Dion Dublin dan Alex Ferguson. Foto: 90min

Pada 26 November 1992, Manchester United merekrut Eric Cantona dari Leeds United. Perekrutan ini disebut-sebut menjadi kunci keberhasilan United memutus puasa gelar Liga Inggris mereka yang sudah berlangsung 26 tahun. Cantona bak kepingan puzzle yang hilang dari skuat Alex Ferguson pada saat itu.

Namun sebelum pemain Prancis itu datang, United sebenarnya sudah memiliki pemain depan yang diharapkan bisa menjadi bintang pada saat itu. Dia adalah Dion Dublin. Pemain kelahiran Leicester ini merupakan rekrutan anyar United pada awal musim. Fergie melepas 1 juta paun untuk mendapatkan pemain yang sebelumnya memperkuat Cambridge United tersebut.

Sayangnya, Dublin justru mengalami cedera parah ketika United melawan Crystal Palace pada awal September. Tekel dari belakang membuat pergelangan kaki dan lututnya mengalami kerusakan yang cukup parah. Cedera ini membuatnya absen panjang. Momen inilah yang kemudian membuat United bergerak cepat untuk membeli Cantona.

Setelah sembuh, Dublin tidak bisa menemukan permainan terbaiknya bersama United. Kedatangan Cantona langsung menggusur posisinya sebagai penyerang utama. Hanya bertahan dua musim di Manchester, ia kemudian dilepas ke Coventry City. Perjalanan karier yang cukup singkat yang menimbulkan penyesalan dalam diri Dublin.

“Penyesalan utama saya adalah saya penasaran apa yang terjadi jika saya bertahan enam sampai tujuh tahun di United. Saya melihat tim United saat itu diisi Kanchelskis, Lee Sharpe, Giggs. Saya melewatkan kesempatan untuk bermain dengan pemain-pemain ini.”

“Saya sudah merasakannya, tapi dipotong karena cedera. Saya penasaran apakah saya cukup baik untuk tinggal di United selama lima atau enam tahun? Memang tidak akan ada yang tahu termasuk saya, tetapi saya yakin kalau pemain di sekitar saya bisa membuat saya bermain lebih baik,” kata Dublin kepada situs resmi klub.

Pembelian Cantona membuat nama Dublin disebut-sebut sebagai penghubung dari kesuksesan United saat itu. Banyak yang menilai kalau Cantona tidak akan datang jika Dublin saat itu tidak cedera. Anggapan ini bisa menjadi benar jika melihat kalau target United saat itu adalah membeli salah satu dari Alan Shearer, Dion Dublin, dan David Hirst.

Mendapat label seperti itu jelas terasa menyakitkan. Itu tandanya banyak yang merasa kalau cedera Dublin adalah berkah. Di sisi lain, ia merasa kesakitan dan harus istirahat untuk jangka waktu yang cukup lama. Akan tetapi, Dublin tidak mempersoalkan anggapan tersebut meski ia merasa kecewa karena tidak bisa terlibat dalam perkembangan skuat yang membuat United begitu dominan di Liga Inggris.

“Saya mungkin akan baik-baik saja jika mereka tidak mendatangkan Cantona. Saya menghancurkan kaki saya dan itulah kenapa saya menganggap diri saya sebagai penghubung kesuksesan Manchester United. Jika kaki saya tidak hancur, mungkin United tidak melakukan apa-apa. Masuknya Cantona begitu luar biasa saat itu,” lanjut Dublin.

“Saya hanya ingin tahu berapa tahun yang bisa saya punya jika tidak cedera. Kondisi klub semakin baik setelah orang-orang seperti Webber, Brown, dan David May muncul. Semuanya menjadi lebih baik dan skuat semakin kuat dan United kemudian menjadi raksasa. Saya sudah pergi saat United menjadi kuat, tapi saya akan senang jika menjadi bagian dari proses pertumbuhan dan proses dominannya United sebagai sebuah klub. Luar biasa melihat tim tahun 92 dengan Paul Parker, Gary Pallister, Steve Bruce, Irwin, dan Schmeichel sebagai tulang punggung. Luar biasa bisa melihat dominasi mereka dari bangku cadangan.”

Beruntung bagi Dublin karena karier sepakbolanya masih bisa diselamatkan. Ia cukup bersinar ketika bermain di Coventry City. Pada musim 1997/1998, ia menjadi top skor Premier League bersama Michael Owen (Liverpool) dan Chris Sutton (Blackburn Rovers). Ia juga menjadi salah satu pemain yang bisa mencetak 100 gol di kompetisi Premier League.

***

Selain tidak bisa bermain lama di United, Dublin punya satu penyesalan lagi yang sayangnya tidak bisa dia wujudkan ketika masih menjadi pemain. Dalam wawancara bersama MUTV tersebut, dia berkata ingin menanduk kepala Robbie Savage lebih keras lagi. Baik Dublin dan Savage sama-sama pernah bermain untuk United.

Kejadian itu terjadi pada 3 Maret 2003. Dublin sudah berganti kostum dari Coventry menjadi Aston Villa, sedangkan Savage memperkuat Birmingham City. Saat Savage menguasai bola, Dublin datang dari belakang dengan tekel brutalnya. Savage terjatuh. Akan tetapi, Dublin justru bereaksi seperti orang yang tidak merasa bersalah. Ia menghampiri Savage dan menanduk pemain gondrong tersebut. Ia merasa kalau tandukannya tidak terlalu keras saat itu.

“Penyesalan lainnya adalah saya berharap bisa menanduk Robbie Savage lebih keras lagi,” katanya

Atas aksinya tersebut, ia diusir oleh wasit Mark Hasley. Setelah kejadian itu, Dublin langsung meminta maaf dan menjelaskan kalau insidennya saat itu murni karena dia begitu emosi. Hubungan keduanya kemudian membaik dan kerap bekerja bersama sebagai seorang pandit dalam BBC Match of the Day.