“Saya selalu menempatkan nama United dalam hati saya. Itulah alasan mengapa saya kembali lagi kesini.”

Itulah kata yang diucapkan oleh Paul Pogba saat ia direkrut kembali oleh Manchester United dengan status pemain termahal dunia 2016 lalu. Kepindahannya saat itu disambut meriah mengingat permainannya yang sensasional di kota Turin.

18 bulan setelah ucapan tersebut Pogba diberiakan menyesali keputusannya kembali ke Manchester. Seketika muncul isu bahwa dirinya ingin hijrah dan Real Madrid sudah mengincarnya. Kondisi ini jelas mengganggu persiapan United yang dalam pekan ini bersiap menghadapi Liga Champions serta melawan Chelsea di Liga Primer.

Kabar menyesalnya Paul Pogba memang masih sebatas rumor. Bisa jadi, hal tersebut hanya akal-akalan media yang ingin mencari untung dengan membawa nama besar Manchester United. Akan tetapi, jika memang rumor tersebut benar maka bisa dipastikan kalau masalah United sebenarnya terletak pada mental para pemainnya. Mental yang masih medioker, mental yang masih kekanak-kanakan.

Entah kenapa dalam beberapa musim terakhir, MU selalu saja bermasalah secara pribadi dengan para pemainnya. Sebelum Pogba, nama-nama macam Mkhitaryan, Shaw, Adnan Januzaj, dan Angel Di Maria ketahuan ngambek dengan para manajer United. Hasilnya, dari nama-nama tersebut, hanya Shaw yang masih bertahan sedangkan sisanya hijrah ke tempat lain.

Paul Pogba bisa saja bernasib seperti Mkhitaryan dengan diturunkan statusnya menjadi pemain cadangan hingga akhir musim sebelum dilepas ke Madrid. Akan tetapi, sangat disayangkan juga apabila ia pindah karena itu berarti United telah dua kali menyia-nyiakannya.

Awal mula retaknya hubungan Pogba dengan Mourinho adalah terkait statusnya yang tidak nyaman bermain di lini tengah bersama Nemanja Matic. Ia lebih menginginkan bermain di belakang striker seperti yang ia lakukan di Juventus dulu sementara Mourinho menginginkan Pogba menjadi pemain yang bisa menyeimbangkan lini tengah dengan menjadi gelandang penghubung.

Tidak salah memang kalau Pogba ngambek karena ditempatkan di bukan posisi yang dia inginkan. Akan tetapi, keputusannya untuk ngambek terbilang terlambat mengingat ia sudah bermain pada musim kedua dan ia juga bermain apik sebagai gelandang tengah pada musim pertama.

Keputusan Jose yang meminta Pogba menjalani dua peran juga sebenarnya tidak salah. Kita semua tahu kalau ia adalah manajer yang menyukai keseimbangan tim alih-alih performa individu. Ia tidak segan-segan mengubah posisi para pemainnya apabila diyakini tim bisa sukses dengan cara tersebut.

Samuel Etoo adalah striker, tapi oleh Mou ditempatkan sebagai sayap kanan. Begitupun dengan Goran Pandev. Dejan Stankovic yang semasa di Lazio bermain sedikit ke depan, dibuat menjadi gelandang penghubung ketika Mou berada di Inter Milan. Andrea Pirlo pun dulunya bermain di belakang striker sebelum dipindahkan ke lini tengah bersama Arturo Vidal sebagai gelandang tengah.

Roy Keane mengatakan saat menjadi pundit di salah satu TV kalau wajar seorang gelandang diminta untuk menguasai lebih dari satu peran di lini tengah. Baginya hal itu berguna untuk membuat si pemain memiliki kemampuan dalam bermain di sektor yang berbeda. Ucapan ini keluar dari Keane yang bahkan secara pribadi membenci Mourinho.

Saat Sir Alex Ferguson masih menangani United, ia pernah mengatakan kalau tidak boleh ada yang lebih besar selain Manchester United. Sebuah kalimat yang memang tidak dibangun atas omong kosong semata. Ia tidak akan segan menjual pemain meski pemain tersebut adalah pilar penting klub.

Hal ini yang mungkin coba ditiru Jose Mourinho kepada Pogba di Manchester United. Mou seolah menegaskan kembali kepada Pogba-juga pemain United lain kalau tidak ada yang lebih besar dibanding manajer dan juga Manchester United sendiri. Terlebih lagi Fergie mengatakan kalau Mou adalah cerminan dari dirinya yang bisa menangani pemain serta memiliki perencanaan yang rinci. Seandainya Mou menuruti kemauan Pogba dan mengalah, besar kemungkinan masalah serupa mungkin akan kembali terjadi yang membuat kekuasaannya sebagai seorang manajer bisa terganggu.

Maret nanti, Paul Pogba berusia 25 tahun. Dirunut dari ilmu psikologi, usia Pogba termasuk dalam fase dewasa awal dimana seseorang dituntut untuk memiliki sikap dewasa dan kematangan dalam berpikir. Caranya antara lain dengan menstabilkan emosi, mengendalikan rasa marah, mau menerima kenyataan, tidak menyalahkan orang lain, toleran terhadap pendapat orang lain, dan optimis dalam menghadapi kehidupan.

Jika dilihat dari beberapa aspek diatas maka Pogba tampaknya belum pas disebut pemain yang sudah memiliki kedewasaan. Hal itu yang mungkin membuat ia belum layak disebut salah satu gelandang terbaik di dunia. Akan tetapi, jika dia mau mengubah sikap dengan memperbaiki penampilan, berlatih giat, atau bersikap dewasa maka bukan tidak mungkin penampilan Pogba akan membaik dan menjadi salah satu pemain terbaik yang pernah dimiliki Setan Merah.

Jadi, berintrospeksilah Pogba karena kami fans Manchester United masih ingin melihat aksi-aksimu di lapangan. Dan untuk Jose Mourinho, teruskanlah apa yang menurutmu benar. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian berdua. Tetapi, kami yakin bahwa anda dan Pogba adalah orang yang tepat berada di sebuah kerajaan besar bernama Manchester United.