Foto: The Sun

Sepakbola, pada kenyataannya tidak hanya menghadirkan kegembiraan bagi yang menang atau kesedihan bagi yang kalah. Sepakbola juga terkadang menghadirkan rasa sakit. Rasa sakit yang bermakna sebenarnya.

8 April 1996, Manchester United menjamu Coventry City dalam lanjutan kompetisi Premier League. Mereka memiliki misi untuk mengejar Newcastle United yang saat itu berada pada posisi pertama. Pada pertandingan tersebut, United menang 1-0 berkat gol Eric Cantona pada menit ke-47 dan menjaga jarak enam poin dengan The Toon Army.

Akan tetapi, bukan skor pertandingan yang menjadi buah bibir dari pertandingan tersebut melainkan sebuah tragedi yang begitu mengerikan salah satu pemain Coventry, David Busst. Bahkan untuk membaca, melihat, dan menuliskannya kembali pun cukup membuat diri saya merinding dan ngeri.

Coventry mendapatkan sebuah sepak pojok dan Busst baru saja masuk dua menit sebelumnya. Bola pun dilepaskan dan berhasil disundul oleh Noel Whelan. Akan tetapi, sundulan Whelan berhasil ditepis oleh Peter Schmeichel. Bola kemudian dikejar oleh Busst yang akhirnya bisa menendang bola tersebut. Naas, benturan tidak terhindarkan saat ia menyodok bola tersebut.

Kakinya tidak sengaja dihantam oleh dua pemain United yang sudah menjaganya yaitu Denis Irwin dan Brian McClair dari sisi yang berlawanan. Irwin datang dari kiri, sedangkan McClair datang dari kanan. Busst seketika tidak bisa bergerak. Kamera TV langsung menyorot ke Schmeichel yang membuang bola lalu kemudian menjauh sambil menutup mukanya.

Schmeichel mungkin menjadi orang yang paling mual karena posisinya begitu dekat dengan kaki Busst yang hancur saat itu juga. Bagian bawah kaki kanannya berputar 90 derajat, kulitnya sobek karena tulang yang keluar dari tempatnya. Tidak hanya itu, tulang kering dan tulang betisnya patah. Darahnya berceceran di lapangan. Butuh waktu hingga 15 menit agar pertandingan bisa dilanjutkan kembali.

“Setelah kejadian itu, semua orang yang hadir langsung mati rasa. Atmosfer langsung hilang. Sulit sekali untuk melihat kejadian itu. Apa yang kami saksikan begitu mengerikan, sangat, sangat jahat. Kejadian yang begitu tragis bagi David,” kata Schmeichel.

Kabarnya, Schmeichel sampai muntah di lapangan akibat kejaddian itu. Bahkan ia juga diberitakan harus berkonsultasi dengan psikiater agar bisa melupakan kejadian tersebut. Meski begitu, kabar ini dibantah si pemain.

Tidak ada yang bisa dilakukan Busst saat itu kecuali meraung karena kesakitan. Tangannya memberi sinyal kalau ada yang salah setelah kejadian tersebut. Istrinya diberitakan lemas karena melihat suaminya tidak bisa bergerak. Tepukan meriah datang saat ia ditandu keluar lapangan dengan kondisi badan yang harus dimiringkan. Kakinya pun harus disangga oleh salah satu tim medis United. Busst berkata kalau tepukan penonton United tidak terdengar karena yang hanya ia dengar adalah suara erangannya saat menahan sakit.

“Saya tahu kalau hal serius sudah terjadi. Saya bisa melihat reaksi orang-orang. Saya tidak pernah melupakan reaksi Dion Dublin yang membungkuk dengan tangan di kepala, ditambah ekspresi ngeri dari matanya. Tulang keringku naik dan membentuk huruf ‘L’. Saya berada dalam mode shock. Sakitnya sangat menyiksa. Anda tidak bisa bergerak. Sedikit bergerak, maka akan memperburuk keadaan,” kata Busst.

Cedera mengerikan akan membawa dampak yang mengerikan juga. Itulah yang dialami Busst. Ancaman amputasi kaki pun muncul. Syukurlah hal itu tidak terjadi. Namun untuk memulihkan keadaan kakinya, ia harus menjalani operasi lebih dari 20 kali. Beberapa media menyebut ia menjalani operasi hingga 22 kali, sedangkan Daily Mail menyebut ada 26 operasi yang harus ia jalani.

“Kaki saya tidak akan sembuh. Saya harus menjalani 10 kali operasi dalam 12 hari. Setelah beberapa minggu, suplai darah yang turun membuat tulang dan semua jaringan menadi lunak. Mereka mengatakan tidak bisa memperbaikinya dan akan memotong kaki saya dari lutut hingga ke bawah karena itu bisa menajdi infeksi. Lalu operasi berikutnya adalah mencoba memperbaiki kaki dengan mengambil otot dari punggung saya. Beruntung bagi saya karena otot punggung saya tidak diambil dan kaki saya mulai menunjukkan tanda-tanda kesembuhan,” ujarnya.

Meski sembuh, namun kaki Busst sudah tidak bisa lagi bermain sepakbola. Pada 6 November 1996, ia memutuskan untuk pensiun pada usia yang sebenarnya masih sangat produktif: 29 tahun. Untuk mengenang jasa-jasanya sebagai pemain sepakbola, Coventry mengadakan pertandingan testimoni melawan Manchester United pada akhir kompetisi musim 1996/1997 di Highfield Road. Tiket pertandingan tersebut terjual habis dan Busst mencetak gol melalui penalti sebagai hadiah perpisahan kepada suporternya. Busst pun sangat gembira karena ia berhasil menang di kotak penalti meski kariernya hancur di dalam tempat yang sama.

Kaki David Busst sekarang (Foto: Twitter Andy Goldstein)

Kegembiraan yang hadir di tengah-tengah nasib tragis yang harus ia rasakan. Meski begitu, ia mengaku tidak akan pernah merasa menyesal meski kariernya terpaksa harus berhenti akibat cedera yang merupakan momok menakutkan bagi setiap pemain sepakbola.

“Cara Anda mengatasi masa pensiun tergantung dari diri kita sendiri. Jika Anda adalah orang yang gelap, maka mungkin Anda mengatasinya dengan minum-minum atau sejenisnya. Saya bisa melihat tekanan tersebut, namun saya mendapat dukungan yang baik dari orang-orang di sekitar saya. Semua keluarga saya ada di sisi saya dan itu sangat penting membuat pikiran kita menjadi positif,” kata Busst.

Sisi positif yang membuat Busst tidak hanya dicintai oleh pendukung Coventry melainkan juga pendukung United. Dalam pertandingan testimoninya tersebut, Brian McClair ikut serta, padahal McClair adalah orang yang membuat kakinya hancur. Ia bahkan bersalaman dengan pemain Skotlandia tersebut.

“Kami beruntung bisa terlibat dalam pertandingan testimoni dia. Semua pemain United mau main di sana. Setahun berikutnya saya ngobrol panjang dan sejak saat itu saya tahu kalau masalah itu (cedera Busst) sudah selesai. Saya merasa kasihan tetapi di sisi lain saya juga senang melihat dia bisa bahagia lagi,” kata Schmeichel.