tapi tak menunjuk dan mengomandoi satu persatu orang. Ia melihat dan menilai dari jauh.

Dalam otobiografinya, Memimpin (2017), awalnya Fergie ikut “mengajar”. Tapi hal tersebut nyatanya tak berhasil. Ia disadarkan oleh asistennya kalau urusan mengajar harusnya diberikan pada para pelatih dan manajer cukup menilai dari kejauhan. Dengan ini, Fergie bisa melihat dengan sudut pandang lain soal para pemainnya. Ia tak perlu disibukkan mengatur cone atau menghitung berapa detik pemain melakukan sprint.

Ini yang membuat peran pelatih di tubuh Manchester United di era Sir Alex Ferguson memegang peranan penting. Pasalnya, mereka-lah sumber informasi utama Fergie dalam menyusun taktik dan strategi.

Melawan Guru ala Roy Keane

Perlawanan terhadap guru pernah terjadi dan Fergie tak butuh waktu lama untuk mengeluarkan pemain tersebut, meskipun dia adalah ketua kelas yang disegani murid-murid lainnya.

Kasus ini terjadi pada Roy Keane yang merupakan salah satu kapten yang paling diingat dalam sejarah klub. Fergie menyebutnya sebagai pemain dengan kepribadian kuat. Ia disamakan dengan Bryan Robson, Steve Bruce, dan Eric Cantona, yang sebagai kapten mampu menjadi jembatan antara pikiran manajer kepada para pemain.

Jelang musim 2005/2006, skuat Manchester United mengadakan pemusatan latihan di Portugal. Carlos Queiroz yang saat itu sebagai asisten manajer yang menggagas dan menyiapkannya, mulai dari tempat berlatih, gimnasium, sampai rumah-rumah yang akan ditinggali pemain.

Akan tetapi tiba-tiba saja Keane menjadi sulit dikendalikan oleh Queiroz. Menurutnya, Keane tak selera dengan rumah yang ia tinggali sampai harus pindah tiga rumah. Setelah diselidiki, Keane justru ingin tinggal di desa sebelah bersama dengan keluarganya.

Esoknya, Keane menemui Fergie dan mengecam Queiroz soal pramusim ini. Dari sini Fergie pun mulai merasa ada keretakan dalam hubungan mereka kedua. Saat disuruh untuk meminta maaf, Keane tetap tak mau.

Setelahnya, Keane mulai menyerang Queiroz secara tidak langsung. Pernah suatu ketika Fergie pergi ke Dubai, ia mendapatkan telepon dari Gary Neville yang mengabarkan kalau para pemain tak senang dengan sesi latihan yang dipimpin Queiroz. Fergie pun sudah bisa menebak kalau itu adalah ulah Keane karena ia punya suara di ruang ganti.

Yang membuat Fergie sebal adalah sistem latihan Queiroz sesuai dengan visinya. Latihan dengan mengulan skema yang sama menurut Fergie penting untuk membentuk pesepakbola. Latihan yang berulang adalah kekuatan yang muncul dari kebiasaan.

Puncaknya terjadi saat Keane mengkritik para pemain dalam sebuah wawancara di MUTV. Karena kabar ini sudah tersiar ke telinga Fergie, mereka pun berkumpul dan menyaksikan wawancara tersebut bersama staf kepelatihan dan semua pemain. Edwin van der Sar menganggap Keane sudah kelewatan. Keane balik marah. Ruud van Nistelrooy setuju dengan ucapan van der Sar. Keane balik marah. Ujung-ujungnya, kesalahan ditimpakan pada Queiroz.

Pada detik itu, Fergie yakin kalau Keane harus keluar. Dalam benak Fergie, kalau ia goyah, Keane yang akan bertambah kuat. “Padahal dia tidak benar. Yang dia lakukan keliru,” tulis Fergie.

Melawan Teman Sendiri ala Nistelrooy

Kasus Ruud van Nistelrooy agak mirip dengan Keane. Ia rewel pada Queiroz terkait Cristiano Ronaldo. Ia pun mulai menyerang sejumlah pemain seperti Gary Neville dan David Bellion.

Puncaknya adalah saat di sesi latihan ia mengganggu Ronaldo dengan berkata, “Mau apa kamu? Ngadu sama bapakmu?”

Maksud dari Nistelrooy adalah Ronaldo mengadu pada Queiroz. Sialnya, momennya waktu itu tidak tepat karena Ronaldo baru kehilangan ayahnya. Ronaldo pun marah dan ingin menghajar Nistelrooy, sementara Queiroz kesal karena ia yang mengurus Ronaldo setelah ayahnya wafat.

Sejak saat itu perilaku Nistelrooy berubah. “Dalam musim terakhir, dia jadi sangat menyulitkan. Saya pikir dia jadi sangat tak populer. Perubahannya sangat dramatis,” tulis Fergie.

Nasib Nistelrooy jelas mudah diterka. Ia pun dilepas meski dirinya merupakan striker terbaik yang dimiliki Manchester United kala itu.

Mengadu ala Beckham

David Beckham bukan sekadar pesepakbola. Dia punya pesona yang membuat orang mau membeli segala sesuatu tentangnya. Banyak awam yang mempertanyakan mengapa MU melepas Beckham, padahal dia adalah pemain sayap yang cepat, penendang bola akurat, juga tampan.

Ini seolah menjadi dua mata pisau buat Beckham. Ketampanannya membuat ia populer. Kepopulerannya menarik dia ke dunia hiburan yang gemerlap. Tawaran-tawaran di luar sepakbola luar biasa banyaknya, dan Fergie menganggap Becks sudah tak fokus lagi.

Penurunan performa Beckham begitu terasa oleh Fergie. Kritik Fergie selalu dibalas dengan tepisan. Di ruang ganti, saat Beckham mengumpat, Fergie menendang sepatu yang ada di hadapannya. Sepatu itu mengenai pelipisnya. Beckham marah tapi pemain lain menghentikannya.

Dua hari kemudian, foto Beckham mengenakan plester di pelipisnya menyebar di media. Di saat itulah Fergie tahu kalau Beckham harus pergi. “Ketika seorang pemain Manchester United berpikir bahwa dirinya lebih besar daripada sang Manajer, dia harus pergi,” tulis Fergie.

***

Tiga kasus di atas adalah sebagian kecil contoh pemain yang mencoba melawan manajer. Ketiganya berakhir dengan ketidaknyamanan karena harus pergi. Dalam konteks sekolah, sang kepala sekolah men-DO mereka dan memindahkannya ke sekolah yang lebih layak.

Melawan manajer bukanlah hal yang tepat karena sebagai pemain, tugas mereka hanya mematuhi instruksi bukan malah merasa tinggi. Pasalnya, saat sebuah kesebelasan terpuruk, yang disorot paling awal adalah manajernya.

Di sisi lain, para pesepakbola jelas mendapatkan ilmu dari para pelatih soal teknis ataupun manajer secara taktikal. Ini akan bermanfaat bagi karier mereka ke depannya karena mereka sudah lebih berpengalaman.

Manajer, pelatih, ataupun guru, memang tidak selalu benar. Akan tetapi menghormati mereka adalah suatu keharusan. Bukan cuma karena ilmu yang telah diberikan, tapi juga sebagai tanda kalau kita masih punya etika.

Apabila ada masalah, solusinya adalah saling bicara. Karena masalah dalam komunikasi adalah saat pesan yang dikirimkan ditangkap berbeda dengan lawan bicara. Bicara adalah kunci. Karena memendam biasanya hanya akan berakhir dengan dendam. Memendam adalah awal dari terbakarnya api dalam sekam.