Musim ini menjadi musim yang begitu gila bagi Erik ten Hag. Baru musim pertamanya saja memimpin Manchester United, Erik sudah dihadapkan dengan banyaknya jadwal pertandingan. Kemenangan melawan Fulham sebelum jeda internasional beberapa waktu lalu memastikan United akan memainkan 61 laga sepanjang musim ini (belum termasuk final ajang piala).

Dengan komposisi skuad yang masih jomplang antara pemain utama dan pelapis, angka 61 tentu bukan jumlah yang sedikit. Sebagai pembanding, Manchester City hanya memainkan 58 laga sepanjang musim lalu.

Sebagai informasi, hanya empat kali United memainkan lebih dari 60 pertandingan dalam satu musim. Pada musim 2016/2017, United asuhan Jose Mourinho bermain 64 kali. Musim kedua bersama Ole Gunnar Solskjaer mereka bermain 61 kali.

63 pertandingan dilahap pada musim treble 1999 dan yang paling banyak adalah ketika United bermain 66 kali sepanjang musim 2008/2009. Jika segalanya berjalan lancar (mencapai final Piala FA dan melangkah sampai final Europa League), maka total United akan melahap 65 pertandingan pada musim debut Erik ten Hag sebagai manajer.

Jadwal padat ini tentu mengundang kekhawatiran bagi para suporternya. Yang ditakutkan tentu saja hadirnya cedera karena tenaga mereka yang terus-terusan diporsir. Bagaimana tidak, sejak Piala Dunia berakhir pada pertengahan Desember lalu, Manchester United terus merasakan siksaan berupa bermain tiap tiga hari sekali.

Namun anehnya musim ini United jarang terkena badai cedera. Berbanding terbalik dengan musim pertama Jose Mourinho dimana kita melihat ada lima pemain yang kondisinya tidak baik-baik saja di pinggir lapangan saat final Europa League melawan Ajax. Selain itu, mereka juga masih bisa mendapat hasil bagus dan meraih satu trofi.

Peran Penting Ten Hag

Satu hal yang membuat United masih bisa memainkan skuad terbaiknya meski diterpa jadwal padat tidak lain dan tidak bukan adalah karena sosok Ten Hag itu sendiri. Dilansir dari The Athletic, sang manajer menanamkan sebuah mindset kepada para pemainnya untuk menganggap semua laga adalah final. Tujuannya agar para pemainnya bisa terus ada di level kompetitif dan tidak memberi kesan pilih-pilih lawan.

Inilah yang membuat United tidak terlalu banyak berubah tiap pekannya meski harus bertanding tiap tiga hari. “Kami tidak butuh istirahat. Saat para pemain kembali dari jeda Internasional, kami masih dalam ritme pemain suka bermain. Kami akan tetap merotasi, tapi kami tetap akan memainkan 11 pemain kami di atas lapangan,” kata Ten Hag setelah menang melawan Fulham.

Ten Hag bukannya tidak tahu kalau timnya kelelahan. Menurut sumber yang sama, sang manajer tidak ingin menjadikan kelelahan sebagai alasan. Oleh karena itu, ia menggunakan babak kedua sebagai tempat United menunjukkan aksinya. Terlihat dari produktivitas United yang jauh lebih baik pada paruh waktu kedua (62 gol berbanding 28) dibanding babak pertama. Babak pertama mungkin terasa hambar, lalu Ten Hag akan membuat perubahan dan meminta para pemainnya untuk tampil lebih bertenaga lagi.

Peran para staf juga cukup krusial. Apresiasi terhadap kepala pelatih fisik, Richard Hawkins, pelatih kebugaran Paolo Gaudino, dan ilmuwan olahraga, Edward Leng. Berkat tiga nama ini, jumlah kasus cedera hamstring dan jaringan lunak di skuad United jauh berkurang.

Meski memiliki pemain dengan kemampuan sprint yang baik, namun tiga nama ini akan meminta para pemain United tidak sering-sering melakukannya di atas lapangan. Terlalu banyak sprint maka akan membuat potensi terjadinya cedera semakin besar. Hal ini berbeda dibanding zaman kepelatihan Ole Gunnar Solskjaer yang menggunakan taktik counter attack ketimbang possesion football.