Foto: Standard.co.uk

Saat sundulan Alexis Sanchez melesat ke pojok bawah gawang Martin Dubravka, Jose Mourinho memilih untuk bersikap tenang. Ia tidak mau merayakan secara emosional meski gol tersebut membalikkan keadaan United yang sebelumnya tertinggal 2-0 terlebih dahulu.

Sebaliknya, asisten Mourinho, Michael Carrick begitu bersemangat melihat gol tersebut. Ia yang berada di tepi lapangan berbalik arah ke tribun penonton sembari mengepalkan tangannya sebagai tanda kepuasan. Inilah Fergie Time pertama yang dirasakan Carrick sejak memegang peran sebagai tangan kanan Mourinho.

Kekalahan memang tidak disukai oleh pesepakbola, termasuk Carrick sekalipun. Menanggung beban setelah mengalami kekalahan tentu tidaklah mudah. Apalagi jika kekalahan tersebut datang dari pertandingan-pertandingan penting seperti final sebuah kejuaraan.

***

Pada 27 Mei 2009, stadion Olimpico berpeluang menjadi tempat Manchester United untuk mengukir sejarah baru. Apabila mereka meraih kemenangan melawan Barcelona, maka Setan Merah akan menjadi tim pertama yang bisa mempertahankan gelar Liga Champions. Dan Michael Carrick akan menjadi bagian dari tim terbaik itu.

Lawan yang dihadapi United adalah Barcelona yang saat itu dilabeli the dream team karena permainan penguasaan bola tingkat tinggi ala Pep Guardiola. Dua minggu sebelumnya, mereka baru merebut gelar kedua di ajang Copa Del Rey. Setelah wasit Massimo Busacca meniup peluit panjangnya, Barcelona justru menjadi pihak yang bergembira. Satu gol Eto’o dan Lionel Messi membawa mereka menjadi kesebelasan Spanyol pertama yang meraih tiga gelar dalam semusim.

Kekalahan ini menimbulkan kekecewaan bagi para pemain United, termasuk Carrick. Ia merasa kekalahan tersebut menjadi tanggung jawabnya karena tidak mampu menjaga lini tengah United dari ancaman Barca. Liukan umpan dari Xavi, Iniesta, Messi, dan Busquets masih terngiang di kepala mantan pemain West Ham United tersebut.

“Minggu-minggu setelahnya, kekalahan itu masih menghantui saya. Saya tidak bisa mengeluarkan dari kepala saya. Kedengarannya berlebihan, tetapi saya tidak bisa pulih dari pertandingan itu. Memberikan bola ke tim lain memang berbahaya, tetapi memberikan bola ke Barcelona adalah tindakan bunuh diri.”

Ia hanya bisa terdiam sambil ditemani sebuah botol minum yang tidak lepas dari tangannya. Pikirannya masih kemana-mana. Pada laga itu, Carrick merasa mennjadi seorang pecundang.

“Secara mental saya hancur, marah, dan frustrasi. Yang ada di pikiran saya adalah bagaimana cara saya keluar dari stadion itu. Tetapi sebelum itu kami harus menerima sebuah medali. Medali pecundang.”

Carrick pantas untuk kesal. Sejak babak penyisihan, United selalu tampil baik. Menyingkirkan Inter Milan asuhan Mourinho, lolos dari lubang jarum FC Porto, dan menyingkirkan Arsenal di stadion Emirates.

Mereka datang ke final dengan status 25 pertandingan tanpa kalah di Liga Champions. Kekalahan dari Barcelona membuat pencapaian yang sudah dibangun tersebut menguap sia-sia. Namun bagi Carrick, kekalahan itu terus ada di pikirannya bertahun-tahun.

“Saya tidak pernah ada di momen seperti ini. Ini seperti Anda ditabrak bus. Saya meninggalkan Roma, tapi Roma tidak mau meninggalkan saya. Ketika saya di rumah, saya tidak mau berbicara dengan siapa pun. Saya bersama Louise (anak Carrick) pergi ke taman dan saya memilih untuk duduk diam sementara dia bermain-main dengaku. Saya memilih Louise karena dia tidak menonton pertandingan saya. Tetapi saat ia merangkak di depan saya, pikiran saya masih diselimuti kata “Mengapa?”

Dalam pertandingan tersebut, Carrick sebenarnya tampil tidak terlalu buruk. Beberapa umpan kunci kepada Rooney dan Ronaldo ia ciptakan. Tetapi tidak ada satupun yang membuahkan gol hingga akhir pertandingan. Hal itu yang membuat dirinya mengalami kekecewaan yang sangat dalam.

“Depresi karena pertandingan sepakbola terdengar ekstrem, bukan? Tapi saya benar-benar merasa depresi. Enam bulan sebelumnya, kami dinobatkan sebagai yang terbaik di dunia dan sekarang saya menyiksa diri dengan menjadikan tim ini nomor dua di Eropa.”

Carrick tidak bisa berbicara kepada semua orang terkait rasa depresi yang ia derita. Bahkan untuk berbicara dengan Ferguson pun dirinya tidak mampu. Perasaan bersalah atas kekalahan di Roma tidak bisa hilang dengan cepat. Hal itu kemudian mempengaruhi performanya pada musim berikutnya yang ia rasa menjadi musim paling buruknya bersama United.

“Saya tidak bisa menghilangkan depresi itu hingga musim 2009/2010 yang menjadi musim terburuk saya di United. Kepala saya berat, hati saya berat, bahkan tubuh saya juga terasa berat. Saya terjebak dengan kekalahan itu. Permainan saya juga berubah dari yang tenang, jernih, dan tajam menjadi lambat, dan tidak pasti. Saya sendiri merasa kalau saya keras kepala karena tidak bisa meminta bantuan kepada siapapun. Saya hanya bisa membuka diri kepada Lisa (istri), saudara saya Graeme, serta ibu dan ayah saya. Suasana hati yang suram membuat sepakbola saya menderita.”

Dampak dari kekalahan melawan Barcelona memang begitu besar. Kehadiran anak kedua bahkan tidak mampu membuat Carrick lepas dari rasa tertekan. Ia tidak bisa menyingkirkan Barcelona dari otaknya meski di rumah sakit istrinya berada dalam kondisi yang tidak terlalu baik sesudah melahirkan.

***

Carrick baru benar-benar lepas dari rasa depresinya ketika ia bermain baik dalam laga Liga Champions musim 2010/2011 melawan Chelsea. Sekali lagi, ia membawa United melangkah ke partai puncak. Apes bagi Carrick, lawannya di final lagi-lagi adalah Barcelona. Dan United kembali kalah meski venue laga bertempat di Wembley yang jaraknya tidak sejauh Manchester-Roma. Beruntung, kekalahan tersebut tidak membuat Carrick depresi untuk kedua kalinya. Karena satu-satunya Barcelona yang membuat dia depresi adalah yang mengalahkan mereka pada 2009.

Beberapa kutipan ini diambil dari buku autobiografi Michael Carrick yang berjudul Beetween the Lines yang akan rilis 18 Oktober mendatang.