Rentetan hasil negatif tampak belum mau lepas dari tubuh Manchester United. Yang terbaru, mereka hanya membawa pulang satu poin dari markas AZ Alkmaar dalam ajang Uefa Europa League dengan penampilan yang tidak enak dilihat. Sepanjang 90 menit, Setan Merah tidak bisa membuat satu tembakan tepat sasaran dan kesulitan keluar dari tekanan pemain tuan rumah.
Catatan ini memecahkan rekor klub. Belum pernah sepanjang hikayat klub ini, United tidak bisa menendang ke gawang lawan pada ajang antar klub Eropa. Namun catatan buruk ini justru dipecahkan tim pada ajang kelas dua Eropa.
Belum lagi jika menengok statistik minor lainnya. Sudah 10 laga tandang beruntun mereka tidak berhasil meraih kemenangan. Jika akhir pekan nanti, mereka tidak bisa mencuri tiga poin di markas Newcastle, maka mereka akan menyamai rekor klub pada 1989. Bahkan klub-klub seperti Aston Villa, Southampton, Wolverhampton, Bournemouth, dan beberapa klub lain memiliki kemenangan away jauh lebih banyak dibanding United sejak Maret 2019.
Setelah resmi diangkat sebagai manajer permanen, sentuhan dingin Solskjaer perlahan menghilang. Beberapa kemenangan beruntun seperti ketika masih menjabat caretaker tidak lagi bisa didapat. Magisnya langsung hilang dan berganti dengan tidak konsistennya penampilan tim yang diiringi dengan permainan dan taktik yang mengecewakan.
Performa United langsung anjlok setelah sanjungan dan harapan akan menjadi Sir Alex Ferguson kedua dibebankan kepadanya. Dalam 22 laga terakhir, MU Cuma bisa menang 5 kali dan menderita 10 kekalahan. Mereka hanya sanggup membuat 19 gol dan kebobolan 30 kali. Jika terus mempertahankan performa tersebut, maka United akan terdegradasi pada 4 dalam 24 musim ke belakang dan sisanya akan menempatkan mereka pada posisi 14 hingga 17 klasemen Premier League. Jurang degradasi siap menerkam mantan penguasa kompetisi Inggris ini.
Sudah medioker, penggemar dipaksa mendengar racauan sang manajer yang cenderung tidak masuk akal. Ia justru senang dengan hasil imbang 0-0 meski sepanjang 90 menit timnya tidak ada usaha untuk menyerang. Ia justru menyalahkan kepemimpinan wasit dan permukaan lapangan. Ucapannya tidak jauh berbeda dari apa yang sering diucapkan pelatih-pelatih Liga 1.
“Ini adalah kinerja yang baik dan poin yang bagus melawan tim yang bagus di permukaan lapangan yang buruk. Kami seharusnya menang, namun saya muak karena kami tidak mendapatkan penalti,” tuturnya.
Ungkapan seperti ini seolah menjadi template bagi Solskjaer. Sejak gagal menang pada pekan kedua, ucapan seperti “kami tidak beruntung” atau “kami seharusnya menang” akan selalu keluar dari mulutnya. Hal ini yang membuat Ahmad Agus Arifin, admin dari Manchester United Funtastic menyematkan julukan “Mr Seharusnya” kepada Solskjaer.
Solskjaer seperti menolak untuk melihat hasil. Baginya, yang bagus adalah penampilan tim di atas lapangan. Namun sulit untuk mengelak kalau di lapangan pun tim ini juga tidak bermain dengan bagus. Jika penampilan seperti melawan AZ saja bisa dimaklumi oleh manajernya, maka bisa dilihat betapa jatuhnya kualitas tim ini yang bahkan di era David Moyes pun bisa mendapat kemenangan dengan mudah.
Bebalnya Solskjaer juga bisa dilihat dari keteguhan dia untuk memandang jangka panjang namun seperti menolak untuk melihat situasi permainan timnya saat ini. Ia terus mengandalkan pemain muda yang belum cukup untuk diberikan beban berlebih. Solskjaer harus menjalani fenomena ini setelah percaya diri melepas beberapa pemain namun memilih untuk tidak mencari penggantinya.
Ketika pemain andalannya cedera, mau tidak mau beban untuk menang diberikan kepada para pemain muda yang beberapa diantaranya memiliki mental yang belum siap untuk bermain di kompetisi tertinggi. Namun dengan percaya diri, ia tetap yakin kalau pemain muda yang ia tangani sekarang ini akan sukses ke depannya.
“Ini era berbeda. Kita sedang membangun. Akan ada banyak pasang surut. Saya siap melihat anak-anak ini berkembang. Tidak banyak klub seperti kami yang memainkan pemain muda. Mereka punya peluang untuk berhasil dan kami yakin beberapa di antaranya menjadi bagian dari tim yang sukses,” ujar Solskjaer.
Manajemen MU memang patut disalahkan untuk hal ini, namun Solskjaer sempat berkata kalau dia lebih senang dengan skuad yang dimiliki sekarang ini. Skuad yang menurutnya berjiwa muda namun tidak melihat inkonsistensi yang dialami. Skuad yang lini depannya ia yakini bisa mencetak banyak gol, namun top skor mereka saat ini baru mengoleksi tiga gol saja dengan dua diantaranya penalti.
Mantan rekan setim Solskjaer, John O’Shea mewanti-wanti rekannya tersebut untuk bisa mempertahankan standar klubnya. Caranya adalah dengan memberikan kemenangan. Esensi dari setiap pertandingan olahraga apa pun jenisnya. Hasil selain kemenangan jelas tidak bagus untuk standar tim ini. Solskjaer dituntut untuk bisa mengeluarkan kemampuan terbaiknya alih-alih pasrah dan santai menerima hasil minor yang didapat.
“Pembangunan tim ini akan memakan waktu, namun Ole dan para stafnya harus menunjukkan kinerja mereka dari segi hasil. Mereka tidak bisa membiarkan kinerja tim turun terlalu rendah. Mereka harus mempertahankan standar,” ujarnya seperti dikutip dari Manchester Evening News.
Andy Mitten juga pernah berujar seperti apa yang diungkapkan O’Shea. Jangka panjang jelas menjadi target, namun Solskjaer tidak boleh lupa kalau jangka panjang akan ditentukan dari keberhasilan jangka pendek. Hal itu belum terlihat sejauh ini. Bahkan sejak bulan Maret lalu.
“Penggemar United akan mendukung Ole untuk membangun tim jangka panjang, namun keberhasilan seperti itu akan ditentukan dari hasil yang diraih jangka pendek. Menjadi penantang gelar juara mungkin tidak akan dijadikan target, namun tidak juga ia harus membawa tim ini untuk selalu finis di urutan keenam,” tuturnya.
Solskjaer kudu sadar kalau dengan performa seperti 22 pertandingan terakhir yang sudah dijalani, maka United punya potensi finis pada papan bawah bahkan terdegradasi. Tanda-tanda itu sudah terlihat sejauh ini dari jarak mereka yang lebih dekat ke peringkat 18 alih-alih peringkat pertama. Lantas, apakah Solskjaer harus membawa klub ini terdegradasi dulu untuk bisa mengembalikan kejayaan United?